Esposin, SOLO – Mengapa belakangan ini suara kaum cendekiawan, suara kaum akademikus, suara masyarakat perguruan tinggi tidak berdaya mengoreksi kebijakan publik yang tidak pro publik? Mengapa—pada sisi lain—banyak akademikus yang malah menjadi alat legitimasi kebijakan publik yang tidak pro publik?
Resiliensi otoritarianisme adalah jawaban tersingkat. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisilan resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit; kata lainnya adalah tangguh.
Makna lainnya, kemampuan sistem atau komunitas yang terpapar bahaya untuk melawan, menyerap, mengakomodasi, beradaptasi, mengubah, dan pulih dari efek bahaya secara efisien dan tepat waktu, dilakukan melalui pelestarian dan pemulihan fungsi dan struktur dasar esensial dengan pengelolaan risiko.
Otoritarianisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah bentuk sosial yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan.
Senior saya di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang pernah menjadi mentor saya saat saya mengikuti kursus penulisan tentang globalisasi, beberapa tahun lalu, Masduki, menyebut resiliensi otoritarianisme belakangan melukai kebebasan akademik.
Ia mengatakan itu saat menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 25 Juni 2024. Pidato ilmiah dia berjudul Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia.
Saya menghadiri pidato pengukuhan guru besar itu setelah dua kali mendapat undangan. Undangan via fasilitas perpesanan Whatsapp dari sang guru besar disusul undangan resmi dari protokoler kampus itu. Bisa kuwalat kalau tak hadir.
Sepuluh tahun terakhir di negara-negara pascakolonial dan otoriter di Asia mengemuka perdebatan tentang masa depan perguruan tinggi sebagai institusi sosial dan posisi para akademikus di dalamnya ketika berhadapan dengan negara, pemerintah, dan industri.
Dalam pemaknaan saya, setelah membaca dan menangkap esensi sebagian perdebatan itu, yang mengemuka nyaris sama dengan perdebatan tentang peran jurnalis dan jurnalisme pada era ketika setiap individu punya ”otoritas” memproduksi informasi dan menyebarkan lewat aneka platform digital.
Ada kekhawatiran, ada masalah serius, sekaligus ada harapan baru. Resiliensi politik otoriter berperan signifikan melukai kebebasan akademik. Dalam tiga dekade terakhir mengemuka publikasi opini populer tentang resiliensi otoritarianisme di kampus dalam pola yang berbeda dengan ketika kampus mengalami represi pada masa Orde Baru.
Rezim otoriter sebagai pengalaman sejarah di suatu negara pasca-otoriter, seperti Indonesia, ternyata terus bertahan, beradaptasi, dan berkelindan dengan neoliberalisme. Rezim politik otoriter itu bahkan berkelindan dengan demokrasi prosedural.
Kemudian bertransformasi melalui teknik dan artikulasi represi (baru) yang lebih halus. Resiliensi ketika dikaitkan dengan otoritarianisme, menurut Vedi R. Hadiz, adalah tanda terjadinya rekonfigurasi kekuatan oligarki politik yang memang telah tumbuh sejak era politik otoriter represif di Indonesia. Persis seperti kondisi negeri kita belakangan ini.
Teknik dan artikulasi represi baru yang lebih halus sebagai hasil resiliensi otoritarianisme yang ”menguasai” kampus adalah hegemoni kerangka pikir dan tindakan yang hanya berorientasi administratif dan ekonomis.
Kerangka berpikir dan bertindak teknokratik-pragmatis itulah yang menjadi penanda sekaligus ruang bagi resiliensi otoritarianisme dunia akademik di Indonesia. Ini wajah baru—yang lebih halus—dari praktik serupa pada era rezim otoriter. Wajah lama berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, pemecatan, hingga pemenjaraan.
Membaca perkembangaan kampus-kampus di negeri kita setidaknya dua dekade terakhir, dalam pemaknaan saya, wajah baru yang lebih halus itu memang nyata. Pada saat bersamaan terjadi mobilitas vertikal akademikus ke lembaga-lembaga pemerintahan.
Represi—dengan teknik, cara, dan wajah lebih halus—terhadap akademikus kritis di kampus dan mobilitas vertikal akademikus di lembaga-lembaga pemerintahan bertujuan sama: menundukkan daya dan sikap kritis akademikus.
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), yang menghimpun banyak akademikus kritis di kampus-kampus di Indonesia, mencatat 11 model pelanggaran kebebasan akademik. Inilah wajah baru otoritarianisme yang ”menguasai” kampus-kampus di negeri kita.
Serangan digital bagi akademikus kritis; teror terhadap mahasiswa kritis dan aksi-aksi mahasiswa; dosen menjadi saksi ahli lalu malah dipidanakan; dugaan korupsi di perguruan tinggi; protes berulang terhadap uang kuliah tunggal dan ancaman kepada mahasiswa.
Kemudian, transaksi gelap dan jual beli pengaruh dalam penulisan artikel ilmiah untuk jurnal internasional terindeks Scopus; legitimasi untuk pemerintah dan penundukan ilmuwan, salah satunya menyerang peneliti asing; penundukan akademikus untuk melegitimasi proyek-proyek strategis nasional dan konflik agraria.
Berikutnya, peleburan banyak lembaga riset menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional; budaya feodal dan kegagalan pembentukan serikat pekerja di kampus; dan kelambanan penyelesaian aneka bentuk kekerasan seksual di kampus.
Menurut Masduki, pada intinya ada dua ancaman utama bagi kebebasan akademik di negeri ini. Pertama, otoritarianisme melalui sentralisasi kebijakan standar akademik dan kepemimpinan perguruan tinggi.
Kedua, neoliberalisasi melalui tekanan struktural untuk dosen agar hanya berfokus mengajar, berproduksi, dan memublikasikan hasil riset.
Kondisi demikian diperparah oleh situsai relasi dosen dan kampus yang makin bergejala precarious work, conditional work, ketidakpastian karier, dan ancaman pemecatan dari status pekerja kampus atas nama efisiensi.
Kesibukan warga kampus menghadapi dua wujud mutakhir resiliensi otoritarianisme di kampus itu—merespons dan beradaptasi—membuat jarak pemisah antara kampus dan realitas sosial makin lebar.
Kondisi ini setara dengan jurnalis dan jurnalisme kini yang harus merespons dan beradaptasi dengan disrupsi karena teknologi digital dan selera serta tuntutan baru publik dalam mengonsumsi informasi.
Pada saat yang sama berhadapan dengan kecenderungan reaksioner banyak pihak—penguasa dan pemodal—atas kritik dan/atau hasil investigasi jurnalis.
Para jurnalis juga menghadapi ancaman yang nyaris sama dengan yang dihadapi akademikus: serangan siber, teror, bahkan pemecatan. Mengatasi ini butuh kebersamaan aneka komponen masyarakat sipil menyadari bahaya resiliensi otoritarianisme.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Juli 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)