kolom
Langganan

Labubu oh Labubu

by Anik Sulistyawati  - Espos.id Kolom  -  Minggu, 6 Oktober 2024 - 18:19 WIB

ESPOS.ID - Anik Sulistyawati (Istimewa/Solopos)

Belum lama ini heboh dengan antrean panjang di sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta. Bukan untuk membeli kebutuhan bahan pokok atau gadget versi terbaru merek tertentu melainkan mengantre Labubu.  Tidak satu dua jam ada bahkan dari mereka yang mengantre hingga lebih dari 17 jam. Informasi-informasi yang berseliweran di dunia maya menyebutkan para pemburu boneka Labubu ini rela antre sejak dini hari sebelum pusat perbelanjaan beroperasi. 

Labubu digambarkan sebagai makhluk kecil yang berbentuk seperti kombinasi monster dan hewan, dengan ekspresi wajah yang beragam mulai dari ceria hingga menakutkan, sering dengan senyuman lebar dan gigi tajam. Karakter ini sangat populer di kalangan kolektor mainan vinyl, terutama di Asia, dan sering dirilis dalam edisi terbatas dengan berbagai warna dan desain yang unik.

Advertisement

Popularitas Labubu meroket dan menjadi tren global, terutama setelah Lisa Manoban dari girl group asal Korea Selatan Blackpink terlihat menggunakan boneka ini sebagai aksesori. Tren ini semakin meluas, terutama di kalangan penggemar K-pop, setelah Lisa mengunggah boneka Labubu di media sosial. Tak butuh waktu lama, popularitas karakter ini pesat di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Boneka Labubu bahkan telah menyebabkan antrean panjang di toko-toko yang menjualnya, dengan harga yang melonjak dari sekitar Rp400.000 hingga jutaan rupiah tergantung pada edisi dan kelangkaannya.

Advertisement

Boneka Labubu bahkan telah menyebabkan antrean panjang di toko-toko yang menjualnya, dengan harga yang melonjak dari sekitar Rp400.000 hingga jutaan rupiah tergantung pada edisi dan kelangkaannya.

Labubu adalah salah satu karakter dari seri The Monsters yang diciptakan oleh ilustrator asal Hong Kong, Kasing Lung, yang bekerja sama dengan Pop Mart, perusahaan mainan asal China. Boneka ini dikenal dengan ciri khas telinga panjang, gigi tajam, dan senyum nakal namun tak jarang yang menyebutnya sedikit creepy atau menakutkan.

Pop Mart dibangun pada 2010 oleh Wang Ning, pria kelahiran Provinsi Henan, China pada 1987. Dikutip dari Bisnis.com, Wang lulus dengan gelar periklanan dari Universitas Zhengzhou pada 2009. Sebelum mulai berbisnis, Wang sempat bekerja di Sina Corporation, perusahaan media digital yang memiliki Weibo. Hingga pada 2010, Wang memutuskan mendirikan bisnisnya sendiri yang terinspirasi oleh jaringan ritel di Hong Kong. 

Advertisement

Untuk mempertahankan profitabilitas, Pop Mart sempat mengurangi lini produk mereka dan memutuskan hanya menawarkan mainan, yang merupakan produk mereka yang paling populer pada 2014.  

Wang juga menawarkan konsep unik dalam menjual mainan dengan konsep kotak buta atau blind box, mirip dengan mesin penjual gashapon atau gacha di Jepang. Seiring dengan kesuksesan Pop Mart termasuk Labubu, berdasarkan catatan Forbes, Wang Ning berhasil menjadi miliarder dengan kekayaan US$4,1 miliar atau setara dengan Rp62,82 triliun.

Kesuksesan Labubu juga menjadi berkah bagi para reseller dan penjual mainan termasuk di Tanah Air. Mereka seolah tak mau kehilangan momen dengan memproduksi berbagai macam barang yang berbau Labubu, mulai dari boneka, gantungan kunci, pakaian, dan macam-macam. Dengan dalih punya kemiripan hampir 100 persen dengan yang asli, para pedagang benda-benda Labubu tersebut juga diserbu para pembeli yang tak sabar atau tak bisa mengakses barang-barang Labubu yang original atau asli. 

Advertisement

Dengan memanfaatkan fenomena FoMO (fear of missing out) para pedagang Labubu KW atau yang mirip asli menjual benda-benda Labubu dengan harga miring. 

Diwaspadai Konsumen

Istilah FoMO konon dicetuskan oleh seorang akademisi, Patrick J. McGinnis sebagai penderita FoMO pada 2013 ketika dia menempuh pendidikandi Harvard University. Saat itu Patrick merasa bahwa dirinya tidak mengetahui berita terkini dari temannya yang mengikuti tren. Sehingga dari perasaan tersebut Patrick J. McGinnis mulai banyak menulis mengenai FoMO. 

Advertisement

Salah satu cirikhas seseorang yang mengalami fenomena FoMO adalah membanding-bandingkan diri dengan orang-orang sekitar.  

Banyak orang yang rela mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk membeli Labubu edisi terbatas, meskipun harganya naik drastis di pasar sekunder. Ini dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan, terutama bagi orang-orang yang menghabiskan uang di luar kemampuan mereka hanya demi memenuhi dorongan konsumtif. Budaya FoMO inilah yang mesti diwaspadai konsumen. Demam Labubu tak ayal memicu perilaku konsumtif berlebihan, di mana orang terdorong membeli tanpa pertimbangan matang hanya karena takut kehilangan kesempatan benda yang diinginkan. Hal ini menyebabkan pembelian barang yang mungkin tidak dibutuhkan.

Alasan lain yang mungkin mendasari orang-orang berburu Labubu adalah tekanan sosial. Tak sedikit yang merasa tertekan untuk memiliki Labubu hanya karena teman atau kolega mereka sudah memilikinya. Seseorang mungkin merasa tertinggal atau tidak berharga jika tidak ikut dalam tren.

Kecemasan yang muncul karena ketakutan tidak bisa mendapatkan edisi terbatas dapat memperburuk perasaan stres dan frustrasi, terutama saat gagal dalam pre-order atau membeli di pasaran dengan harga tinggi. Rasa frustrasi dan stres inilah yang bisa mendorong orang melakukan hal-hal nekat seperti saat mengantre Labubu berjam-jam hingga berseteru atau marah dan meluapkan kekesalan kepada orang lain hanya tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Mereka tak peduli atau tak menyadari di sekitarnya mungkin masih ada orang-orang yang mengantre untuk beli beras atau kesulitan  mengumpulkan sesuap nasi sekali pun. 

Membeli sesuatu memang merupakan hak pribadi, namun bijak dalam membelanjakan uang akan lebih baik bagi individu dan orang-orang sekitar. Tak dimungkiri di era digital, godaan untuk membeli sesuatu yang sedang tren seperti Labubu kian kencang. Belum lama dibumbumi dengan  iming-imingi barang langka dan edisi terbatas, promo menarik, diskon besar-besaran, hingga iklan seringkali memicu hasrat membeli sesuatu kian tak terbendung. Mengikuti tren seperti Labubu boleh-boleh saja asal tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.  Ada banyak hal yang lebih penting daripada sekadar mengikuti tren sesaat. Bahkan ada yang bilang tren Labubu lambat laun kian meredup seiring dengan munculnya tren-tren baru. Labubu oh labubu.

Artikel ini telah dimuat di Harian Solopos edisi 3 Oktober 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos.

Advertisement
Syifaul Arifin - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Kata Kunci : Fomo Mainan Anak Labubu
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif