Esposin, SOLO – Kisah Ramayana dan Mahabharata adalah kisah yang tak asing bagi kita. Kisah-kisah ini lebih sering hadir dalam pertunjukan wayang kulit, wayang orang, maupun wayang golek.
Kisah Ramayana berpusat pada konflik antara Raja Pancawati Ramawijaya dengan Raja Alengka Rahwana. Kisah Mahabharata berpusat pada konflik antara Pandawa dan Kurawa.
Promosi 2,6 juta Pelaku UMKM Dapatkan Akses Pembiayaan KUR BRI di Sepanjang 2024
Di kisah Ramayana, Rahwana memiliki tiga orang adik, yaitu Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Tokoh yang akan menjadi sorotan dalam tulisan ini adalah Kumbakarna.
Kesatria dari Panglebur Gangsa ini adalah raksasa, namun berhati mulia. Sejak awal tercipta konflik antara Rahwana dan Ramawijaya yang bersumber aksi Rahwana mencuri istri Rama, Kumbakarna menyatakan tindakan kakaknya keliru dan harus mengembalikan Sinta kepada Rama.
Semua nasihat Kumbakarna selalu ditolak. Rahwana tetap bersikeras pada sikapnya yang menyatakan bahwa tindakannya mencuri Sinta tidak keliru. Kumbakarna mendapati pemimpin negeri yang dia tinggali semena-mena.
Kumbakarna lebih memilih kembali ke tempat tinggalnya dan menyendiri. Ketika pecah perang terbuka antara Alengka dan pasukan Ramawijaya, Kumbakarna sigap turun ke medan laga mempertahankan dan membela negaranya.
Sebenci apapun Kumbakarna dengan pemimpin negerinya, dia tetap turun berperang ketika negeri yang dia cinta terlibat peperangan. Kumbakarna mengatakan bahwa yang dia bela bukan sifat keangkaramurkaan pemimpin negerinya, namun yang dia bela adalah negeri tercintanya.
Di negeri inilah, yaitu Alengka, Kumbakarna memperoleh sandang, pangan, papan, dan bahkan pendidikan. Menjadi tidak terpuji ketika negerinya diserang dan dalam keadaan darurat Kumbakarna tidak ikut membela.
Semua pencinta kisah Ramayana tahu bahwa pada akhir kisah Kumbakarna gugur sebagai seorang kesatria. Pada kisah Mahabharata ada seorang tokoh ternama yang memiliki sikap seperti Kumbakarna. Tokoh tersebut bernama Bisma Dewabrata.
Resi Bisma sebenarnya adalah pewaris sah takhta Hastinapura. Sebuah konflik pada masa lalu dan sumpah yang Bisma ucapkan membuat dia tidak bisa duduk di singgasana Hastinapura. Salah satu raja yang pernah bertakhta di Hastinapura adalah Pandu Dewanata, ayah para Pandawa.
Pandu yang meninggal ketika Pandawa masih kecil dan belum bisa mewarisi takhta membuat takhta untuk sementara diserahkan kepada Destarastra dengan janji ketika Yudhistira si sulung Pandawa sudah dewasa maka takhta akan diserahkan kepada Yudhistira.
Dari sinilah konflik bermula dan berkepanjangan. Pandawa sebagai pewaris sah takhta Hastinapura justru tersingkir oleh Kurawa yang merupakan anak keturunan Destarastra. Kurawa yang serakah terus menzalimi Pandawa sebagai pewaris sah takhta.
Konflik berkepanjangan itu akhirnya bermuara ke perang besar bernama Baratayuda. Perang yang mempertemukan Kurawa dan Pandawa dengan para sekutu mereka berlangsung di Padang Kurusetra.
Semua tahu bahwa Kurawa berada di pihak yang salah. Bisma Dewabrata justru berada di pihak Kurawa ketika perang besar ini meletus. Berbagai kisah pewayangan menjelaskan bahwa yang Bisma bela bukan Kurawa, tapi Hastinapura sebagai tanah kelahiran dan tempat dia mendapatkan segala penopang kehidupan.
Kisah dua tokoh ini memberikan pelajaran berharga tentang nasionalisme. Dua tokoh ini berada dalam sebuah kesamaan, yaitu berada di sebuah negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin zalim.
Tidak hanya pemimpin, namun para menteri dan petinggi kerajaan juga bersikap tak jauh dari pemimpinnya. Sikap Kumbakarna dan Bisma sangat nasionalis. Mereka tetap memberikan kritik terhadap pemimpin negerinya berulang kali.
Kumbakarna selalu mengingatkan Rahwana sebagai pemimpin negeri bahwa yang Rahwana lakukan adalah sebuah kekeliruan. Kumbakarna mengingatkan berulang kali meskipun pendapatnya tidak pernah diterima.
Sikap yang sama juga selalu ditunjukkan Bisma. Pitoyo Amrih dalam buku yang berjudul Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata menjelaskan Bisma selalu berusaha menasihati Kurawa tentang sikap dan berbagai keputusan Kurawa yang keliru.
Semua nasihat Bisma tak pernah didengarkan. Ketika negeri dalam keadaan genting, sebenci apa pun Kumbakarna dan Bisma terhadap pemimpin negeri, mereka tetap turun membela negerinya.
Sikap ini harus dimiliki oleh semua warga bangsa Indonesia. Tidak bisa dimungkiri terkadang beberapa keputusan para pemangku kebijakan di negeri ini sering membuat kita geleng-geleng kepala dan mengelus dada.
Mereka yang mengatakan keputusan-keputusan itu sebagai kebijakan, padahal akar kata kebijakan adalah bijak. Sikap pemimpin negeri dan berbakti kepada negeri adalah dua hal yang berbeda.
Seperti apa pun sikap para pemimpin negeri kita, tugas kita sebagai warga bangsa Indonesia adalah berbakti kepada negeri. Sebagaimana Kumbakarna dan Bisma, kita mendapatkan sandang, pangan, dan papan di negeri ini.
Kita bisa menunjukkan rasa nasionalis kita melalui profesi atau pekerjaan yang kita tekuni sekarang. Seorang pedagang yang memiliki jiwa nasionalis akan menjadi pedagang jujur, tidak mengakali harga dan timbangan.
Seorang siswa atau pelajar yang nasionalis akan belajar dengan tekun mempersiapkan masa depan. Sebagai seorang guru yang nasionalis akan mencurahkan semua daya dan upaya untuk mendidik generasi masa depan.
Guru-guru nasionalis akan memunculkan berbagai inovasi dalam pembelajaran, menciptakan suasana belajar yang kondusif, dan membangun komunikasi yang baik dengan para muridnya.
Guru nasionalis tidak akan pernah meninggalkan pembelajaran untuk sebuah urusan yang sebenarnya bisa dia selesaikan di luar jam mengajar. Tidak harus menunggu nanti untuk bersikap nasionalis. Kita harus mencintai dan membela negeri kita dengan cara kita masing-masing.
(Esai ini terbit di Harian Solopos pada 14 Agustus 2024. Penulis adalah guru Bahasa Indonesia di SMP Muhammadiyah Darul Arqom Karanganyar)