kolom
Langganan

Melogika Bias Representasi Perempuan

by Ayu Prawitasari  - Espos.id Kolom  -  Rabu, 2 Oktober 2024 - 14:17 WIB

ESPOS.ID - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Matematika adalah pelajaran favorit anak perempuan saya yang duduk di sekolah dasar. Berbeda dibandingkan saya yang melihat matematika tak ubahnya perampok gila atau hantu-hantu pengganggu yang tidak bisa saya jelaskan saat sekolah dulu, dia justru melihat matematika bukan sebagai pelajaran yang menakutkan, melainkan lebih seperti permainan teka-teki silang atau sejenis tebakan misterius yang menantang.

Sudut pandang berbeda tentu menghasilkan sikap yang berbeda pula: saya mengerjakan matematika dengan lebih banyak perasaan waswas dan pesimistis tebal, sementara anak gadis saya mengerjakan matematika dengan penuh tawa dan sesekali teriakan maupun umpatan.

Advertisement

Pertanyaan yang muncul di benak saya adalah mengapa situasinya begitu berbeda? Apakah kemampuan berhitung saya begitu buruk, sementara anak gadis saya jauh lebih baik? Apakah anak saya memang lebih pintar dibandingkan saya (meski ini adalah harapan saya), tapi apakah cara berpikir seperti itu tidak terlalu sederhana? Lagipula dia perempuan, bagaimana bisa dia sangat menyukai matematika dan sains? Maksud saya, meski nilai saya tidak bagus untuk matematika, tapi kebanyakan perempuan di era 90-an seperti saya juga, tidak mendapatkan nilai matematika yang bagus. Itu karena matematika, sains, dan teknologi bukanlah bidang kami, tepat seperti yang orang tua dan guru-guru kami sampaikan secara eksplisit maupun implisit bahwa bahasa dan humaniora adalah perempuan, sementara ketiga hal lainnya adalah laki-laki.

Dengan persepsi penggolongan yang terasa natural tersebut (ini karena penggolongannya diwariskan antargenerasi), saya terpaksa mencoret premis bahwa saya lebih bodoh dibandingkan anak saya.

Saya pikir persoalannya menjadi lebih besar dan itu memang berhubungan dengan persepsi masyarakat bahwa humaniora dan bahasa yang lebih cocok untuk perempuan.

Advertisement

Saat saya mulai memikirkan sungguh-sungguh penggolongan ini, barulah kejelasannya terasa sangat mengganggu. Ingatan saya lantas mengenali penggolongan lain, seperti kemampuan membaca peta. Bagaimana menurut Anda tentang penggolongan berbasis gender yang menyarankan Anda tidak mempercayakan peta di tangan perempuan karena gender peta adalah 100% laki-laki! Garansi peta di tangan perempuan adalah tidak adanya garansi bahwa perjalanan Anda bisa berjalan sebaik ketika peta itu dipegang laki-laki.

Jadi, kembali lagi ke matematika, sains, dan teknologi, apakah ini juga sekadar karena laki-laki lebih pintar di bidang-bidang itu dan perempuan tidak kapabel? Apakah memang otak perempuan sejak lahir hanya dirancang untuk humaniora dan bahasa, sementara laki-laki memang dilahirkan untuk sains dan matematika?

Ada banyak sekali artikel yang saya baca agar mendapatkan pencerahan ini hingga kemudian saya sampai pada kesimpulan subjektif bahwa ini bukan hanya persoalan perbedaan kemampuan (meski faktor ini tentu saja ada) melainkan lebih pada persoalan budaya. Ini karena dari budayalah bias asosiasi atau bias identitas muncul sebagai ideologi yang ditanamkan dalam pengasuhan di keluarga maupun pendidikan di sekolah. Begini penjelasannya.

Semenjak saya kecil, nenek dan ibu saya terutama, selain juga guru-guru sekolah saya telah menanamkan logika prioritas dengan sangat dalam kepada saya. Mereka selalu mengatakan bahwa matematika dan sains adalah laki-laki karena begitulah yang mereka dapat dari generasi sebelumnya dan kalau ini dilogika sebenarnya karena kedua bidang tersebut berkaitan erat dengan penebalan peran gender perihal laki-laki dengan karakter penaklukan mereka, sementara wanita dengan tugas pengasuhan mereka lebih cocok membekali diri dengan seni atau humaniora. Laki-laki dalam budaya patriarki dipersepsikan sebagai makhluk logis, sementara perempuan adalah makhluk yang lebih sensitif dan emosional. 

Advertisement

Ideologi bias asosiasi ini telah tertanam kuat pada diri saya sehingga saya mulai menempatkan prioritas, mana yang harus saya pelajari dengan sungguh-sungguh untuk masa depan saya sebagai perempuan sesuai harapan keluarga, sekolah, dan masyarakat, dan mana pelajaran yang seharusnya saya abaikan. Saya memetakan pelajaran yang lebih penting dan pelajaran yang bukan bagian saya. 

Begitu kuatnya penanaman bias ini sehingga saya bahkan tidak menyadarinya dan secara salah mengangap saya bodoh di mata pelajaran tertentu, meminjam teori diri Sigmund Freud, karena bias ini telah mengendap dengan sangat dalam di alam bawah sadar saya – di id saya. 

Jadi di sinilah konfliknya.

Di permukaan kesadaran, di lapisan ego, saya memahami dengan sangat baik bahwa bias ini jelas-jelas salah, apalagi saat saya melihat putri saya sangat menyukai matematika. Saya terus berpkir kenapa dia suka matematika dan saya mulai berpikir itu salah satunya karena saya memang tak pernah mengenalkan penggolongan tersebut kepadanya.

Advertisement

Pun semenjak kecil, dia mengenali identitasnya dengan cara berbeda di bawah pengaruh film Frozen, Ballerina, dan Mulan yang bernada pemberontakan, sementara saya menghayati sungguh-sungguh Cinderella dan The Sleeping Beauty.

Tapi, apakah ada garansi bahwa saya tidak akan menurunkan sama sekali bias identitas ini pada anak saya dalam kehidupan sehari-hari yang membuatnya tiba-tiba tidak memprioritaskan matematika lagi? Sayangnya jawabannya tidak karena bias ini adalah ranah bawah sadar saya seperti yang para psikiater katakan, id ini menguasai 80% lebih kehidupan kita. Jadi, bagaimana saya bisa 100% yakin pada diri saya sendiri?

Coba Anda renungkan situasinya. Ini mirip seperti bagaimana Anda makan dengan tangan kanan (Anda tak perlu berpikir), memilih orang yang Anda putuskan untuk berbagi tempat duduk di ruang tunggu stasiun dalam waktu singkat dengan segala pertimbangan prasangka dan stigma Anda, mengangkat alis saat melihat perempuan merokok, heran pada residen perempuan yang mengambil spesialisasi bedah, atau menjauh dari orang kekar bertato yang melewati Anda.

Semua Anda lakukan nyaris tanpa berpikir. Andai Anda tahu bahwa segala bias Anda (yang muncul dari alam bawah sadar) telah menimbulkan berbagai masalah prasangka, stigma, dan diskriminasi, mungkin hidup Anda lebih banyak disibukkan dengan urusan minta maaf.

Advertisement

Perenungan saya perihal bias representasi ini diperkuat tulisan Anna Gottlieb yang berjudul Main Character Syndrome. Meski tulisan itu menitikberatkan pada kecenderungan manusia, terutama saat ini, yang berpikir dirinya adalah pusat segala hal (yang original, yang jadi pemeran utama) dan kemudian disokong sepenuhnya oleh media sosial, namun dengan hati-hati, saya pikir sindrom itu juga sangat sesuai apabila saya letakkan dalam kerangka budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pemeran utama, sementara perempuan hanyalah pemeran pembantu. Di sinilah persoalan yang sangat mendasar itu muncul.

Saat masyarakat memberikan peran yang tidak seimbang kepada laki-laki dan perempuan, maka saya pikir hasilnya pun tidak akan sehat. Peran yang saya maksud ini berkaitan dengan persepsi diri kita yang berbasis pada moralitas (konsensus nilai dan norma).

Saya sepakat dengan Gottlieb bahwa moralitas adalah sebuah pandangan bersama. Jadi gagasan mengenai identitas kita ini membutuhkan partisipasi aktif satu sama lain secara moralitas.

Intinya adalah agar kita bisa mengenali diri kita sendiri, maka terlebih dulu kita harus bisa melihat orang lain sebagai manusia seutuhnya dan terlibat satu sama lain sebagai makhluk moral. Tanpa praktik itu, kita akan selalu gagal memahami diri kita dan bagaimana kita dalam hubungan dengan orang lain maupun dengan dunia ini.

Maka, sambil melihat anak saya yang sedang mengerjakan soal matematika dengan sikap penasaran penuh, saya harap pada masa depan saya tidak terlalu tergelincir dalam pandangan bias gender sehingga racun saya membuat dia tersesat.

Saya tahu bias gender itu tetap ada di bawah kesadaran saya dan selalu berbenturan dengan kesadaran saya. Namun, dengan sikap hati-hati ketimbang reaktif, seperti yang diajarkan Viktor Frankl, saya pikir selalu ada pilihan yang tepat atau penyesalan yang bermanfaat agar dunia anak perempuan saya jauh lebih baik dibandingkan dunia saya lewat ideologi yang saya tanamkan padanya.

Advertisement

 

 

 

 

 

Advertisement
Ayu Prawitasari - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif