Tim nasional sepak bola Indonesia mengamankan dua poin berharga dalam lanjutan putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Setelah menahan imbang tim nasional Arab Saudi dan Australia, tim nasional Indonesia asuhan Shin Tae-yong menempati peringkat keempat klasemen Grup C. Dengan hasil ini, walau tergolong berat, Jay Idzes dan kawan-kawan masih menjaga asa lolos ke putaran Piala Dunia 2026.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Apapun masih bisa terjadi. Semangat dan optimisme yang harus dijaga agar para pemain punya mental baja sehingga mampu bersaing dengan negara-negara langganan Piala Dunia.
Tak diragukan lagi, animo suporter Indonesia begitu kuat untuk mendukung tim nasional Indonesia. Saat tampil menghadapi tuan rumah Arab Saudi, suporter Indonesia memberikan dukungan penuh kepada para pemain.
Sepanjang pertandingan mereka menyanyikan chant untuk membakar semangat skuad Garuda. Walau berstatus sebagai tim tamu, dukungan suporter Indonesia justru tak kalah besar daripada dukungan suporter tim tuan rumah.
Seolah-olah tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendukung tim nasional Indonesia, puluhan ribu suporter memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, dalam laga menghadapi Australia, Selasa (10/9/2024) malam.
Panitia mencatat jumlah penonton yang hadir di laga itu 70.059 orang. Jumlah itu menjadikan pertandingan tim nasional Indonesia melawan Australia menempati peringkat teratas jumlah penonton terbanyak di laga putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Antusiasme masyarakat di daerah mendukung skuat Garuda juga besar. Hal ini ditandai dengan banyak tempat untuk menonton bareng (nonbar) laga tim nasional Indonesia melawan tim nasional Australia.
Nonbar diadakan di kawasan alun-alun atau pusat kota, di jalan kampung, bahkan rapat dan arisan rukun tetangga yang biasa digelar tiap bulan diisi dengan agenda nonbar laga tim nasional.
Acara nonbar ini tidak sebatas bicara dukungan suporter untuk skuat Garuda. Lebih dari itu, nonbar sebetulnya memiliki multiplier effect yang luar biasa besar bagi perekonomian masyarakat setempat.
Bagi pedagang kaki lima, nonbar merupakan kesempatan emas meraih keuntungan lebih. Saya ingat dengan cerita seorang pedagang sempol ayam di KabupatenSragen. Dalam sebuah acara yang digelar di Alun-alun Sasana Langen Putra, dia bersama istri bisa meraup omzet belasan juta rupiah hanya dalam semalam.
Omzet itu dicapai setelah dia dan istrinya harus bolak-balik menyetok persediaan sempol masing-masing lebih dari lima kali dalam semalam. Tentu saja nonbar tim nasional Indonesia di Alun-alun Sasana Langen Putra Sragen menjadi kesempatan emas yang ditunggu-tunggu pedagang seperti itu.
Di tengah antusiasme tinggi masyarakat mendukung skuad Garuda, ada masyarakat yang julid. Dalam unggahan di media sosial, banyak kita temui nyinyiran yang dialamatkan kepada skuad Garuda yang sebagian besar diperkuat pemain diaspora.
Dalam laga menghadapi Australia, Selasa lalu, Shin Tae-yong membawa 11 pemain diaspora dari total 23 pemain. Beberapa pemain diaspora itu adalah Martin Paes, C. Verdonk, Sandy Walsh, Ivar Jenner, Justin Hubner, Rafael Struick, Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Shayne Pattynama, dan Nathan Tjoe-A-On.
Mereka kerap diberi label sebagai pemain naturalisasi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Dikotomi pemain naturalisasi dan local pride selalu menggema sejak program naturalisasi pesepak bola keturunan Indonesia gencar dilakukan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Kemunculan dikotomi pemain naturalisasi dan pemain lokal menandakan sebagian masyarakat Indonesia belum cukup mampu menjadi suporter sejati. Fans tim nasional Indonesia seharusnya tulus mendukung skuad Garuda tanpa perlu membeda-bedakan pemain naturalisasi atau lokal.
Pernahkan kita berpikir bila dikotomi pemain naturalisasi dan lokal itu melukai perasaan para pemain diaspora? Shayne Pattynama pernah mengungapkan kekecewaan karena masih mendengar dirinya sering disebut sebagai pemain naturalisasi, bukan pemain Indonesia.
Shayne Pattynama mengatakan dirinya punya keluarga yang kini tinggal di Kota Semarang. Makanan yang ia santap sehari-hari sama dengan makanan bangsa ini. Dia tumbuh dan besar dengan nilai-nilai budaya Indonesia.
Ia tetap memakai nama Pattynama, nama yang biasa disematkan untuk warga etnis asal Pulau Haruku, Maluku. “Saya Pattynama, saya orang Indonesia, bukan orang asing,” ujar dia dalam sebuah sesi tanya jawab di Youtube.
Jika diamati, hampir semua pemain diaspora memiliki darah Indonesia, entah dari ibu, ayah, kakek atau nenek. Proses naturalisasi pemain-pemain tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Mereka memang tidak tinggal di wilayah Indonesia dalam waktu lima tahun berturut-turut sebagai syarat naturalisasi umum. Darah Indonesia yang mengalir di tubuh membuat mereka tidak perlu menempuh jalur naturalisasi umum.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Pasal 4 huruf c, huruf d, dan huruf h. Memiliki “darah” Indonesia membuat mereka hanya perlu mendaftarkan diri sebagai warga negara Indonesia (WNI) agar tidak berstatus berkewarganegaraan ganda.
Tidak ada aturan yang mereka langgar untuk menjadi WNI seutuhnya. Setelah resmi menjadi WNI, predikat pemain naturalisasi tidak layak disematkan kepada mereka. Para pemain telah berjuang sekuat tenaga demi lambang Garuda di dada.
Di lapangan mereka bekerja keras untuk membanggakan Indonesia di kancah dunia. Mereka hanya perlu dukungan suporter, bukan cacian dengan memberi label pemain naturalisasi.
Nyinyiran seperti itu justru akan melukai perasaan para pemain yang tidak menutup kemungkinan bisa menjatuhkan mental mereka saat bertanding. Jika masih ada nyinyiran semacam itu, masihkah pantas kita berharap tim nasional sepak bola Indonesia ke puncak kejayaan?
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 September 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)