kolom
Langganan

Pemimpin Seakan-akan

by Syifaul Arifin  - Espos.id Kolom  -  Minggu, 6 Oktober 2024 - 19:29 WIB

ESPOS.ID - Syifaul Arifin (Solopos/Istimewa)

Di sela-sela acara di Monumen Pers Solo, Kamis (3/10/2024), saya iseng-iseng memanfaatkan layanan daring yang disediakan lembaga tersebut, yaitu mesin pencari koleksi koran lawas. Dalam pencarian itu,  saya menemukan versi digital halaman 1 Harian Abadi edisi Rabu, 5 September 1973. Harian Abadi adalah koran yang diterbitkan Partai Masyumi. Terbit pada 1951, koran itu tergolong kritis terhadap pemerintah. Salah satu pemimpin redaksinya adalah Suardi Tasrif yang namanya kini dipakai oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai nama penghargaan bagi perorangan, kelompok, maupun lembaga yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat. 

Pada masa Orde Lama, Harian Abadi pernah dilarang terbit beberapa hari pada 1957, kemudian dibreidel pada pada 1960. Pada 1968 di masa Orde Baru, Harian Abadi kembali terbit, tetapi pada Januari 1974 kembali dilarang terbit saat memberitakan kasus demonstrasi mahasiswa memprotes kedatangan perdana menteri Jepang dalam peristiwa yang biasa disebut Malari (Malapetaka 15 Januari).

Advertisement

Dalam koran itu, ada judul menarik: Presiden Soeharto Peringatkan Golkar: Bagaimana Mungkin Mendidik Kalau Tubuh Sendiri Tidak Demokratis. Isi beritanya adalah Presiden Soeharto menyampaikan demikian saat membuka Musyawarah Nasional Golkar. Ada kutipannya sebagai berikut: “Tidaklah mungkin kita mendidik rakyat untuk menghayati dan melaksanakan musyawarah untuk mufakat, apabila kita sendiri tidak mampu melaksanakannya di antara keluarga sendiri”. Lalu Soeharto juga mengingatkan tidak mungkin kita terus-menerus mengatasnamakan rakyat apabila tindakan kita tidak ada sangkut-pautnya, tidak dimengerti, dan tidak bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

Kalimat selanjutnya tidak jauh-jauh dari pesan di atas. Intinya, Soeharto berpesan agar Golkar menjalankan asas-asas demokrasi. Bahkan, Kepala Negara mengingatkan agar praktik-praktik buruk pada masa Orde Lama tak diulangi.

Advertisement

Kalimat selanjutnya tidak jauh-jauh dari pesan di atas. Intinya, Soeharto berpesan agar Golkar menjalankan asas-asas demokrasi. Bahkan, Kepala Negara mengingatkan agar praktik-praktik buruk pada masa Orde Lama tak diulangi.

Namun, empat bulan setelah itu, Orde Baru membreidel Harian Abadi bersama beberapa koran lainnya. Pembreidelan itu jelas tak demokratis. Untungnya setelah reformasi, praktik pembreidelan media massa tak terjadi lagi.

Kenapa Pak Harto yang sebelumnya bicara soal pentingnya demokrasi, kemudian melakukan tindakan yang memberangus demokrasi? Orde Baru dikenal karena memanfaatkan organ kekuasaan untuk menekan pihak yang kritis. Memberi cap anti-Pancasila bagi lawan politik. 

Advertisement

Pasti ada perkembangan yang memengaruhi perubahan sikap seseorang dari X menjadi Y. Isuk  tempe, sore dele (pagi tempe, sore kedelai), demikian pepatah Jawa. Awalnya berbicara soal demokratisasi, tetapi yang dipraktikkan malah otoritarianisme. Ketika di depan rakyat bicara soal kesederhanaan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari malah bermewah-mewahan. Di podium selalu menyebut soal antikorupsi, praktiknya malah melakukan tindakan lancung, mengambil uang yang bukan haknya.

Orang model demikian sangat banyak. Tidak hanya di pemerintahan, juga di masyarakat. Di lingkungan terdekat kita juga.

Pemimpin demikian bersikap seakan-akan demokratis, seakan-akan bersih, seakan-akan baik, seakan-akan sederhana. Padahal sejatinya tidak. Berbeda antara ucapan dan tindakan. 

Advertisement

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2021 yang diselenggarakan Kementerian Keuangan, 8 Desember 2021, mengkritik para pemimpin yang munafik ini. Dia menyinggung pejabat di kementerian yang dipimpinnya. Anak buah akan melihat apakah kita sekadar beretorika atau menjalankan dengan sepenuh hati. Apalagi di dunia yang sudah terbuka ini, orang tahu baju yang dipakai, merek arlojinya, semua disorot. 

“Tidak menjadi munafik, waktu di depan anak buah seolah-olah, berpura-pura menjadi A dan waktu tidak [di depan anak buah], menjadi B. Hidup akan sangat lelah dengan memiliki split personality seperti itu," ujar Sri Mulyani sebagaimana saya lihat di akun Youtube Kemenkeu.

Split personality atau pecah kepribadian adalah gangguan mental di mana orang memiliki kepribadian ganda atau berbeda atau berubah-ubah. 

Advertisement

Sri Mulyani kemudian menyatakan dengan tegas, "Aku tidak perlu harus pura-pura jujur, pura-pura sederhana, pura-pura tidak korupsi, karena kepura-puraan itu adalah musuh dari integritas. Integritas is genuine dari dalam."

Yang dibutuhkan berarti pemimpin otentik. Di sana, ada standar tinggi, integritas, kepercayaan dari orang lain dibangun berdasarkan moralitas. Antara pikiran, kata-kata, dan tindakan selaras. 

Lawannya adalah pemimpin yang penuh dengan kamuflase. Kepribadiannya ganda. Kadang melakukan X, kadang Y. Pikiran, kata-kata, dan tindakannya kadang kala tidak sinkron. 

Mengenai pemimpin otentik ini, cendekiawan Sukidi Mulyadi yang asli Sragen dalam sebuah wawancara dengan wartawan Kompas Budiman Tanudredjo di channel Youtube menyebut Indonesia butuh pemimpin otentik. Asli. Berarti bukan KW. Bukan yang penuh kamuflase. Bukan pemimpin seakan-akan….

Artikel ini telah dimuat di Harian Solopos edisi 4 Oktober 2024. Syifaul Arifin adalah jurnalis Solopos.

 

 

 

Advertisement
Syifaul Arifin - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif