Esposin, SOLO – Apa kesan pertama ketika kita mendengar kata sejarah? Bisa jadi jawaban kita merujuk pada prasasti, kerajaan di Nusantara, perjuangan melawan penjajah, atau bahkan kita sekadar bernostalgia saat pelajaran sejarah kali pertama dikenalkan guru di bangku sekolah.
Kita barangkali juga teringat berbagai rekaman peristiwa penting serta gejolak kehidupan masa lalu yang dikatakan tidak akan datang dua kali. Dinamika itu bisa jadi tentang kisah kepahlawanan, kemenangan, kekalahan, dan tragedi yang terjadi dalam suatu waktu menyangkut seorang tokoh berpengaruh, suatu bangsa, maupun stabilitas dunia.
Promosi BRI Klasterku Hidupku Dorong Pemberdayaan Perempuan lewat Usaha Tani di Bali
Bagi sebagian orang membicarakan sejarah sama saja merunut peristiwa dan menelusuri kepingan bukti masa lalu untuk mencari kebenaran. Memaknai sejarah bisa juga merefleksikan konflik vertikal dan horizontal yang berlarut-larut sebagai upaya rekonsiliasi dan usaha menyembuhkan luka, namun bukan untuk dilupakan.
Di satu sisi, sejarah juga diasumsikan sebagai propaganda ”penguasa” yang narasinya penuh rekonstruksi dan retorika politis sehingga layak digugat karena mengaburkan fakta. Perbedaan perspektif tersebut tentu memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan; apakah sejarah hanya milik pemerintah dan akademikus?
Apakah sejarah mengizinkan masyarakat menulis sendiri tentang narasi penting mereka? Apakah sejarah masih relevan dengan perkembangan zaman untuk bekal masa depan? Dewasa ini kajian sejarah menunjukkan perkembangan tren positif di tengah arus perubahan sosial masyarakat.
Hal itu ditandai munculnya diskusi-diskusi di luar tembok sekolah yang melibatkan masyarakat umum, khususnya di luar disiplin ilmu sejarah. Menariknya, diskusi publik tersebut bertransformasi dari cara dan bentuk konvensional menjadi praktik baik yang tidak hanya dilakukan secara tatap muka, namun juga melalui media digital.
Tanpa disadari, fenomena itu mematahkan stigma yang selama ini melekat pada sejarah sebagai materi yang penuh hafalan, membosankan, dan kurang diminati. Kajian sejarah yang mengalami perkembangan cukup signifikan ialah kajian sejarah publik.
Sejarah publik mulai berkembang di Amerika Serikat pada 1970-an sebagai bagian dari sejarah terapan (applied history). Sejarah publik juga mulai dikenal di Eropa pada 1990-an dan mulai tumbuh di Indonesia pascareformasi (Kresno Bramantyo, 2016).
Meskipun sudah lebih dari dua dasawarsa berkembang di Indonesia, istilah sejarah publik belum begitu umum dan akrab di telinga masyarakat Indonesia. Dalam International Conference and Workshop on Public History: Public History as the New Citizen Science of the Past yang saya ikuti di Universitas Indonesia pada 21—23 November 2023 setidaknya terdapat paparan ahli yang menarik untuk menggambarkan apa itu sejarah publik.
Profesor sejarah publik Australia dari Sidney University of Technology, Paul Ashton, mendedahkan sejarah publik sebagai cara sejarawan menghadirkan dan mengembalikan masa lalu kepada masyarakat karena masyarakat merupakan pemilik narasi masa lalu.
Di satu sisi, menurut Susanto Zuhdi, purnatugas guru besar sejarah di Universitas Indonesia, sejarah publik menjadi ruang bagi masyarakat yang tidak memiliki latar belakang pendidikan formal sejarah untuk turut menggarap proyek-proyek sejarah secara terbuka. Berdasarkan dua perspektif tersebut, sejarah tidak lagi mutlak mejadi milik sejarawan/akademikus.
Kebebasan Bersuara
Sejarah publik sebagai cabang kajian sejarah telah memberikan kedudukan masyarakat sebagai pemilik sejarah yang sah dalam rangka menyusun kembali memori kolektif mereka. Dalam konteks itu, masyarakat sebagai “komunitas non-akademis” memiliki peran tidak hanya mengumpulkan sumber sejarah, tetapi juga memberikan interpretasi terhadap sumber sejarah yang mereka miliki atau didapat dari lembaga arsip.Sumber sejarah, khususnya arsip, dapat berwujud foto, dokumen, rekaman suara, dan rekaman gambar yang tersebar di berbagai tempat dan dimiliki oleh berbagai tangan. Keberadaan arsip dapat memantik memori kolektif suatu komunitas, masyarakat, dan bangsa yang mendorong pergerakan massa.
Kebangkitan massa terjadi karena persamaan interpretasi atas sejarah dan identitas yang diejawantahkan kedalam bentuk laku sejarah dan gerakan/aksi sebagai wujud kebebasan berekspresi dan bersuara.
Kegiatan menapak tilas yang jamak dilakukan oleh komunitas masyarakat di negeri ini merupakan contoh laku sejarah sebagai upaya mengingat kembali dan menghargai suatu peristiwa penting dalam kehidupan mereka. Menapak tilas berperan menjaga ingatan kolektif sehingga kesadaran masyarakat atas sejarah dan nilai kebersamaan tetap terjaga.
Gerakan atau aksi perjuangan sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni seperti dominasi dan kekuasaan juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah publik. Arsip-arsip peristiwa pelanggaran hak asasi manusia pada 1998 menjadi bukti rekaman yang senantiasa menjaga memori kita agar tidak melupakan tragedi perjuangan melawan otoritarianisme.
Warga sipil yang gugur akibat tindakan represif aparat negara tentu meninggalkan luka mendalam, khususnya bagi penyintas kekerasan dan keluarga korban. Dokumentasi mengenai korban, kondisi amuk massa, bahkan kekerasan aparat pada saat tragedi terjadi masih dan terus dipublikasikan sebagai alat perjuangan mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
Gerakan massa yang lebih masif baru-baru ini juga terjadi di penjuru dunia sebagai bentuk dukungan kepada warga Gaza, Palestina, yang menderita akibat penindasan dan serangan zionis Israel. Kebanyakan korban gugur adalah warga sipil yang saat ini menyentuh angka 17.000 jiwa sejak serangan terjadi pada 7 Oktober 2023 lalu (Aljazeera, 2023).
Ramai warga dari berbagai negara di dunia menggelar aksi secara langsung maupun melalui media digital sebagai bentuk protes kepada Israel. Menariknya, aksi protes dengan slogan “from river to the sea, Palestine will be free” itu diikuti oleh beragam latar belakang dan lintas generasi, dari tua hingga muda, yang bahkan mereka tidak merasakan langsung penindasan Israel.
Publikasi arsip-arsip lama tentang perampasan tanah penduduk Palestina dan kekerasan oleh Israel meningkat signifikan di media sosial untuk memberi tahu dunia bahwa penjajahan Israel telah dilakukan sejak lama sebagai bentuk penjajahan dan genosida.
Dua contoh aksi atau gerakan massa dari dalam dan luar negeri tersebut merupakan bukti bahwa sejarah publik telah menyentuh ranah fungsional sehingga sejarah lebih inklusif dan menjadi bagian perjalanan kehidupan masyarakat yang menembus batas waktu, generasi, dan wilayah.
Dengan sejarah publik, kita sedang menciptakan agen perubahan dan meneguhkan identitas di dunia yang rentan ini. Sejarah telah memberikan sumbangsih besar bagi masyarakat untuk tidak hanya melawan lupa, tetapi juga berani bersuara karena tidak semua bangsa menulis sejarah mereka dengan tinta, tetapi sebagian menulis sejarah dengan darah dan pengorbanan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Januari 2024. Penulis adalah Pamong Budaya Ahli Pertama di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah)