Esposin, SOLO – Perhatian publik negeri ini memusat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan beberapa saat sebelum penutupan pendaftaran calon gubernur Daerah Khusus Jakarta.
Putusan itu mengubah ambang batas bagi partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Putusan MK membuka kesempatan lebih lebar bagi partai-partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.
Promosi Beri Kemudahan, Sinergi BRI dan Pelni Hadirkan Layanan Reservasi Tiket Kapal
Salah satu dampak nyata putusan MK ini, menurut telaah beberapa pakar politik dan nalar publik secara umum, adalah menutup kesempatan putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, menjadi kandidat kepala daerah atau kandidat wakil kepala daerah.
DPR hendak ”melawan” putusan MK itu dengan mengajukan revisi undang-undang yang mengatur pemilihan kepala daerah. Publik menduga langkah DPR ini bertujuan membuka peluang bagi Kaesang untuk maju sebagai calon gubernur Daerah Khusus Jakarta.
Kontroversi ini tidak terlepas dari putusan MK sebelumnya. Sebelum pemilihan presiden, MK memutuskan menurunkan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden menjadi 30 tahun.
Putusan ini menguntungkan anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sehingga memenuhi syarat untuk maju sebagai calon wakil presiden dan akhirnya memang terpilih.
Publik memandang rangkaian peristiwa itu sebagai upaya memperluas pengaruh politik keluarga Presiden Joko Widodo di berbagai posisi strategis.
DPR yang biasanya lambat dalam merespons aspirasi rakyat, tiba-tiba bergerak cepat mendukung rancangan undang-undang yang hanya menguntungkan elite politik tertentu.
Kecepatan yang tidak biasa ini menambah kecurigaan publik bahwa DPR telah menyimpang dari peran sebagai lembaga representasi rakyat dan justru menjadi alat bagi kepentingan politik kelompok tertentu.
Reaksi publik terhadap perkembangan ini sangatlah keras. Gelombang protes muncul dari berbagai kalangan. Mereka menilai lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjaga integritas konstitusi justru dimanipulasi untuk kepentingan pribadi.
Masyarakat tidak hanya merasa dikhianati oleh pemimpin yang seharusnya mengabdi kepada mereka, tetapi juga khawatir bahwa sistem demokrasi Indonesia sedang berada di ambang kehancuran.
Mereka menilai putusan dan langkah politik itu menunjukkan gejala korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang semakin merajalela di tingkat tertinggi pemerintahan. Sebagai respons, peringatan darurat disuarakan berbagai kelompok masyarakat.
Mereka menilai tindakan segera perlu diambil untuk menyelamatkan demokrasi dari cengkeraman oligarki politik. Keadaan ini mencerminkan betapa rentan sistem politik Indonesia terhadap pengaruh eksternal yang tidak transparan.
Ketika putusan-putusan hukum dan legislasi dibuat untuk melayani kepentingan individu atau kelompok tertentu, maka integritas konstitusi dan kepercayaan publik terhadap institusi-institusi negara terancam.
Dalam konteks ini, reaksi publik yang marah dan waspada menjadi sangat penting. Mereka menyadari tanpa kontrol yang ketat dari masyarakat, pemerintah bisa dengan mudah tergelincir ke dalam praktik-praktik otoriter yang mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia kini berada di persimpangan jalan: apakah mereka akan membiarkan manipulasi ini berlanjut atau mereka akan bangkit untuk mempertahankan hak-hak mereka dan integritas demokrasi?
Perkembangan politik di Indonesia yang melibatkan Kaesang Pangarep, Mahkamah Konstitusi, dan DPR mencerminkan tantangan serius yang dihadapi demokrasi kita. Kasus ini memperlihatkan sistem hukum dan proses legislasi dapat dengan mudah dimanipulasi oleh kepentingan elite politik.
Ketika putusan-putusan penting yang menyangkut masa depan bangsa dibuat secara sepihak dan tidak transparan, kita patut khawatir terhadap arah perkembangan demokrasi kita.
Apakah demokrasi kita benar-benar berfungsi sebagai pelindung hak-hak rakyat atau justru telah berubah menjadi alat bagi segelintir orang yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan mereka?
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang sejauh mana kita masih bisa mengandalkan institusi-institusi negara untuk menjaga integritas konstitusi dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara benar.
Salah satu masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini adalah praktik nepotisme dan kolusi yang semakin terlihat di ranah politik.
Ada putusan Mahkamah Konstitusi dan DPR yang bukan hanya mencerminkan pelanggaran terhadap norma-norma demokrasi, tetapi juga merupakan ancaman langsung terhadap prinsip keadilan dan pemerintahan yang bersih.
Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada satu kelompok atau keluarga, peluang untuk terjadi penyalahgunaan kekuasaan menjadi semakin besar.
Praktik semacam ini merusak kepercayaan publik terhadap institusi-institusi yang seharusnya berfungsi sebagai penegak hukum dan penjaga keadilan.
Jika dibiarkan berlanjut, praktik-praktik nepotisme dan kolusi ini bisa menciptakan preseden buruk yang akan terus menggerogoti integritas sistem politik Indonesia.
Sebagai masyarakat yang hidup dalam sistem demokrasi, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi sistem tersebut.
Demokrasi bukanlah sesuatu yang dapat bertahan tanpa partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Dalam konteks ini, protes dan peringatan darurat yang disuarakan rakyat bukanlah tindakan yang berlebihan, melainkan merupakan bentuk partisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Ketika rakyat merasa suara mereka diabaikan para pemimpin yang mereka pilih, protes adalah alat yang sah untuk menuntut perubahan. Pemerintah harus menyadari bahwa tanpa dukungan rakyat, mereka kehilangan legitimasi untuk memerintah.
Sebaliknya, jika pemerintah terus-menerus mengabaikan aspirasi rakyat, mereka akan menghadapi gelombang protes yang lebih besar yang bisa mengguncang stabilitas politik nasional.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, penting bagi kita menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin kita. Setiap keputusan yang menyangkut masa depan bangsa harus dibuat dengan penuh keterbukaan dan melibatkan partisipasi publik.
Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap reformasi politik dan penegakan hukum yang adil dan merata.
Tanpa komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip ini, kita hanya akan melihat demokrasi kita semakin terpuruk oleh praktik-praktik politik yang kotor dan merugikan rakyat banyak.
Ini bukan hanya tentang menjaga konstitusi, tetapi juga tentang memastikan hak-hak rakyat dihormati dan dilindungi oleh pemerintah yang mereka pilih. Masyarakat Indonesia juga perlu meningkatkan kesadaran politik mereka.
Kesadaran politik yang tinggi adalah salah satu cara paling efektif untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam sistem pemerintahan.
Dengan berpartisipasi aktif dalam proses politik, baik melalui pemilihan umum, advokasi, atau bahkan aksi protes damai, rakyat dapat memberikan tekanan yang signifikan kepada pemerintah untuk bertindak sesuai dengan kepentingan mereka.
Demokrasi sejati hanya bisa berjalan jika ada keseimbangan yang kuat antara pemerintah dan rakyat. Ketika rakyat terlibat secara aktif dalam proses politik, mereka dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa pemerintah tetap bertanggung jawab kepada mereka.
Selain itu, kita tidak boleh membiarkan politik dikendalikan sekelompok kecil elite yang hanya mementingkan diri mereka sendiri.
Setiap warga negara memiliki hak dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa suara mereka didengar dan diperhitungkan dalam setiap keputusan yang diambil oleh pemerintah.
Dalam demokrasi kekuasaan sejati berada di tangan rakyat, bukan di tangan segelintir elite politik. Oleh karena itu, rakyat Indonesia harus terus mengawasi dan menelaah secara kritis setiap langkah yang diambil pemerintah demi menjaga integritas demokrasi dan mencegah terjadinya tirani.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi Indonesia sangat bergantung pada kesadaran dan partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat. Jika kita ingin melihat Indonesia yang adil dan demokratis, kita harus siap berjuang demi prinsip-prinsip tersebut.
Kita harus menolak segala bentuk nepotisme dan kolusi yang mengancam tatanan konstitusi dan merusak kepercayaan publik. Dengan demikian, kita dapat mewariskan sistem politik yang lebih baik untuk generasi mendatang dan memastikan Indonesia tetap menjadi negara demokratis yang menghormati hak-hak semua warga.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini, suara rakyat adalah satu-satunya harapan untuk mempertahankan integritas demokrasi dan melindungi masa depan bangsa dari cengkeraman oligarki politik.
(Versi lebih singkat esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 September 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Farmasi Universitas Sebelas Maret)