Kurikulum baru yang diberi julukan Kurikulum Merdeka didefinisikan sebagai kurikulum intrakurikuler yang beragam di mana peserta didik cukup waktu mendalami konsep dan menguatkan kompetensi (sumber: Buku Saku Kurikulum Merdeka). Melalui pengertian ini, lahirlah pembelajaran berbasis proyek yang sebenarnya sudah lama dikenal oleh para peneliti.
Promosi Dukung Perkembangan Industri Kreatif, BRI Gelar Kompetisi Creator Fest 2024
Peserta didik dilatih untuk menjadi peneliti pemula yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Langkah teknis ini, sejalan dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang ingin menjadikan bakat dan minat siswa sebagai dasar pembelajaran demi mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya (sumber: Pidato Menteri Pendidikan di Hari Pendidikan Nasional 2023). Linear dengan hal itu, proyek pembelajaran dianggap mampu memunculkan bakat minat serta menguatkan siswa menjadi problem solver.
Kesenjangan pada generasi stroberi
Pada titik inilah mulai muncul kesenjangan di lapangan. Problem siapa? Dan untuk siapa? Pada 29 Mei 2023 telah dilaksanakan Gathering Guru Bimbingan Konseling di Kota Cirebon bersama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang mengangkat topik “Generasi Strawberry”. Wikipedia sebagai sumber paling mudah dicari menuliskan bahwa generasi ini adalah “kaum mudah mengkerut” akibat tekanan sosial dan kerja keras.Di sisi lain, generasi ini punya kreativitas tinggi dan selalu bisa mengungkapkan keinginannya dengan lebih lugas. Istilah ini sinkron terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dengan perlindungan istimewa dari orang dewasa khususnya orang tua. Kepedihan masa lampau orang tua yang tidak ingin dirasakan oleh anaknya, membuat para orang tua melindungi, mencukupi, memberi seluruh kenyamanan hidup anaknya dengan bekal kata “kasih sayang”.
Saat terkena masalah di dunia nyata, makan generasi ini akan mudah stres dan hilang harapan. Tidak ada yang salah dengan konsep kasih sayang orang tua, namun akibat yang ditimbulkan perlu dikaji kembali.
Berbekal uraian tentang generasi stroberi, maka perlu dipertanyakan jika di kelas-kelas diungkapkan permasalahan, maka permasalahan milik siapa? Masalah jenis apa? Apakah masalah tentang konten? Generasi ini memiliki kecukupan yang luar biasa dari segi kemudahan, fasilitas belajar, tingkat kecukupan ekonomi, dukungan sumber daya manusia guru dan orang tua. Untuk level sekolah dasar, pemerintah sudah memiliki program dan untuk kecukupan sekolah yang membuat peserta didik memiliki pemerataan kesempatan belajar. Jadi sekali lagi problem yang mana?
Dalam konteks proyek kerja penguatan profil pelajar Pancasila, tidak sedikit guru menitipkan ambisinya pada siswa. Pernyataan ini tergolong subjektif namun sudah banyak terjadi nyata di lapangan. Keinginan kelas tampak meriah, dinilai kepala sekolah tampak aktif, keberhasilan pembelajaran yang bisa dilaporkan untuk kenaikan pangkat, serta keunggulan proyek guru yang dilaporkan kepada orang tua sebagai hasil belajar peserta didik menjadi potret kejadian di lapangan.
Poin ini yang mengundang saya menuliskan kegelisahan tentang sudut pandang proyek pembelajaran. Hal ini muncul karena tingginya persepsi dan ketakutan guru tentang proyek yang gagal dengan anggapan guru yang tidak kompeten. Sudah begitu lama pendidikan di negara sejuta pulau ini selalu identik dengan persepsi dan asumsi. Budaya ini telah langgeng menjadi akar dari perjalanan komunitas gaya Asia. Guru perlu mendapatkan kejelasan standar keberhasilan pembimbingan proyek. Apakah proyek yang megah? Selalu dengan laporan akhir berjilid-jilid? Atau proyek yang selalu dengan produk visual? Atau boleh proyek mengatasi stres pada siswa?
Narasi ini bukan untuk mempersalahkan guru yang sudah berkeringat memikirkan proyek kerja di kelas, namun mengundang diskusi adakah perlindungan guru jika proyek di kelas gagal? Maukah kepala-kepala sekolah memahaminya? Bagaimana dengan tingkat keberhasilan pembelajaran? Apakah proyek gagal sama dengan pembelajaran gagal? Bagaimana jika generasi stroberi ini tidak butuh visualisasi proyek tapi perlu kedekatan emosional?
Proyek pasrah
Sejuta tanya muncul dengan berbagai risiko. Belenggu guru kini bertambah satu yaitu keberhasilan proyek di Kurikulum Merdeka. Sudahkah guru kita merdeka? Mereka pasrah bahkan dengan tidak mengetahui secara utuh makna dan alur Kurikulum Merdeka. Simpang siur di lapangan masih terjadi mengulang sejarah kelam Kurikulum 2013. Guru-guru pasrah pada perubahan yang membingungkan dengan dalih kenaikan pangkat. Suara mereka tercengkeram. “Ya…. dilakukan saja kan setiap masa ada kesulitannya masing-masing,” gumam mereka. Akan jadi seperti inikah potretnya?Hal lain menunjukkan keadaan guru yang juga belum siap dengan generasi stroberi. Mereka tenggelam dalam semburan ide peserta didik tanpa bisa menyaring relevansinya. Peserta didik dengan kelihaian teknologi telah berhasil berselancar di dunia maya, namun guru terkaget-kaget dengan ide proyek yang luar biasa sehingga pasrah menyerahkan seluruhnya pada siswa.
Proyek pembelajaran memang tidak diarahkan untuk nilai benar ataupun salah. Proyek dilaksanakan untuk menggali isu nyata di lingkungan sekitar dan berkolaborasi untuk memecahkan masalah (sumber: Buku Saku Kurikulum Merdeka). Standar yang luas ini membuat guru pasrah dengan kriteria penyelesaian masalah yang seharusnya dikawal demi peningkatan kualitas peserta didik. Asal ada produk visual berupa benda ataupun tulisan, maka proyek dianggap selesai dan berhasil.
Belajar dari kolaborasi menambal becak
Saya belajar banyak ketika sepeda mengalami ban bocor di Pringgokusuman Kota Pelajar Yogyakarta. Saat mengantre tambal ban, ada dua orang bapak-bapak paruh baya yang sedang sibuk menambal ban becak roda tiga. Seorang adalah pemilik becak dan seorang lagi tukang tambal ban. Diskusi mereka asyik sambil mengamati ban becak yang bocor.Tukang tambal ban menanyakan “mengapa bisa bocor?” dan dijawab ban tersebut terperosok ke jalan berlubang. Mereka memutuskan bersama tindakan yang harus dilakukan. Pengamatan berlanjut pada eksperimen membuka ban dan mencari sumber kebocoran. Begitu senangnya saya melihat pemilik becak tidak pasrah dan tinggal diam. Dia selalu bertanya “kok bisa begitu, menurutmu kenapa”, dengan bahasa jawa khas Yogyakarta yang halus itu.
Di sisi lain tukang tambal ban tidak segan-segan menjawab dan memberikan apa yang dia tahu. Eksperimen berjalan tidak mulus karena mereka memperdebatkan alat yang sudah kuno dan ingin menggantinya. Tapi tangan mereka terus bekerja sambil sesekali diselingi meminum teh hangat. Saya jadi cukup lama mengantre tapi senang melihat keindahan pembelajaran yang saya temui. Eksperimen menambal ban becak berakhir dengan kalimat “maturnuwun” antar keduanya yang artinya terima kasih.
Cerita singkat ini menggambarkan bahwa proyek bisa berjalan dengan pertemuan dua ahli untuk menyelesaikan sebuah masalah. Maka tidaklah cocok jika ide hanya datang dari salah satu pihak. Ambisi kelas yang aktif menurut pikiran guru saja akan menghancurkan esensi proyek pembelajaran. Bahkan dari cerita di atas, minum teh bersama untuk santai adalah hal wajar dalam penyelesaian proyek.
Sudahkah guru dan peserta didik punya hubungan semacam itu? Sebaliknya, pasrah dengan seluruh ide salah satu pihak antara peserta didik ataupun guru adalah jenis ketidakharmonisan sebuah proyek pembelajaran. Pertanyaan besar di lapangan khususnya sekolah dasar adalah “Sudahkah guru dan siswa menempatkan diri di level kolaborasi?”
Masih adakah ambisi ataupun sikap pasrah antara keduanya? Pada akhirnya, untuk mengejawantahkan nilai-nilai Bapak Pendidikan Indonesia, esensi proyek pembelajaran wajib diakhiri dengan “terima kasih” atas kontribusi masing-masing pihak (guru dan peserta didik). Dengan demikian, keaktifan kelas tercipta dengan natural dengan pola interaksi yang seimbang.
Artikel ini ditulis oleh Gamaliel Septian Airlanda, Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Kristen Satya Wacana.