Esposin, SOLO – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pencalonan kepala daerah tidak lagi atas dasar jumlah kursi di parlemen, tetapi berdasar jumlah suara sah yang diperoleh partai politik dan/atau gabungan partai politik menjadi titik balik bagi lembaga itu sendiri setelah mendapat nyinyiran sebagai Mahkamah Kakak atau Mahkamah Paman.
Putusan MK itu ternyata juga menerbitkan keberanian bagi masyarakat sipil dan mahasiswa untuk turun ke jalan ketika melihat gejala DPR mengabaikan putusan tersebut. Tak lama setelah itu partai-partai politik mengadakan acara tingkat nasional untuk memilih ketua umum.
Promosi Beri Kontribusi Nyata, BRI Peduli Adakan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Salah satunya adalah Partai Amanat Nasional (PAN). Partai ini sebenarnya partai reformis ketika pada awal didirikan oleh Amien Rais dan kawan-kawan. Musyawarah nasional ke-6 PAN menyediakan panggung bagi presiden terpilih dalam Pemilihan Umum 2024 Prabowo Subianto.
Dalam esai singkat ini, saya mengaitkan poin-poin penting dalam pidato Prabowo dengan kondisi politik kekinian. Pertama, Prabowo mengucapkan terima kasih kepada PAN yang telah setia bersama meskipun berulang kali menelan kekalahan dalam kontestasi pemilihan presiden.
PAN dan Prabowo (Partai Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra) merupakan kawan setia dalam berkoalisi. Calon wakil presiden yang mendampingi Prabowo pada pemilihan presiden 2014 berasal dari PAN, yaitu Hatta Radjasa.
Sebelum putusan MK tersebut, tampaknya koalisi PAN dan Partai Gerindra akan berlangsung terus. Di mana ada Gerindra, di situ ada PAN. Hal ini terjadi karena di level provinsi, Partai Gerindra hanya mendapat satu kesempatan maju secara mandiri di Kepulauan Riau.
PAN bahkan tidak mendapat 20% kursi perwakilan di tingkat provinsi. Setelah putusan MK itulah Partai Gerindra dan PAN bisa menjadi kawan sekaligus lawan. Itu harapan saya. Kedua, Prabowo menyinggung ada pihak yang haus kekuasaan. Dalam pidato tersebut, Prabowo tidak menyebut siapa pihak yang haus kekuasaan.
Situasi politik akhir-akhir ini menjelaskan sebuah titik terang siapa pihak yang sebenarnya haus kekuasaan. Rakyat sebenarnya bisa melihat dengan gamblang siapa yang menguasai sekaligus mengendalikan partai politik, siapa yang ingin maju untuk masa jabatan ketiga, siapa yang ingin melemahkan demokrasi, dan siapa yang ingin berkuasa terus-menerus tanpa bisa diinterupsi atau dikritik.
Perilaku haus kekuasaan ini tampak ketika ada putusan MK Nomor 60. Apabila berpikir dan bertindak rasional, seharusnya partai politik senang karena mendapatkan second wind untuk mencalonkan kader menjadi kepala daerah. Respons mereka malah sebaliknya. Melawan putusan MK.
Mereka bersepakat membatasi kesempatan partai politik lain mengajukan calon kepala daerah. Perilaku ini jelas memprihatinkan karena demokrasi yang dilandasi oleh kompetisi mulai luntur. Partai politik seakan-akan takut berbeda suara, bahkan saya menduga sudah terbentuk politik kartel.
Pihak-pihak yang haus kekuasaan tadi menyebabkan indeks demokrasi di Indonesia terus melorot. Indonesia sudah sampai pada flawed democracy atau demokrasi yang cacat. Situasi politik saat ini malah makin mirip otoritarianisme, tetapi dalam bungkus demokrasi.
Pendek kata, demokrasi yang terjadi di Indonesia saat ini hanyalah kamuflase. Pihak-pihak yang haus kekuasaan itu memiliki niat mengendalikan demokrasi, salah satunya dengan membatasi kompetisi. Apabila masih memakai aturan undang-undang tentang pilkada yang lama, rakyat bebas memilih calon, tetapi tidak bervariasi. Calon-calon pemimpin hanyalah calon yang mendapatkan dukungan elite puncak.
Ketiga, Prabowo menyinggung negara Indonesia pada 1998. Saya tertarik berkonspirasi bahwa Prabowo ingin menghubungkan aksi protes 1998 dan aksi kawal putusan MK. Prabowo memulai pidato dengan pernyataan bahwa negara Indonesia sudah pada jalur yang benar dan bersiap untuk tinggal landas.
Pada 1998, negara Indonesia dikerjain oleh asing sehingga tidak jadi tinggal landas, tetapi terjebak dalam situasi negara berpendapatan menengah middle income trap). Prabowo seakan-akan tidak berpikir positif terhadap gerakan mahasiswa dan rakyat tahun 1998 yang menjungkalkan mertuanya, Presiden Soeharto, dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun.
Prabowo seakan-akan menyesali terjadinya tragedi 1998. Saya mencoba beranalogi terhadap alur pikir Prabowo bahwa pada saat ini Indonesia akan tinggal landas lagi, tetapi mulai ada gangguan. Prabowo mewanti-wanti agar rakyat jangan mau diadu domba. Prabowo ingin semua elite bangsa bersatu.
Pernyataan Prabowo ini sepertinya secara tidak langsung mengejek Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang tidak mau (mungkin lebih tepat: belum mau) bergabung pada Koalisi Indonesia Maju. Pola pikir seperti ini sangatlah berbahaya.
Makin berbahaya setelah Prabowo berulang-ulang menegaskan dia mendapat mandat rakyat sebesar 58%. Artinya 58% rakyat Indonesia ada di belakang dia. Apabila pernyataan tersebut disampaikan pada saat demokrasi Indonesia baik-baik saja, tentulah tidak bermasalah. Oleh karena disampaikan ketika ada gerakan masyarakat sipil kawal putusan MK, pernyataan ini mengandung sejumlah permasalahan.
Pernyataan ini menunjukkan seakan-akan Prabowo mengirimkan pesan kepada peserta aksi bahwa suara dia adalah suara rakyat, sedangkan suara peserta aksi sama seperti PDIP: berisik dan ingin mengganggu kerja-kerja pemerintah mencapai tinggal landas atau Indonesia Emas 2045.
Usaha Prabowo sebagai presiden 2024-2029 dengan menjadikan Indonesia masuk kembali landasan pacu tinggal landas lagi tidaklah salah. Pola pikir yang mengganggap segelintir elite politik tidak mau bersama dengan dirinya membangun Indonesia Emas sebagai sikap tidak berkontribusi, mengganggu pemerintahan, dan berisik inilah yang bermasalah.
Saya pernah menulis bahwa Prabowo dan Joko Widodo itu sama saja karena hanya ingin membentuk pemerintahan yang besar dan memiliki perhatian yang minim terhadap demokrasi (Solopos, 10/5/2024) atau lebih lama lagi bahwa demokrasi gotong royong ini dekat dengan bau otoritarianisme (Solopos, 29/11/2019).
Artinya, sinyal antidemokrasi akan terus hadir pada tahun-tahun mendatang. Kita harus mewaspadai naiknya taraf kediktatoran seorang presiden apabila dia mulai narsis dengan mulai sering menyatakan bahwa di dalam dirinya hanya ada kebaikan. Alarm “peringatan darurat” haruslah makin sering kita nyalakan karena sebagaimana dinyatakan St. Bernard of Clairvarux bahwa hell is full of good intensions and wills.
Neraka itu penuh dengan kebaikan. Jadi, sering sekali jalan menuju neraka dibuat dalam narasi kebaikan (saya ingin menyebut dengan toxic positivity) dan di segala tempat di penjuru dunia para diktator akan terus-menerus menyebar klaim kebaikan, termasuk di Indonesia.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 September 2024. Penulis adalah editor buku yan tinggal di Kota Solo)