Esposin, SOLO – Ketika masyarakat melihat aneka wajah terpampang di baliho-baliho di pinggir jalan kira-kira apa yang berkecamuk di benak mereka? Wajah-wajah itu, sebagaimana kita tahu, tampak diganteng-gantengkan, dicantik-cantikkan, dan disopan-sopankan.
Mereka adalah para calon wakil rakyat, calon bupati atau calon wali kota, calon gubernur, bahkan calon presiden. Pemandangan yang jamak terjadi dalam siklus lima tahunan.
Kita tahu pula tindakan itu tak lebih dan tak kurang sebagai pemasaran politik. Bahasa gampangannya, mereka jualan dan berharap (termasuk harap-harap cemas) banyak yang mau membeli.
Adakah yang salah dengan pamer wajah itu? Tidak ada yang salah! Jika benar apa yang dikatakan Otto von Bismarck: politics is the art of the possible, cara berdagang seperti itu termasuk seni juga.
Makna seni alias kunst, menurut Klinkert, mencakup pemahaman tentang hikmat, ilmu, pengetahuan, kecakapan, kepandaian, keterampilan. Orang sana bilang art is skill in making or doing.
Bahwa dalam seni mesti ada perbuatan atau keterampilan. Lalu ada istilah seni memasak, seni menjahit, seni berdagang, bahkan seni berperang seperti yang diajarkan Sun Tzu. Termasuk seni memikat hati rakyat.
Pertanyaannya, cukup efektifkah memasang gambar-gambar segede gajah di pinggir jalan? Adakah dengan pamer kesantunan, dengan kedua telapak tangan tertangkup rapat seraya tersenyum, cukup memikat hati rakyat?
Tulisan Andina Elok Puri Maharani di Solopos edisi 10-11 Juni 2023 bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi siapa pun yang ingin memikat hati rakyat di ranah politik.
Bahwa media sosial telah menjadi ”kekuatan politik” di banyak belahan bumi. Media sosial bisa menjadi wahana yang efektif bagi individu politikus atau partai politik memperkenalkan diri dan kegiatan yang dilakukan kepada masyarakat.
Itu baru media komunikasi politik yang ditilik dari sudut pandang culture context ala Edward T. Hall (1976) jelas memiliki jangkauan yang berbeda, antara high context culture dan low context culture.
Bagi masyarakat yang tataran melek politiknya sudah tinggi, high context bisa dilakukan. Minus kata-kata, pesan-pesan bisa disampaikan secara tersirat, tidak langsung, semua peristiwa yang terjadi bisa menjelaskan dengan sendirinya.
Dalam masyarakat yang masih low context, diperlukan penyampaian pesan-pesan secara langsung, dengan bahasa komunikasi yang mengena. Di sini berlaku rumusan Harold D. Lasswell mengenai formula komunikasi, yakni siapa berkata apa (who says what), kepada siapa (to whom), melalui saluran apa (with what channel), dan bagaimana efeknya (with what effect) menjadi taruhan yang tidak bisa dianggap enteng.
Terlebih dalam masyarakat yang sangat mudheng politik, Lasswell menyebut pola transaksional yang tegas bin lugas: seseorang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (Politics: Who Gets What, When, How, 1972).
Demokrasi memang banyak disetujui sebagai sistem politik terbaik di dunia (lihat: Russel L. Hanson, 1989), tetapi menurut Laurence J. Peter, demokrasi tetaplah suatu utopia. Sebuah gagasan ideal yang tak bisa seutuhnya bakal terwujud selama kaki kita masih menginjak bumi.
Secara berseloroh Peter mengatakan demokrasi merupakan suatu proses yang mana rakyat merdeka untuk memilih seseorang yang kelak dijadikan kambing hitam. Nah!
Baliho Besar
Apakah pemasangan baliho-baliho besar ada gunanya? Saya katakan tetap berguna. Walaupun perlu dikaji seberapa besar manfaatnya. Toh terbukti, di beberapa tempat selalu dipersoalkan. Dipuji, dicibir, atau dicuekin.Suka atau sebel, masyarakat yang lalu lalang tetap melihatnya. Tak mungkin menutup mata (kalau melengos mungkin iya).
Tapi baiklah kita cermati. Misalnya, jika ada seraut wajah yang menunjukkan nama dan identitas di baliho besar, lalu di bawahnya tertulis: Kepengin Ndherek Mbangun Jawa Tengah (Ingin Ikut Membangun Jawa Tengah), apakah masyarakat Jawa Tengah langsung jatuh cinta dan kelak memilih dia?
Nanti dulu. Tak semudah itu. Dalam buku The Art of Loving, Erich Fromm mengatakan cinta itu merupakan seni juga. Dia memerlukan pengetahuan dan usaha. Jadi bukan sekadar sensasi rasa nyaman yang bersandar pada keberuntungan.
Dalam kontestasi politik perlu seni bertarung (attack campaign), seni membanding-bandingkan (direct comparison), tanpa meninggalkan etika. Sudah saatnya will do anything necessary to win ditinggalkan.
Mencari kemenangan dengan menghalalkan segala cara bukanlah perilaku elok bagi bangsa yang beradab. Sudah waktunya nasihat Lester C. Thurow (1980) dalam buku The Zero Sum Society dipraktikkan.
Bahwa di dunia ini memang tak semua orang bisa menjadi pemenang. Sebagian memang harus menerima kekalahan dengan kerelaan dan kebesaran hati.
Kenapa dewasa ini semakin tampak nyata pemilu menjadi ajang kontes antarkandidat, bukan lagi semata-mata kontes antarpartai? Apalagi jika pemilu sistem terbuka tetap diselenggarakan.
Maka yang semarak di mana-mana adalah gambar orang dan bukan gambar lambang partai. Fenomena seperti itulah yang menurut Anthony Mughan (2000) membuat semakin kuatnya dominasi televisi—kini media sosial—dalam kampanye politik. Sebagaimana yang terjadi di Inggris.
Seni memikat hati rakyat kini semakin memiliki variabel dan dimensi yang rumit. Pemasaran politik benar-benar harus mencakup seluruh segi dari setiap usaha guna memenangkan kandidat atau partai politik yang dipasarkan.
Zaman cepat berubah. Cara-cara tradisional bisa digantikan oleh yang modern dan yang sudah modern digantikan yang lebih moderen lagi. Siapa mengira sebelumnya teori fisika quantum yang dimunculkan pada pertengahan dekade ketiga abad ke-20 mampu meruntuhkan determinisme Newtonian?
Alam semesta semula didalilkan oleh Newton berjalan dalam keteraturan, linier, seturut hukum sebab akibat. Eh, ternyata fisika quantum justru mendapati yang sebaliknya. Realitas yang tampak membingungkan, tak terukur, tak bisa dipastikan, sehingga melahirkan probabilitas-probabilitas (simak: McEvoy, Quantum Theory for Beginners, 1996).
Masyarakat dan konstituen adalah entitas yang berdiri sendiri yang harus dimengerti. Mereka adalah subjek yang memiliki rasionalitas serta perlu dipuaskan kebutuhannya.
Memikat hati masyarakat hanya berhasil jika seorang kandidat atau partai politik peduli dan menunjukkan kemampuan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat hari ini dan yang akan datang.
Itu sejatinya resep lawas yang tak kunjung kedaluwarsa karena memang belum terwujud. Setidaknya, belum pernah benar-benar terwujud.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Juli 2023. Penulis adalah doktor kajian seni dan sastrawan)