Esposin, SOLO – Di depan ribuan peziarah yang memadati sebagian Alun-alun Santo Petrus, Vatikan, Minggu (1/9/2024), Paus Fransiskus memohon dukungan doa untuk perjalanan ke Asia. Dalam perjalanan apostolik ke-45, Paus Fransiskus mengunjungi Indonesia, Papua Niugini, Timor Leste, dan Singapura.
Paus Fransiskus mengunjungi Indonesia pada 3—6 September 2024. Paus menemui Presiden Joko Widodo, berdialog di Masjid Istiqlal, dan memimpin misa bersama 86.000 umat Katolik di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Promosi Jaga Lingkungan Event MotoGP Mandalika, BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah
Pemimpin tertinggi umat Katolik yang mengunjungi Indonesia adalah Paus Santo Paulus VI pada 3 Desember 1970 atau hampir 54 tahun silam dan Paus Santo Yohanes Paulus II pada 1989 atau 35 tahun silam.
Sangat dimaklumi apabila kehadiran Paus Fransiskus dinanti-nantikan oleh umat Katolik di Indonesia. Mata dunia juga melihat Indonesia sebab negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini dikunjungi pemimpin tertinggi gereja Katolik sedunia.
Paus Fransiskus adalah tokoh dunia dengan seruan kemanusiaan dan kekuatan moral yang mendapat perhatian dari pelbagai pihak, termasuk mereka yang beragama non-Katolik, bahkan mereka yang tidak mengidentifikasi diri dengan tradisi keagamaan apa pun.
Paus Fransiskus memberi perhatian serius pada masalah perdamaian dan kemiskinan. Pada audensi pertama, 16 Maret 2013, Paus Fransiskus mengatakan kepada wartawan dirinya memilih nama Fransiskus karena ingin meneladani Santo Fransiskus Assisi yang hidup dengan spiritualitas kemiskinan.
Santo Fransiskus Assisi membawa makna kemiskinan ke dalam gereja. Dalam peristiwa terpilihnya Paus Fransiskus sebagai pemimpin tertinggi gereja Katolik pada 2013, ada hal yang mengejutkan. Tindakan setelah pengumuman sebagai Paus disebut sebagai tindakan yang “tidak disangka dan mengagetkan” oleh editor L’Osservatore Romano, koran resmi Vatikan.
Beberapa hari setelah pemilihan sebagai Paus, dia berkhotbah di hadapan banyak imam Katolik. Paus Fransiskus mendesak gereja keluar dari zona nyaman dan pergi ke daerah-daerah pinggiran tempat penderitaan dan kemiskinan. Gereja yang tidak keluar dari dirinya sendiri, cepat atau lambat akan jatuh sakit karena udara pengap dalam ruangan tertutup (Chris Lowney, 2016).
Tidak mengherankan sebagian besar perjalanan internasional Paus Fransiskus adalah ke negara-negara tempat umat Kristiani adalah minoritas atau ke negara tempat ia dapat mendekatkan diri kepada orang-orang yang tidak mendapat perhatian dunia, khususnya mereka yang terjebak dalam kemiskinan.
Paus Fransiskus mengunjungi beberapa negara termiskin di dunia seperti Mozambik dan Madagaskar pada 2019 serta Republik Demokratik Kongo dan Sudan Selatan pada Januari- Februari 2023.
Sangat jelas bahwa gereja seluruhnya harus keluar menjumpai setiap orang tanpa terkecuali; tidak terbatas teman-teman dan tetangga-tetangga yang kaya, tetapi terutama orang-orang miskin dan orang-orang sakit, “orang-orang yang tidak dapat membalasmu”.
Hari ini dan selalu, kaum miskin adalah prioritas. Harus diyatakan dengan terus terang bahwa ada ikatan tak terpisahkan antara iman dan kaum miskin. Paus Fransiskus menginginkan gereja yang miskin dan untuk mereka yang miskin, sekaligus gereja yang bersedia sepatunya bergelimang lumpur kemiskinan.
Dalam dokumen Evangelii Gaudium atau Suka Cita Injil, Paus Fransiskus dengan lantang berbicara tentang kemiskinan. Setiap orang dipanggil menjadi sarana dan alat Tuhan untuk membebaskan dan mengangkat kehidupan orang miskin. Panggilan ini berbasiskan pada hati Allah yang menyediakan tempat khusus bagi kaum miskin.
Dunia perlu berpihak kepada orang miskin sebagai prioritas mengamalkan cinta kasih. Preferensi pada kaum miskin memiliki dua arti. Pertama, masyarakat dunia, khususnya gereja, yang menjadi miskin. Caranya dengan menjadi sahabat, mendengarkan, dan memahami kaum miskin, sehingga memperoleh hikmah tersembunyi yang ingin disampaikan Allah melalui hidup kaum miskin.
Kedua, masyarakat dunia, khususnya gerejam bagi kaum miskin. Dunia bagi kaum miskin tidak hanya terdiri kegiatan-kegiatan atau peningkatan bantuan, tetapi sesuatu yang disemangati oleh spiritualitas kemiskinan, yakni perhatian penuh kasih yang menganggap kaum miskin sebagai bagian integral masyarakat dunia.
Perhatian penuh kasih ini merupakan langkah awal yang efektif untuk mengusahakan kesejahteraan kaum miskin. Perhatian penuh kasih mencakup penghargaan terhadap kaum miskin dalam kebaikan mereka, pengalaman hidup mereka, budaya mereka, dan cara mereka menghayati iman.
Kasih merupakan perhatian terhadap kaum miskin tanpa bermaksud mengeksploitasi. Dengan kasih, kaum miskin dapat dihargai sebagai yang sangat bernilai. Semangat kasih itulah juga yang membuat perhatian kepada kaum miskin berbeda dengan ideologi lain yang mementingkan pamrih.
Hal yang ingin ditegaskan adalah keberpihakan terhadap kaum miskin harus berbasiskan spritualitas kasih. Hanya berdasarkan perhatian nyata dan tulus dunia dapat dengan tepat mendampingi kaum miskin di jalan pembebasan mereka. Itulah tugas seluruh umat manusia.
Tidak seorang pun yang dibebaskan dari kepedulian terhadap kaum miskin. Masyarakat dunia perlu mengerahkan seluruh tenaga untuk menghapus sebab-sebab struktural kemiskinan, memajukan kaum miskin seutuhnya, dan solidaritas memenuhi kebutuhan harian kaum miskin.
Kata ”solidaritas” merujuk pada sesuatu yang lebih daripada beberapa tindakan murah hati yang sporadis. Solidaritas merupakan bagian karya kasih yang merupakan hal mendasar dalam tugas perutusan gereja di dunia, terutama dalam pelayanan kepada kaum miskin.
Solidaritas adalah suatu mentalitas yang mengutamakan masyarakat dan kehidupan semua orang daripada menimbun kekayaan pribadi. Kepemilikan harta benda pribadi dibenarkan sejauh itu ditambah dan dijaga dengan cara yang dapat melayani dengan lebih baik kesejahteraan umum.
Itulah versi zaman sekarang, ”memberi makan kepada orang yang lapar dan memberi minum kepada orang yang haus”. Solidaritas dengan demikian dapat membuka peluang perubahan struktur. Lebih dari itu, perubahan struktur juga harus diikuti keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap baru yang lebih manusiawi.
Penting juga dimengerti bahwa solidaritas terhadap kaum miskin–tindakan yang mendengar dan membela kepentingan mereka–terus diperjuangkan karena tindakan itu didukung solidaritas manusiawi.
Artinya, solidaritas timbul karena tindakan itu dipahami sebagai yang memanusiawikan. Manusiawi berarti semua orang, khususnya kaum miskin, mencapai kemakmuran dalam aneka aspek kehidupannya.
Dialog Menuju Perdamaian
Paus Fransiskus memiliki komitmen mewujudkan perdamaian dunia. Paus menekankan pentingnya dialog sebagai jalan mewujudkan perdamaian. Dialog merupakan salah satu wujud nyata kehadiran gereja dalam komunitas internasional.Ada tiga bidang dialog yang menonjol saat gereja perlu hadir untuk memajukan perdamaian dunia: dialog dengan negara, dialog dengan masyarakat–termasuk dialog dengan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan dialog dengan agama lain yang bukan gereja Katolik.
Pertama, dialog antaragama. Dialog antaragama dibutuhkan bagi perdamaian dunia. Dialog ini pertama-tama merupakan pembicaraan tentang keberadaan manusia. Artinya, pihak yang berdialog saling mengenal dan menerima satu sama lain, baik cara berpikir maupun cara bicara.
Dengan cara ini, keduanya kemudian dapat berdialog tentang tema khusus, seperti keadilan dan perdamaian. Dalam dialog ini keduanya tetap memegang kepercayaan masing-masing sekaligus terbuka memahami kekayaan teman dialog.
Dialog dapat memperkaya cakrawala masing-masing. Kebebasan beragama dipandang sebagai hak asasi manusia. Ini mencakup kebebasan memilih agama yang dianggap benar dan untuk menyatakan iman di depan publik.
Berhadapan dengan pihak yang tidak terikat dengan suatu tradisi religus, gereja justru menganggap mereka sebagai saudara dalam membela martabat manusia dan melindungi ciptaan. Orang beriman dan orang tidak beriman dapat berdialog mengenai tema-tema fundamental, seperti keadilan dan perdamaian.
Beberapa perjalanan internasional Paus menunjukkan komitmen terhadap dialog antaragama. Ia menjadi Paus pertama yang mengunjungi beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Uni Emirat Arab, Irak, Bahrain.
Saat mengunjungi Abu Dhabi (2019), Paus Fransiskus dan Imam Agung Al-Azhar Syekh Ahmad el-Tayeb menandatangani Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together. Dokumen ini pada prinsipnya mengajak seluruh umat manusia hidup bersama sebagai saudara yang dilandasi cinta dan perdamaian.
Selama di Indonesia, Paus Fransiskus rencananya ke Masjid Istiqlal. Di sana Paus akan berdialog dengan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasarudin Umar, termasuk meneken dokumen kemanusiaan yang berisi komitmen kerukunan hidup beragama.
Kedua, dialog dengan negara. Negara bertanggung jawab menjaga dan memajukan perdamaian. Negara memainkan peran penting dalam usaha pengembangan semua orang seutuhnya. Gereja mendukung program-program pemerintah yang paling baik menanggapi martabat setiap orang dan kebaikan umum.
Gereja menawarkan nilai-nilai fundamental hidup manusia dan keyakinan-keyakinan yang pada gilirannya dapat menemukan jalan terwujudnya perdamaian. Berkaitan dengan masalah kemanusiaan di Palestina, misalnya, Paus Fransiskus mengutuk serangan Israel Defence Force terhadap rakyat sipil di Gaza sebagai sebuah tindakan terorisme.
Dalam konflik Rusia-Ukraina, Paus Fransiskus merupakan salah satu dari sedikit pemimpin yang dapat berdialog dengan baik dengan Presiden Rusia dan Ukraina. Ketiga, dialog antara iman, akal budi, dan ilmu pengetahuan.
Dialog antara iman dan ilmu pengetahuan juga penting agar tercipta perdamaian. Gereja mengakui kemajuan ilmu pengetahuan–sejauh itu masuk akal–yang pada prinsipnya dilihat sebagai karunia Allah bagi manusia.
Dunia tetap memperhatikan kemajuan ilmu pengetahuan tersebut agar tetap menghargai nilai tertinggi pribadi manusia pada setiap tahap kehidupan. Iman perlu kritis terhadap ilmuwan yang telah melampaui batas-batas kemampuan ilmiah dengan membuat klaim tentang sesuatu yang di luar bidang formalnya.
Paus Fransiskus memberi perhatian serius pada isu kemiskinan dan perdamaian. Semoga komitmen Paus ini mampu menggenjot semangat bangsa kita untuk mengentaskan kemiskinan dan memajukan perdamaian sehingga tujuan nasional yang termaktub dalam konstitusi sungguh-sungguh terwujud di negeri kita tercinta ini.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 September 2024. Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta)