Esposin, SOLO – Dalam beberapa hari terakhir media massa riuh dengan berita rencana pemerintah menyediakan alat kontrasepsi untuk pelajar. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan menjadi landasan hukum.
Sejumlah media massa ramai-ramai memberitakan. Kata kunci ”alat kontrasepsi untuk pelajar” nangkring di peringkat kedua di kolom pencarian Google. Bagi pengelola media online, kata kunci ini tentu jadi senjata ampuh mendulang traffic lewat search engine optimization.
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Anggota DPR, akademikus, hingga tokoh agama memberikan penilaian tentang wacana penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar itu. Hampir semua menganggap pemerintah teledor bila sampai menyediakan alat kontrasepsi untuk pelajar.
Pengesahan peraturan pemerintah tersebut dianggap mengingkari amanat pendidikan nasional yang berasaskan budi pekerti luhur dan menjunjung tinggi norma agama dan norma sosial. Opini publik berkembang tak terkendali.
Sejauh pengamatan saya, pada hari pertama berita kontroversi itu muncul, hampir sebagian besar media massa tidak menyertakan konfirmasi dari Kementerian Kesehatan. Saya hanya menemukan satu media massa online yang menurunkan berita konfirmasi dari kementerian itu.
Konfirmasi itu baru tayang beberapa jam setelah berita kontroversial tayang untuk kali pertama di media tersebut. Sementara media massa lain baru menurunkan konfirmasi dari Kementerian Kesehatan pada hari berikutnya saat opini publik begitu liar.
Kementerian Kesehatan menyatakan alat kontrasepsi tersebut tidak akan diberikan kepada semua pelajar, melainkan hanya kepada pelajar yang sudah menikah. Langkah itu perlu dilakukan sebagai upaya menekan angka kematian ibu dan bayi selama proses persalinan.
Berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, angka kematian ibu melahirkan mencapai 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat kedua tertinggi di Asia Tenggara. Jauh lebih tinggi daripada Malaysia, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang di bawah 100 per 100.000 kelahiran hidup.
Adapun kematian bayi tercatat mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN) Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada 2022 mencapai 4.005 dan pada 2023 meningkat menjadi 4.129.
Angka kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882, naik siginifikan menjadi 29.945 pada 2023. Pernikahan dini menyumbang penyebab meningkatnya angka kematian ibu dan bayi dalam proses persalinan.
Kampanye mencegah kehamilan bagi pelajar yang sudah menikah perlu digalakkan. Salah satunya dengan cara menyediakan alat kontrasepsi untuk mereka. Sayangnya, berita dari Kementerian Kesehatan itu tidak cukup mampu meredam opini publik yang berkembang kelewat liar.
Demi meningkatkan traffic pembaca, berita soal penyediaan alat kontrasepsi untuk pelajar itu digas pol. Urusan konfirmasi belakangan. Begitu barangkali cara berpikir pengelola media massa yang hanya mengejar traffic tanpa memedulikan dampak pembentukan opini publik.
Sampai di titik ini saya melihat sejumlah media massa cenderung mengabaikan elemen dasar jurnalistik, yakni disiplin verifikasi. Disiplin verifikasi adalah elemen jurnalisme paling dasar.
Disiplin verifikasi, menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, merupakan langkah membedakan produk jurnalisme dengan produk komunikasi lain seperti alat propaganda, iklan, fiksi, hiburan, atau informasi lain yang beredar di media sosial.
Sambil menyimak opini publik yang berkembang liar di media sosial, seorang teman membagikan unggahan yang berisi potongan klip video tembang kasidah lawas berjudul Wartawan Ratu Dunia. Sejujurnya saya belum pernah menyimak lagunya, apalagi menyanyikannya.
Lagu ini terasa tidak asing di telinga saya. Ya, lagu yang dibawakan grup kasidah legendaris Nasida Ria asal Semarang itu memang biasa diputar melalui pengeras suara di setiap hajatan yang digelar warga pada era 1990-an. Maklum bila lagu ini tidak cukup familier di telinga generasi Z saat ini.
Saya baru menyadari lagu itu bercerita tentang profesi wartawan. Saya sebenarnya kurang sepakat dengan penggunaan diksi Ratu Dunia untuk menggambarkan profesi wartawan. Diksi Ratu Dunia itu menurut saya terlalu hiperbolis.
Profesi wartawan tentu tidak bisa disamakan dengan posisi ratu yang umumnya dihormati lantaran punya wilayah kekuasaan serta rakyat yang dipimpin. Status wartawan sebetulnya tak jauh beda dengan buruh pada umumnya karena sama-sama menjadi bagian dari korporasi.
Ada sedikit kesamaan antara ratu dengan wartawan terkait kemampuan memengaruhi banyak orang. Hal ini seperti bunyi lirik tembang kasidah yang dibawakan Nasida Ria dengan vokalis Mutoharoh ini.
Apa saja kata wartawan, memengaruhi pembaca koran / Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji / Bila wartawan mencaci, dunia ikut mencaci / Wartawan dapat membina pendapat umum di dunia.
Demikian bunyi lirik tembang kasidah yang diciptakan K.H. Buchori Masruri, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah periode 1985-1995. Kemajuan teknologi informasi memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan manusia.
Media massa tempat wartawan bekerja memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini publik. Lewat karyanya, wartawan mampu memengaruhi pandangan masyarakat dalam proses pembentukan opini atau sudut pandangnya.
Media massa bisa menjadi senjata ampuh untuk membangun citra bagi banyak pihak seperti politikus, figur publik atau artis, perusahaan, kampus, sekolah, dan lain-lain. Citra negatif bisa mendadak jadi positif berkat sentuhan wartawan. Bisa juga sebaliknya.
Dalam konteks ini, ada kesamaan peran seorang ratu dengan peran wartawan, yakni sama-sama bisa memengaruhi publik. Bedanya, ratu memengaruhi rakyatnya dengan relasi kekuasaan, sementara wartawan memengaruhi publik dengan produk jurnalistik
Dengan kemampuan memengaruhi publik ini, profesi wartawan ibarat dua mata pisau. Dengan produk jurnalistik, wartawan bisa berjasa dalam membangun dunia atau peradaban manusia.
Apabila wartawan mengabaikan elemen dasar jurnalistik sebagaimana disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, wartawan bisa merusak tatanan dunia.
Wartawan ibarat “racun dunia” seperti dinarasikan lewat lagu Nasida Ria yang mengandung pesan cukup religius. Tetapi bila wartawan suka membuat keonaran / Tak jujur suka bedusta, tak beriman tak bertaqwa / Bisa merusak dunia, ibarat racun dunia.