Data Korlantas Polri (2022), jumlah sepeda motor yang terdaftar lebih dari 125 juta unit. Jumlah ini mungkin akan semakin meningkat di masa mendatang seiring dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Promosi UMKM Binaan BRI, Minimizu Bawa Keunikan Dekorasi Alam ke Pameran Kriyanusa 2024
Sebagai bentuk komitmen Perjanjian Paris yang telah ditandatangani oleh Presiden (2016), pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan subsidi dan insentif untuk perkembangan kendaraan berbahan bakar listrik.
Tujuannya agar target pengurangan emisi gas buang karbon sebesar 29% hingga 41% dapat tercapai pada 2030 mendatang.
Program percepatan pemerintah dan kebijakan subsidi untuk sepeda motor listrik didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan dan didukung oleh beberapa Peraturan Menteri yang berlaku.
Subsidi dan insentif yang diberikan pemerintah terdiri atas kebijakan subsidi fiskal dan nonfiskal.
Subsidi dapat berupa subsidi atas pembelian, pajak atas kepemilikan, bahan bakar (listrik), pajak bahan bakar (listrik), infrastruktur, kegiatan riset dan pengembangan untuk industri, dan kegiatan produksi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Dua, pemerintah mengeluarkan alokasi subsidi untuk 200.000 unit subsidi untuk pembelian kendaraan baru yakni Rp7 juta per unit.
Meskipun nilai subsidi pembelian yang diberikan pemerintah sangat tinggi, namun minat masyarakat dalam membeli terasa hambar.
Menurut Ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) Moeldoko pada Green Economic Forum, hingga Mei 2023 tercatat hanya 108 unit sepeda motor listrik yang terjual di pasaran.
Moeldoko mengatakan hal ini sebagai dampak dari kurangnya pengetahuan masyarakat akan kebijakan subsidi yang telah ditetapkan melalui peraturan menteri.
Selain itu, kurangnya sosialisasi mengenai aplikasi SISAPIRa untuk pembelian motor listrik bersubsidi, dan adanya isu restitusi oleh pihak dealer apabila melakukan pembelian dengan konsep subsidi.
Subsidi gencar, namun adopsi terhadap kendaraan listrik oleh pelanggan terkesan hambar.
Lalu bagaimanakah proses peningkatan pasar kendaraan listrik yang dikeluarkan oleh pemerintah negara lain yang lebih dulu menyosialisasikan kebijakan kendaran listrik?
Uni Eropa melalui Joint Research Centre (JRC) tahun 2016 menyimpulkan terdapat empat faktor yang memengaruhi keberhasilan suatu negara dalam melakukan transisi teknologi kendaraan bermotor dari internal combustion engine (ICE) menjadi kendaraan listrik.
Keempat faktor tersebut adalah pemerintah, pemanufaktur atau pembuat kendaraan, penyedia infrastruktur, dan konsumen. Memahami bagaimana masyarakat mempertimbangkan adopsi kendaraan listrik menjadi faktor kunci dalam merancang kebijakan yang tepat.
Keempat faktor tersebut seharusnya diperkuat dan dikembangkan secara bersamaan melalui perencanaan dengan kurun waktu yang lama.
Sebagai gambaran, rencana implementasi kendaraan listrik di Eropa mulai diinisiasi sejak 1990.
Diawali dengan pemberian insentif pajak tahunan pada 1996, subsidi infrastruktur sejak tahun 2007, subsidi riset untuk industri atau produsen, hingga tahun 2013 pemerintah Uni Eropa mulai memberikan subsidi pembelian kendaraan listrik hingga senilai €9.000 untuk warganya.
Pemerintah China menerapkan hal yang sama. Subsidi yang diberikan kepada warga sebesar ¥10.000 selama 12 tahun sejak 2010, dibarengi dengan implementasi program Energy-Saving and New Energy Vehicle Industry Plan (2012-2020).
Program ini bertujuan untuk membangun infrastruktur pengisian daya sebanyak 250.000 unit dengan nilai US$1,4 miliar, pembebasan pajak bagi pemanufaktur dengan target penjualan kendaraan listrik sebanyak 5 juta unit pada 2020.
Program lanjutan berupa Industry Development Plan of Energy Saving and New Energy Vehicle akan berlangsung pada 2021 hingga 2035 mendatang dengan target sektor transportasi umum China telah 100% beralih ke kendaraan listrik.
Fenomena yang terjadi di Uni Eropa dan China menunjukkan peran yang signifikan dari ketersediaan infrastruktur yang memadai, serta keterlibatan para pabrikan kendaraan bermotor menjadi kunci bagi tingginya animo masyarakat dalam pembelian kendaraan listrik (willingness to consider), termasuk sepeda motor listrik.
Peran pemerintah dalam menggelontorkan subsidi akan lebih efektif, ketika infrastruktur dan pihak pabrikan dinilai layak oleh masyarakat. Tanpa kesiapan kedua faktor tersebut, animo masyarakat untuk membeli akan sangat rendah meski diguyur dengan subsidi yang bombastis.
Menerka Arah Subsidi Jika dibandingkan dengan pola dan rencana kebijakan subsidi yang telah diterapkan China dan Uni Eropa, pemerintah Indonesia kelihatannya masih harus berbenah.
Lebih banyak khususnya untuk percepatan ketersediaan infrastruktur kendaraan listrik baik berupa charging station, kepercayaan akan kekuatan merek pabrikan dan dukungan jaringan servis dan perawatan.
Ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang hanya 588 unit yang tersebar di 257 lokasi, tentu harus segera diperbanyak dan diperluas.
Pemerintah dapat berperan dalam mendorong dan memfasilitasi tersebarnya SPKLU agar jumlah dan sebarannya berjalan dengan cepat.
Selain itu, faktor pabrikan atau pemanufaktur juga sangat menentukan dalam memompa animo masyarakat dalam beralih ke kendaraan listrik.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia atau AISI (2016), 90 % pasar sepeda motor di Indonesia dikuasai oleh dua merek yaitu Honda dan Yamaha.
Penguasaan pasar kedua merek dapat terwujud karena dukungan jaringan pemasaran dan perawatan yang sangat baik dan diterima masyarakat Indonesia sejak lama. Pelibatan kedua pemanufaktur yang telah diterima masyarakat dalam proses percepatan implementasi sepeda motor listrik di Indonesia.
Namun pemberian subsidi yang besar tidak selamanya baik. Pemerintah harus berhati-hati dengan fenomena crowding in effect dan crowding out effect.
Fenomena crowding in effect adalah fenomena kompetisi yang berlebihan yang dilakukan para pabrikan sebagai akibat dari profit yang tinggi dari penjualan produk bersubsidi.
Tingginya profit perusahaan, mendorong perusahaan meningkatkan biaya promosi dan memicu kompetisi yang sangat ketat karena pertumbuhan pasar pada pasar produk bersubsidi.
Dampak negatifnya adalah ketika subsidi dicabut, perilaku jor-joran dalam biaya promosi dan perang harga di era subsidi mengakibatkan pasar menjadi tidak menarik lagi karena standar biaya kompetisi yang sudah kadung tinggi selama era subsidi.
Efek negatif lain dari subsidi yang tidak proporsional dan terencana dengan baik adalah terjadinya crowding out effect. Perusahaan yang menikmati subsidi akan memproduksi unit di atas kapasitas pasar yang sebenarnya.
Hal ini mengakibatkan over supply, tidak hanya saat subsidi dicabut, bahkan saat subsidi sedang berlangsung.
Bagaimana strategi dan kebijakan pemerintah kita ke depan untuk kendaraan listrik, khususnya sepeda motor listrik di Indonesia? Mari kita cermati bersama.
Artikel ini ditulis oleh Roni Zakaria Raung, mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Industri UNS & Peneliti Riset Grup pada Rekayasa Industri dan Tekno-ekonomi (RG RITE) Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret.