Esposin, SOLO – Kecanggihan Internet kini menembus batas dimensi kehidupan para pengguna. Salah satu jejaring sosial dalam Internet adalah media sosial. Media sosial digunakan untuk memperluas interaksi sosial masyarakat tanpa batas ruang dan waktu.
Menurut Rulli Nasrullah dalam buku Media Sosial (2016), media sosial merupakan medium Internet yang memungkinkan para penggunanya mempresentasikan diri dan saling berinteraksi.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Media sosial menjadikan masyarakat aktif membangun dan menyusun identitas diri mereka. Representasi identitas diri dalam konteks media sosial kini bukan hanya mencakup gambaran tentang diri, tetapi juga cara yang disengaja agar bisa terlihat oleh orang lain.
Laman psychology-lexicon.com menjelaskan representasi diri adalah wujud individu dalam memandang dan menggambarkan diri yang dipengaruhi pengalaman pribadi, interaksi sosial, dan norma budaya.
Apabila penerapan representasi diri ini tidak sehat dapat mengakibatkan masalah kesehatan mental, termasuk stres dan rasa cemas. Terdapat tiga ciri identitas dalam berinteraksi di Internet, yakni real-life identity, pseudonymity, dan anonymity.
Real life identity menggambarkan siapa sebenarnya individu itu di dunia maya dan dunia nyata. Pada pseudonymity, identitas asli mulai semu, bahkan menjadi palsu, meski dalam beberapa hal ada representasi yang bisa menunjukkan identitas asli seseorang.
Anonymity atau anonim merupakan bentuk baru identitas yang benar-benar terpisah dan tidak bisa dirujuk kepada siapa identitas itu dimiliki (memiliki jati diri yang berbeda). Representasi identitas diri yang beraneka ragam terdapat pada Instagram yang memiliki pengguna sangat banyak.
Laman dataindonesia.id menjelaskan menurut laporan Napolen Cat pengguna Instagram di Indonesia sebanyak 88,86 juta. Jutaan pengguna tersebut tentu memiliki representasi yang berbeda-beda.
Salah satu representasi identitas adalah anonymity, identitas diri yang benar-benar hilang. Dalam bahasa psikologi disebut dengan online disinhibition effect yang kini muncul di kalangan pengguna media sosial Instagram.
Menurut John Suller (2004), fenomena ini merupakan perilaku seseorang di dunia maya yang tidak seperti kebiasaan diri di dunia nyata. Saat di dunia maya lebih bebas dan leluasa dalam mengekspresikan diri karena tidak ada identitas pribadi atau anonim.
Perilaku manusia yang seperti ini dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Mereka dituntut harus sama agar tidak dicap sebagai orang yang “kudet atau kurang up-date”. Rasa ingin dipuji yang memang paten dimiliki oleh setiap manusia yang semakin menggebu juga menjadi pendorong.
Mereka berlomba-lomba terlihat menarik di media sosial. Standar masyarakat demikian inilah yang memunculkan representasi diri yang berpotensi mengarahkan individu dalam menyesuaikan diri di lingkungan.
Beberapa bentuk representasi diri di media sosial salah satunya adalah mengunggah foto atau video. Kemudahan fitur yang mampu menampilkan suatu peristiwa secara detail serta akurasi penangkapan gambar yang tinggi dapat menarik pengguna untuk selalu mendokumentasikan peristiwa atau penggambaran diri.
Realitas dalam foto tersebut perlu dipertanyakan. Apakah realitas yang ditunjukkan merujuk pada kenyataan keseharian atau justru mengarah pada realitas yang dikonstruksikan mengenai yang ingin mereka representasikan kepada publik?
Bentuk representasi diri lainnya adalah mengunggah foto yang dihasilkan melebihi batas kemampuan. Biasanya mereka memiliki sifat narsistik yang menimbulkan rasa ingin terlihat wah. Kecanggihan fitur-fitur Internet yang bisa merekayasa apa saja yang membuat orang tergiur mencobanya dan mengunggah.
Hal ini biasanya mereka lakukan untuk mendapatkan banyak like dan comment atau untuk dipuji. Fenomena tersebut semakin memperkuat bahwa like dan comment merupakan sesuatu yang memiliki nilai gengsi bagi orang yang mendapatkan.
Like dan comment di media sosial dapat menentukan eksistensi orang yang menampilkan foto tersebut dan menaikkan citra representasi identitas yang ia tampilkan. Konstruksi identitas diri di media sosial sebenarnya tidak selalu mencerminkan realitas.
Online disinhibition effect menjadikan kecenderungan manusia dalam menampilkan kehidupan yang sempurna agar menarik publik. Sebenarnya hal tersebut dapat memicu ketidakpuasan diri, kecemasan, dan bahkan depresi ketika tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan oleh diri mereka maupun orang lain.
Dampak negatif representasi identitas diri di media sosial juga dapat merembet ke masyarakat secara lebih luas. Perbandingan yang tidak sehat antara kehidupan yang ditampilkan di media sosial dengan realitas sehari-hari dapat memunculkan ketidaksetaraan sosial dan kesenjangan antarindividu.
Esensi citra yang tidak autentik dapat merusak kepercayaan dan koneksi antarindividu serta mengurangi kemampuan membangun hubungan sosial di dunia nyata. Di tengah dampak negatif yang mungkin terjadi, media sosial memberikan peluang bagi individu untuk mengekspresikan identitas mereka dengan cara yang unik dan kuat.
Ketika digunakan dengan bijak, media sosial dapat menjadi alat untuk memperluas relasi, memperdalam perspektif, dan membangun jati diri. Dalam menghadapi tantangan representasi identitas diri di media sosial, pendekatan holistik diperlukan.
Individu perlu menyadari bahwa yang mereka lihat di platform tersebut hanyalah potongan kecil dari realitas seseorang. Lebih penting lagi harus membangun kesadaran akan nilai autentisitas dan kejujuran dalam interaksi online serta dukungan sosial yang sehat dan inklusif di lingkungan sekitar.
Kesadaran dan tindakan yang bijak dapat memunculkan potensi positif media sosial dan mengurangi risiko terkait konstruksi identitas diri yang tidak autentik. Selain itu, menerima diri sendiri dengan segala kekurangan dapat menumbuhkan representasi diri yang postif.
Literasi media dapat diterapkan dengan mengembangkan keterampilan untuk mengevaluasi media secara kritis dan mengurangi pengaruh standar gaya hidup yang tidak realistis dengan diri masing-masing individu.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 20 Agustus 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Indonesia UIN Raden Mas Said Surakarta)