kolom
Langganan

Pencabutan Subsidi Teman Bus Bak Mimpi Buruk

by Astrid Prihatini Wd  - Espos.id Kolom  -  Jumat, 4 Oktober 2024 - 22:37 WIB

ESPOS.ID - Astrid Prihatini W.D. (Solopos/Istimewa)

Kabar pemerintah pusat berencana menyetop subsidi untuk layanan angkutan umum menggunakan moda bus dengan skema buy the service atau BTS pada 2025 mengejutkan banyak pihak, termasuk saya sebagai pengguna setia Batik Solo Trans (BST). 

Sebagai informasi, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menghadirkan program buy the service dengan nama Teman Bus sejak 2020. Teman Bus kini hadir di 10 Kota, yakni Pelembang, Medan, Denpasar, Solo, Jogja, Makassar, Banyumas, Banjarmasin, Bandung, dan Surabaya. 

Advertisement

Di Solo, layanan Teman Bus meliputi Batik Solo Trans (BST) dan feeder BST. BST melayani enam koridor. Feeder BST melayani enam koridor.  Tarif BST maupun feeder di Solo Rp3.700. Khusus penumpang pelajar, mahasiswa, dan orang lanjut usia Rp2.000. Tarif khusus tersebut hanya berlaku bagi penumpang yang telah melakukan aktivasi e-money khusus.

Wali Kota Solo Teguh Prakosa menjelaskan subsidi layanan Teman Bus lebih kurang Rp80 miliar per tahun. Sedangkan subsidi APBD Kota Solo Rp10 miliar sampai Rp20 miliar 

Kehadiran layanan transportasi umum yang nyaman, aman, dan terjangkau di Kota Solo ini melalui sejarah panjang. Semua berawal saat Pemkot Solo ikut mengajukan diri masuk dalam program buy the service.

Advertisement

Saat itu ada 13 pendaftar tapi yang memasukkan penawaran hanya dua yaitu PT Bengawan Solo Trans dengan Damri Solo. Kemudian PT Bengawan Solo Trans selaku operator BST menang tender.  

BST diresmikan pada tanggal 1 September 2010 oleh Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo. Pengoperasian pertama pada koridor 1 dengan rute Bandara Adi Soemarmo–Terminal Palur. Kemudian Pada 4 Juli 2020, BST resmi menggunakan sistem pembelian layanan oleh Teman Bus yang dicanangkan oleh Ditjen Perhubungan Darat. 

Kehadiran BST seperti menghapus mimpi buruk saya dan masyarakat pengguna transportasi umum di Kota Solo. Masih segar dalam ingatan bagaimana pengalaman saya di era 1990 hingga 2000-an ketika harus mengandalkan angkutan umum untuk sekolah hingga kuliah. Sebagai penumpang saya seperti dipaksa untuk mau menerima pelayanan seadanya dari para operator angkutan umum.

Selain harus rela dijejal-jejalkan ke dalam angkutan umum yang sudah penuh penumpang, saya sering kali juga diturunkan di tengah jalan dengan alasan kendaraan yang saya tumpangi hendak kembali ke rute awal dan saya diminta untuk ikut angkutan di belakangnya. Bukan hanya itu, setiap kali hendak turun, saya juga harus mendekat ke pintu keluar dan harus siap didorong keluar di saat kendaraan belum sempurna berhenti.

Advertisement

Dari sisi keamananan, penumpang juga harus menghadapi risiko kecopetan di tengah-tengah penumpang yang penuh sesak berjejalan. Ini tentu bagaikan mimpi buruk yang setiap hari harus dialami penumpang transportasi umum di Kota Solo di masa itu.

Satu-satunya angkutan umum yang lumayan nyaman dan memanusiakan penumpang di masa itu hanyalah milik Damri. Saya masih ingat betul era di mana saya akhirnya bisa duduk dengan leluasa tanpa dihimpit ketakutan kecopetan saat naik bus tingkat yang dioperasikan Perum Damri. 

Di masa itu, muara mimpi buruk penumpang transportasi umum hanyalah satu yaitu pengemudi kejar setoran. Alhasil pelayanan hingga keselamatan penumpang menjadi nomor sekian. Jangan bermimpi mendapatkan angkutan ber-AC, bisa duduk leluasa saja sudah alhamdulillah.

Kehadiran BST dan feeder seperti menghapus mimpi buruk saya akan transportasi umum di Kota Solo. Impian mendapatkan transportasi umum nyaman, aman, dengan harga terjangkau, dan terintegrasi akhirnya terealisasi. Saya tidak perlu harus pergi ke Singapura atau Kuala Lumpur untuk mendapatkan itu semua. Di kota kelahiran saya sendiri pun akhirnya saya bisa merasakan transportasi umum yang memanusiakan penumpang. 

Advertisement

Saya masih ingat ketika BST koridor IV diujicobakan pada 2020. Waktu itu masih gratis. Saya dengan suka cita menjajal BST dan merasakan pengalaman yang jauh berbeda dibandingkan pelayanan transportasi umum era 1990-2000. Sampai sekarang saya masih menjadi pengguna setia BST baik untuk berangkat dan pulang kerja maupun ke destinasi lain seperti ke Bandara Adi Soemarmo hingga ke Bekonang.

Pada salah satu momen saat naik BST koridor I dari Bandara Adi Soemarmo, saya sempat mengobrol dengan salah satu penumpang. Penumpang itu mengaku berdomisili di Jakarta dan baru turun dari pesawat.  Dia memuji transportasi umum di Kota Solo yang sudah terintegrasi dengan baik layaknya kota-kota besar dunia. Bahkan dia berencana pindah ke Solo lantaran Solo bebas macet.

Indonesia sudah sangat tertinggal dalam hal angkutan umum dibandingkan negara tetangga. Saya masih ingat ketika kali pertama ke Kuala Lumpur pada 2008, saya sudah merasakan angkutan umum yang tertata dan terintegrasi dengan baik di Ibu Kota Malaysia itu. Saya sudah bisa menikmati naik monorel untuk berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, sementara di Jakarta belum memiliki monorel.

Pada 2009 saat berkunjung ke Bangkok, saya sudah menikmati sarana angkutan umum yang tertata dan terintegrasi mulai saat pertama turun di Bandara Suvarnabhumi sampai ke hotel, bisa naik bus maupun kereta api. Sementara di Kota Solo waktu itu, penumpang pesawat harus mengandalkan kendaraan pribadi atau taksi untuk menuju ke pusat kota.  

Advertisement

Kehadiran BST di Kota Solo yang sudah terintegrasi dengan semua moda transportasi darat dan udara tentu tak hanya memudahkan masyarakat, melainkan juga memudahkan turis low budget untuk berpindah-pindah dari satu destinasi ke destinasi berikutnya. Mereka yang datang ke Solo naik pesawat bisa dengan mudah bepergian ke pusat kota naik BST koridor I. Mereka yang datang ke Solo naik kereta api dan turun di Stasiun Solo Balapan bisa dengan mudah berpindah ke pusat kota naik BST koridor II dan VI.

Jumlah penumpang BST sepanjang 2023 tercatat sebanyak 4.872.902 orang, tingkat keterisian 42,77% dengan farebox revenue atau pendapatan dari penjualan tiket Rp11,16 miliar. Angka tersebut tertinggi nomor dua dari sepuluh kota lainnya. 

Layanan angkutan umum buy the service BST Solo menjadi tiga besar layanan dengan load factor statis tertinggi di Indonesia yaitu sebanyak 28,98%. Selain itu, layanan BST Solo dinilai telah menunjukkan tingkat kepuasan pelanggan yang sangat baik.

Load factor statis dihitung berdasarkan ritase realisasi yang sudah dijalankan. Menurut Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), ada tiga kota dengan load factor stastis tertinggi, yaitu Surabaya (50,63%), Bandung (35,17%), dan Solo menempati urutan ketiga. 

Responden yang memiliki sepeda motor beralih menggunakan Teman Bus pada 2022 sebesar 61% dan meningkat 72% pada 2023. Berdasarkan hasil survei MTI, responden yang memiliki mobil beralih ke Teman Bus pada 2022 sebanyak 5% dan meningkat menjadi 23% pada 2023.

Setelah adanya buy the service, kelompok responden dengan beban biaya transportasi yang lebih dari Rp200.000 secara ekonomi merasakan efisiensi biaya/penghematan biaya transportasi sebesar 9,72%.

Advertisement

Pencabutan subsidi dari Kemenhub tentu bakal jadi pukulan bagi banyak kalangan. Saat ini sudah banyak orang mulai dari pelajar, pekerja, lansia, hingga para pedagang pasar mengandalkan BST untuk menunjang mobilitas mereka.

Pencabutan subsidi tentu bakal menimbulkan rentetan panjang mulai dari kenaikan tarif BST, pengurangan armada, kru, hingga akhirnya lama-lama mati. Akankah kondisi ini kita biarkan? 

Memang tidak mudah menata transportasi umum dan mengajak semua masyarakat beralih ke angkutan umum. Bus Trans Jateng butuh waktu 8 tahun sejak 2009 dilakukan kajian, perencanaan, sosialisasi, hingga pengalokasian anggaran.

Sedangkan BST baru beroperasi empat tahun di Kota Solo. Ibarat manusia, BST masih baru belajar mandiri sehingga butuh dukungan banyak pihak agar bisa berdiri dan berlari kencang.

Advertisement
Syifaul Arifin - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif