Kata ini memang sudah jarang kita dengar: revolusi. Mungkin ada sebagian orang yang tak ingin mendengarnya atau memang menghindarinya. Beberapa tahun yang lalu, seorang presiden bicara tentang ”revolusi mental”.
Tak cukup jelas apa maksudnya. Mungkin dia berupaya menggebrak kondisi jumud situasi dan kondisi sosial dengan kerja, kerja, kerja. Kata itu bergulir seperti gelembung balon sabun di udara, membumbung lalu sirna, setelah lumayan ramai dibicarakan dengan seenaknya, dan sebagian menganggap sebagai sekadar ungkapan tanpa makna.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Media sosial memang bisa dengan cepat melambungkan semua ungkapan dan sekaligus menenggelamkan dengan iringan sinisme. Orang-orang lalu melupakan. Setiap kata, kalimat, dan bahasa memang selalu berada dalam ruang sosial.
Pada era 1950 hingga 1960-an, ungkapan revolusi menjadi bahan perbincangan dan menjadi kata imbuhan yang satu dengan lain saling sambung dari satu ujung lidah ke ujung lidah lainnya yang dilegitimasi oleh media cetak dan terutama radio.
Pada zaman itu, ungkapan revolusi sejenis japa mantra yang disajikan Soekarno yang ingin menggedor secara simultan jiwa-raga warga Indonesia yang baru merdeka agar lepas dari akar kolonialisme dan feodalisme.
Entah berapa ribu kali sang proklamator kemerdekaan Indonesia itu mengungkapkan kata revolusi. Kondisi zaman tampaknya tak cukup tanggap atau yang paling mungkin bahwa pada zaman itu banyak orang menganggap revolusi memang bisa membuat orang bergerak dengan sigap.
Sementara orang-orang lain dicekam ketakutan. Itulah makanya ada ungkapan yang berbalik, revolusi memakan anaknya sendiri. Secara pribadi saya percaya bahwa kita masih dan akan selalu membutuhkan revolusi.
Tanpa revolusi kita tidak akan bisa membangun suatu fondasi kehidupan dalam berbagai segi. Kita tak bisa menanam benih kehidupan di lahan sedalam-dalamnya. Revolusi menjadi penting maknanya karena berusaha menanam benih yang akan menjadi akar yang paling dalam pada kehidupan kita.
Itulah makanya ungkapan revolusi dekat dengan ungkapan radikalisme, tapi kita punya pertanyaan, bagaimana caranya? Dalam suatu bacaan biografi tentang Lenin, Zhou En-lay, Mao Tse-tung, Trosky, Tan Malaka, dan para pengusung gagasan revolusi di negeri ini, ketika mereka melontarkan gagasan revolusi mereka selalu mencari teman, seperti para tokoh di mancanegara itu.
Trosky yang terusir dari negerinya dan lalu menetap serta terbunuh di Meksiko masih mencari teman untuk merumuskan suatu revolusi. Tampaknya revolusi memang seperti ungkapan Soekarno, tak pernah selesai, seperti perjalanan manusia mencari keabadian melalui perubahan. Pantha rei.
Ketika kita bertanya bagaimana caranya, ungkapan revolusi tampaknya juga bukan sekadar slogan kosong. Sebagai ungkapan yang mengandung kesejarahan dan filosofis, revolusi seperti pintu yang juga menyediakan kepada pengusungnya perangkat rasional tentang suatu metode, teori, dan teknik.
Jika kita mendengar pernyataan bahwa tak ada gerakan revolusi tanpa teori revolusi, itu menyatakan bahwa revolusi memiliki kemungkinan untuk penerapan suatu cara.
Dalam konteks inilah kita makin sadaar tentang pentingnya suatu organisasi, himpunan manusia yang menyadari bahwa suatu teori, ideologi, dan bahkan ungkapan hanya bisa dijalankan jika ada himpunan manusia yang bersepakat melakukan perubahan secara fundamental.
Sesungguhnya hal-hal yang berkaitan dengan teori yang bersifat revolusioner tak bisa hanya didaku, claiming, oleh hanya kaum Marxis. Einstein, Thomas A. Edison, James Watt, bahkan J.P. Morgan sang bankir Amerika Serikat itu, dianggap revolusioner ketika bisa menciptakan perubahan situasi dan kondisi secara radikal.
Bukankah Jesus Kristus juga seorang revolusioner, seperti juga Muhammad SAW yang mengubah masyarakat secara radikal dan menciptakan suatu konsep tentang manusia dan masyarakat yang ideal?
Lalu apa yang membedakan antara Morgan yang pada abad XIX merombak sistem transportasi kereta api dan menciptakan perubahan geopolitik ekonomi bagi Amerika dengan seorang Lenin, Trostky, Tan Malaka, dan Soekarno?
Dalam konteks inilah makna ungkapan revolusi membutuhkan suatu kerangka teoretis dan dengan dasar ideologis agar kata “revolusi(oner)” memiliki dasar dan tujuan, yakni etik dan etos. Revolusionernya seorang Morgan atau James Watt menciptakan korban lain, yakni korban piramida dari tumpukan masyarakat yang menjadi dampak penerapan teori itu.
Jadi, siapa bilang bahwa revolusi dengan latar belakang ideologi Marxis memakan anaknya sendiri? Jika kita lihat sejarah abad XIX, korban piramida manusia dan sumber daya alam dari geopolitik ekonomi liberal dari kaum pemilik kapital justru paling tertinggi yang berkaitan dengan puncak kolonialisme yang membentuk suatu jaringan imperium secara global dalam wujud imperialisme: tak ada ruang yang tak dikuasai demi segelintir penguasa kapital.
Jalan ke arah revolusi makin rumit dan berat. Makin berat lagi karena mungkin ada krisis pada teori revolusi. Nun di sana, di suatu negeri yang pernah dikepung oleh belasan negara dan dicabik-cabik sepanjang berabad-abad oleh tetangganya, dan khususnya dari Eropa, kini muncul sebagai kekuatan geopolitik ekonomi yang fenomenal, China, yang dalam beberapa dekade mengubah dirinya menjadi raksasa dunia, bukan hanya karena populasi, tapi juga perkembangan ilmu pengetahuan, tehnologi, dan ekonomi.
Apakah ungkapan “tuntutlah ilmu sampai ke negeri China” bisa diwujudkan melalui pelacakan kita pada perkembangan ilmu pegetahuan, teknologi, dan basis pemikiran revolusi(oner) yang bisa mendongkrak negeri ini?
Atau kita mencari ke dalam sejarah kita, bahwa sesungguhnya para pendiri Republik Indonesia yang revolusi(oner) pernah memberikan contoh, dan kini kita melupakannya, sehingga kondisi politik, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan kita sekarang ambruradul oleh praktik yang tanpa etik dan etos.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 September 2024. Penulis adalah networker dan organizer kebudayaan)