Esposin, SOLO – Saya tercenung saat istri saya menerima pesan via Whatsapp dari kenalan barunya belum lama ini. Di pesan tersebut, sang kenalan baru memohon maaf karena mau meminjam uang untuk keperluan rumah tangganya, untuk urusan dapur.
Alasannya, gaji suami sudah habis untuk membayar biaya masuk sekolah anak mereka. Istri saya dipilih karena sang kenalan baru itu sudah mencoba mencari pinjaman ke sana kemari, tapi tidak berhasil.
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Sebagai jurnalis yang punya istri seorang pejuang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saya tahu benar keadaan sekarang tidak sedang baik-baik saja. Sinyalemen para ekonom pada awal pandemi Covid-19, pada 2020, bahwa ekonomi akan memburuk hingga dua tahun setelah pandemi selesai terbukti.
Nyaris setiap hari berinteraksi dengan para pejuang rupiah di tingkat grassroot, saya benar-benar bisa merasakan betapa susah mereka mengais rezeki. Daya beli masih lemah seusai pandemi, para [elaku UMKM banjir pesaing dari menjamurnya pedagang baru sebagai akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak tempat.
Kondisi ini saya kira terjadi di mana-mana. Tengok saja di sekitar kita, bermunculan usaha-usaha baru mulai dari kuliner, kerajinan tangan, hingga penyediaan jasa dan barang. Seorang teman berkata bakule tambah akeh sing tuku ora ana (pedagangnya tambah banyak tapi pembelinya tidak ada).
Pada Mei 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut dunia sedang tidak baik-baik saja. Dunia sedang dibayangi kegelapan. Penyebabnya mulai dari masalah inflasi dan kebijakan suku bunga yang tinggi, perang, hingga perubahan iklim yang memburuk.
Menurut Sri Mulyani, tekanan inflasi yang tinggi menyebabkan bank sentral negara-negara maju—khususnya bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve—menaikkan suku bunga acuan hingga 500 basis poin yang menyebabkan tekanan ekonomi bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kenaikan suku bunga untuk meredam tekanan inflasi membuat aliran modal deras keluar dari negara-negara berkembang dan masuk kembali ke Amerika Serikat. Ini menyebabkan tekanan terhadap potensi investasi dan kecenderungan ekspansi bisnis serta konsumsi terhambat karena biaya pinjaman tinggi.
Kondisi dunia diperparah dengan tensi konflik geopolitik, khususnya perang bersenjata antarnegara, seperti antara Rusia dan Ukraina serta konflik di Timur Tengah antara Israel dan Palestina. Semua permasalahan ini mengganggu produktivitas global yang ujungnya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Dampak dari semua itu terasa di Indonesia. Sebenarnya upaya pemerintah mengeliatkan ekonomi tidak kurang-kurang. Sejak 2022, sejumlah kementerian menjadikan UMKM sebagai bagian program kerja mereka hingga ke daerah-daerah, di antaranya Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.
Yang disebut terakhir paling gencar menggandeng dinas-dinas di daerah. Berbagai pameran, bazar, dan aneka acara lain digelar. Banyak yang mendapat untung, tidak sedikit yang zonk bahkan sekadar balik modal pun tidak.
Inilah kondisi yang terjadi sekarang, suka tidak suka, rela tidak rela, tetap harus dijalani sembari terus berharap keadaan ekonomi segera membaik. Fenomena meminjam uang untuk menutup kebutuhan rumah tangga, saya yakini terjadi di banyak tempat.
Sebagian meminjam kepada saudara, kerabat, hingga kenalan. Kalau yang ini sih masih aman. Yang memprihatinkan adalah mereka yang terjerat ke pinjaman online tak resmi. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga berikut orangnya.
Masalah bukan mereda, hidup mereka justru semakin terpuruk karena dikejar-kejar membayar pinjaman. Banyak yang kemudian memilih jalan pintas, mengakhiri hidup, naudzubillahi min dzalik.
Pada saat kondisi ekonomi masih terpuruk, mentalitas masyarakat juga menjadi masalah. Penyakit judi susah diberantas, baik judi offline maupun judi online. Pelakunya bukan hanya yang berduit.
Para tukang becak, sopir angkot, kuli panggul, hingga pedagang kecil masih sempat-sempatnya berjudi saat mereka susah mencari uang. Saya juga yakin fenomena itu terjadi pula di sekitar tempat tinggal para pembaca yang budiman.
Merujuk data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), total perputaran uang dari judi daring atau online sepanjang 2023 mencapai Rp327 triliun. Angka itu nyaris 10% dari nilai APBN.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan jumlah pemain judi online di Indonesia menembus 2,7 juta orang. Ironisnya, korban judi online itu mayoritas kaum muda berusia 17 tahun hingga 20 tahun.
Data PPATK menunjukkan 191.380 anak berusia 17 tahun hingga 19 tahun terlibat judi online dengan 2,1 juta transaksi yang mencapai Rp282 miliar. Sebanyak 1.160 anak berumur kurang dari 11 tahun melakukan 22.000 transaksi judi online dengan nilai sedikitnya Rp3 miliar.
Sebanyak 4.514 anak usia 11 tahun hingga 16 tahun melakukan 45.000 transaksi judi online dengan nilai Rp7,9 miliar. Di tengah kondisi yang sedang tidak baik-baik saja ini, ada satu fenomena lain yang sering bikin gerah tapi susah diatasi.
Itu adalah wisuda sekolah yang menghabiskan banyak dana. Entah kapan mulainya, wisuda sekolah kini menjadi kebiasaan seolah-olah setara dengan wisuda mahasiswa.Beberapa waktu lalu ada orang yang mengeluhkan wisuda taman kanak-kanak (TK) yang menyedot dana tak sedikit.
Keluhan itu didasarkan pada kenyataan setelah anaknya diwisuda harus masuk ke sekolah lanjutan dengan dana yang jauh lebih besar. Apa urgensinya wisuda TK? Kalau wisuda mahasiswa jelas karena mereka baru saja menuntaskan pembelajaran dan menatap dunia kerja.
Sulit mencari alasan logis sebagai pembenaran wisuda TK selain sekadar untuk kenang-kenangan. Apakah wajar jika sekadar kenang-kenangan harus menyedot banyak dana, sementara setelah itu para orang tua harus mengeluarkan dana lagi untuk sekolah lanjutan anak mereka.
Sebenarnya wisuda sekolah bisa tetap jalan tanpa harus menghabiskan banyak dana asalkan dilakukan di sekolah masing-masing dengan acara yang sederhana. Sayangnya, kini menjadi tradisi wisuda TK diselenggarakan di gedung-gedung berbayar mahal, bahkan menyewa ruang pertemuan di hotel.
Jelas ini menyedot banyak uang tabungan pada saat kondisi ekonomi dunia tidak sedang baik-baik saja. Saya menduga, gengsi dan flexing (pamer) menjadi sebab tradisi ini sulit dihentikan.
Perasaan tak ingin kalah dari wisuda tahun-tahun sebelumnya membuat sebagian orang tua rela membayar mahal agar wisuda anak mereka tak kalah meriah.
Tradisi yang berawal dari inisiasi orang tua ini mendapat legalisasi dari sekolah sehingga pihak yang berkeberatan tak kuasa melawan dan mau tak mau ikut arus.
Untuk menyiasati, biasanya dipakai strategi menabung sejak awal tahun ajaran baru. Orang tua disarankan menabung setiap bulan di sekolah sehingga nanti pada akhir tahun ajaran dana yang terkumpul cukup untuk membiayai wisuda aneh ini.
Nyatanya, tidak semua orang tua punya ekonomi yang baik untuk mampu menabung demi wisuda sekolah lantaran prioritas mereka untuk makan sehari-hari. Tradisi itu akan terus berlangsung, entah sampai kapan. Apakah fenomena ini juga terjadi di sekitar Anda?
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Juli 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)