Pernyataan itu yang menjadi kalimat pembuka pidato Menteri Pendidikan di Hari Pendidikan Nasional Mei 2023. Menurut Pak Menteri, pendidikan di Indonesia semakin mendekati cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang mengembangkan bakat minat agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Sumber Kemdikbud.go.id).
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Sebuah pencapaian positif, signifikan serta luar biasa yang diklaim sepihak oleh wakil pemerintah. Topik seperti ini memiliki dua atau lebih perspektif yang berkembang. Setuju dan tidak setuju adalah kontradiksi sederhana yang muncul dari sebuah pernyataan klaim kemajuan pendidikan Indonesia. Tidak hanya itu, variasi perspektif masyarakat, praktisi pendidikan hingga komentator awam pun layak untuk menjadi bagian dari demokrasi pendidikan.
Pola pikir yang hanya mementingkan satu sudut pandang ternyata sangat langgeng di Republik Indonesia. Tiada tokoh pengganti hingga kini. Ki Hadjar Dewantara, wafat di 26 April 1959, yang justru cita-citanya ingin diwujudkan di tengah masa munculnya humanoid pengganti aktivitas manusia. Jutaan aplikasi teknologi hingga metaverse telah mengganti pembelajaran nyata ke maya, bahasa puitis yang tidak bisa diukur menjadi titik tolak impian pendidikan negara ini.
Apakah memang harus demikian? Secara jelas dituliskan dalam pidato bahwa mimpi pendidikan nasional adalah untuk menuntun bakat, minat dan potensi peserta didik agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya sebagai seorang manusia dan seorang anggota masyarakat.
Inilah kalimat yang kemudian layak dipertanyakan bagaimana cara mengukur tingkat keberhasilannya? Bagaimana jika Ki Hadjar Dewantara pun tidak setuju dengan hal ini? Klaim atas cita-citanya di masa pergerakan awal kemerdekaan perlu dipikirkan tingkat relevansinya di masa after pandemic 2023.
Telah diungkapkan dalam pidato Menteri Pendidikan di Hari Pendidikan Nasional Mei 2023 tentang perubahan dan bebasnya ikatan-ikatan administratif bagi guru dan siswa. Namun belum diungkapkan bagaimana tingkat pemahaman pelaksana di lapangan. Potret ini justru menunjukkan kontradiksi komunikasi yang belum tuntas antara pembuat dan pelaksana kebijakan.
Di lapangan, banyak guru-guru yang bingung dengan kurikulum merdeka namun terpaksa melaksanakannya. Beberapa friksi telah terjadi antara guru penggerak dengan non-guru penggerak. Inspirasi pembelajaran aktif diwarnai dengan saling sikut “kemampuan guru” hingga muncul label guru yang layak dan yang tidak layak.
Berita kekerasan antar siswa tidak juga menurun tetapi justru makin viral di media sosial. Tingkat individualitas siswa menjadi semakin jelas di tengah-tengah pola masyarakat komunal gaya Asia. Dari banyaknya contoh di lapangan memang kita akan sulit mengukur yang dimaksud kebahagiaan setinggi-tingginya. Menurut siapa? dan dalam konteks apa? Apakah pendidikan kita akan berdiri di tengah abstraksi mimpi masa silam?
UNESCO secara gamblang dan tegas menuliskan standar pendidikan sebagai berikut: “ensure inclusive and equitable quality education and promote lifelong learning opportunities for all” (sumber sdgs.un.org). Tujuan ini dapat dipetakan dengan data dan memiliki standar yang jelas. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia pun harus mulai menyusun strategi untuk memenuhi tujuan pendidikan internasional ini. Modal bakat dan minat anak sangatlah relevan untuk ikut andil dalam persaingan global. Dibutuhkan sebuah strategi yang akurat.
Pendidikan Dasar merupakan area paling fundamental untuk mampu membentuk seseorang menjadi adaptif, kreatif, berdaya cipta dan kritis. Di samping sebuah kebahagiaan setinggi-tingginya, perlu poin-poin penekanan strategi mendidik siswa sejak dini.
Diskusi bulanan dilakukan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana untuk menjaring ide-ide segar membangun pendidikan dasar di Indonesia. Dari diskusi tersebut lahirlah beberapa poin penting pendidikan dasar yang bisa diukur dan dijadikan kejelasan standar demi memenuhi tuntutan pergerakan pendidikan internasional.
Ditemukan tiga komponen penting pendidikan dasar, yaitu:
Pendidikan Dasar untuk Menemukan Jati Diri dan Cita-cita Siswa
Usia sekolah dasar siswa diajarkan untuk mengobservasi pola pada dirinya sendiri hingga menemukan jati diri melalui berbagai kegiatan akademik dan non-akademik.
Menemukan hal yang paling disukai dan secara sukarela ingin dikembangkan oleh diri siswa itu sendiri. Merestrukturisasi mimpi, keinginan, angan, ide dan gagasan menjadi sebuah cita-cita yang konkret untuk diwujudkan dalam kehidupan nyata.
Menemukan jati diri dapat dibantu dengan catatan kebiasaan hingga instrumen psikologi yang dilakukan secara persisten. Dengan demikian siswa akan melangkah dengan lebih pasti dengan kepercayaan diri yang tinggi bukan lagi ditentukan oleh orang tua karena tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Pendidikan Dasar untuk Membangun Empati
Siswa sekolah dasar penting untuk dilatih secara persisten membangun empati dengan memahami secara sadar pola komunitas komunal gaya Asia. Sebuah komunitas yang dihuni dengan banyak variasi manusia, pola pikir, pendapat, ras, latar belakang hingga kepercayaan.
Empati diasah untuk dijadikan radar bagi diri siswa dalam kehidupan sehari-hari. Contoh: jika dirinya terlambat maka siswa diajarkan untuk berpikir apa yang akan terjadi pada acara yang harus diikutinya. Contoh lain adalah latihan studi kasus jika dirinya tidak bisa mengikuti pembelajaran karena malas apa yang akan terjadi pada suasana kelas yang diikutinya.
Empati dapat diukur dengan sikap hidup yang muncul dalam kehidupan sehari-hari melalui aktivitas yang persisten dari tahun ke tahun. Dengan demikian siswa akan punya daya pikir kritis yang kuat sekaligus menjadi radar untuk mampu berkontribusi dalam masyarakat.
Pendidikan Dasar untuk Mampu Mengelola Diri
Sekolah dasar merupakan tempat dan waktu yang tepat untuk menguatkan pengelolaan diri berdasarkan dua komponen sebelumnya. Siswa dilatih untuk menganalisis kelebihan dan kelemahan diri hingga menentukan solusi atas hal tersebut melalui berbagai kegiatan akademik dan non-akademik.
Pengelolaan diri dapat diukur dengan observasi dan pemberian kasus untuk dipelajari dan dipecahkan. Pengukurannya berjalan persisten dari tahun ke tahun. Melalui pengelolaan diri ini, siswa siap untuk masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi dengan lebih mudah. Peningkatan jumlah dan kesulitan materi akan dilalui siswa dengan bekal penyelesaian masalah (problem solving) yang tinggi.
Tiga komponen tersebut perlu dikaji melalui penelitian fundamental yang benar. Gagasan tersebut melengkapi cita-cita pendidikan nasional Indonesia yang dapat diukur dengan standar yang lebih jelas. Kajian ini menjadi salah satu kontribusi praktisi pendidikan di lapangan yang menyuarakan kepedulian terhadap masalah-masalah pendidikan.
Dengan demikian, dapat muncul perspektif baru yang menjadi peluang diskusi tentang topik pendidikan yang dinamis. Pendidikan di negara ini akan kuat dengan dukungan dari berbagai pihak dengan keunikannya masing-masing.
Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Kristen Satya Wacana.