Beberapa hari terakhir, polemik tentang istilah “nebeng” telah menjadi perhatian publik. Hal ini dipicu oleh dugaan gratifikasi jet pribadi yang digunakan oleh Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, bersama istrinya untuk perjalanan pribadi. Di tengah gelombang demonstrasi terkait rencana revisi UU Pilkada dan isu-isu ambang batas parlemen, publik dihebohkan dengan video perjalanan keluarga Kaesang menggunakan jet pribadi, yang kemudian memicu desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penyelidikan.
Meskipun Kaesang bukan pejabat publik, publik tetap meminta klarifikasi dengan alasan bahwa sebagai anak presiden, ia tetap terikat oleh etika tertentu. Ketika diminta klarifikasi, Kaesang menyebut penggunaan pesawat tersebut adalah hasil “nebeng” dari seorang teman. Pernyataan ini didukung oleh KPK, yang menimbulkan perdebatan tentang logika di balik istilah "nebeng." Kontroversi ini membuka diskusi lebih luas tentang bagaimana bahasa sering digunakan dalam politik untuk mengaburkan tanggung jawab.
Promosi Melalui Pemberdayaan, BRI Angkat Potensi Klaster Buah Kelengkeng di Tuban
Manipulasi Diksi dalam Politik
Politik sering menggunakan bahasa sebagai alat manipulasi. Istilah "nebeng" yang digunakan Kaesang merupakan contoh bagaimana pemilihan kata dapat membingkai suatu situasi dalam konteks yang lebih ringan dan mudah diterima publik. Mengganti istilah "gratifikasi" dengan "nebeng" secara semantik menurunkan bobot moral dan hukum dari tindakan tersebut. Dalam hal ini, pemerintah dan aktor politik kerap menggunakan bahasa untuk mengendalikan narasi publik.
Fenomena ini bukan yang pertama kali terjadi. Selama pandemi Covid-19, pemerintah memilih istilah "Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat" (PPKM) sebagai pengganti "karantina." Pilihan ini bukan tanpa alasan; UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 55 menyebutkan bahwa dalam kondisi karantina wilayah, negara bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Dengan menggunakan istilah PPKM, pemerintah tidak terikat kewajiban hukum tersebut, sehingga bantuan sosial yang diberikan selama pandemi lebih dipandang sebagai kedermawanan politik daripada kewajiban negara.
Kajian Semiotika: Diksi sebagai Alat Kuasa
Dalam teori semiotika, seperti yang dikembangkan oleh Roland Barthes dalam Mythologies (1957), bahasa tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga membentuk realitas. Barthes menyebutkan bahwa bahasa dapat digunakan untuk mengatur dan membentuk pandangan masyarakat tentang realitas. Dalam kasus penggunaan istilah "nebeng," makna yang dikomunikasikan bukan sekadar "meminjam tanpa bayar," tetapi menciptakan narasi bahwa tindakan tersebut tidak memiliki konsekuensi moral atau hukum.
Teori semiotika ini juga bersinggungan dengan konsep framing dalam komunikasi politik, seperti yang dijelaskan oleh Erving Goffman dalam Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience (1974). Framing adalah bagaimana informasi dipresentasikan dengan cara tertentu untuk menekankan aspek-aspek tertentu dari kenyataan dan mengabaikan yang lain. Dengan menggunakan istilah "nebeng," Kaesang dan KPK mencoba membingkai tindakan tersebut sebagai sesuatu yang tidak patut dipersoalkan, sehingga publik mungkin lebih cenderung memandangnya dengan ringan.
Manipulasi Bahasa dalam Sejarah
Contoh lain yang relevan dalam kajian politik adalah konsep "New Public Management" (NPM), yang menekankan penggunaan terminologi sektor swasta dalam manajemen publik. NPM sering mengubah istilah dari "pelayanan publik" menjadi "klien" atau "konsumen." Pergeseran terminologi ini bukan hanya perubahan semantik, tetapi mencerminkan perubahan struktural dalam cara pemerintah memandang kewajiban publiknya. Seperti halnya istilah "PPKM" yang menggantikan "karantina," perubahan ini berfungsi untuk menghindari konsekuensi hukum dan menciptakan citra bahwa pemerintah lebih fleksibel dalam menghadapi krisis.
Teori-teori ini juga dapat dihubungkan dengan gagasan Jacques Derrida (Of Grammatology, 1967) tentang dekonstruksi. Derrida berpendapat bahwa makna tidak pernah tetap, dan sering kali bergantung pada konteks dan bagaimana bahasa digunakan. Dalam kasus ini, pemerintah dan aktor politik menggunakan bahasa untuk merekonstruksi makna tindakan mereka, membingkainya dalam istilah yang menghindarkan mereka dari tanggung jawab. Penggunaan istilah "nebeng" dan "PPKM" adalah contoh nyata bagaimana dekonstruksi makna dapat berfungsi dalam politik untuk mengurangi tuntutan publik.
Pengaruh Diksi terhadap Persepsi Publik
Kajian lain yang relevan adalah teori agenda-setting dalam media massa, yang dikemukakan oleh Maxwell McCombs dan Donald Shaw (The Agenda Setting Function of Mass Media. Public Opinion Quarterly, 1972). Agenda-setting theory menyatakan bahwa media tidak hanya memberitakan isu, tetapi juga membentuk persepsi publik terhadap isu tersebut melalui pemilihan diksi dan penekanan tertentu. Dalam hal ini, media yang meliput kasus "nebeng" memiliki kekuatan untuk membingkai isu ini sebagai pelanggaran etika atau, sebaliknya, sebagai hal yang sepele tergantung pada pilihan bahasa yang digunakan.
Dalam konteks politik, pemahaman ini penting karena aktor politik sering bekerja sama dengan media untuk menciptakan narasi yang menguntungkan. Kajian tentang framing dan agenda-setting menunjukkan bahwa publik cenderung mengikuti apa yang disajikan oleh media dan otoritas. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki literasi politik dan kebahasaan yang cukup agar mampu mengenali manipulasi semantik ini.
Literasi Bahasa dan Politik
Kasus "nebeng" dan manipulasi bahasa dalam kebijakan PPKM menunjukkan pentingnya literasi bahasa dan politik bagi masyarakat. Ketika bahasa digunakan sebagai alat untuk menyembunyikan atau mengurangi bobot tindakan, masyarakat yang tidak kritis akan terjebak dalam narasi yang dibangun oleh pemerintah atau aktor politik. Literasi ini menjadi penting untuk menghindari manipulasi dan mencegah pelemahan kontrol publik terhadap kebijakan pemerintah.
Seperti yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu (1991) dalam teorinya tentang kekuasaan simbolik, bahasa merupakan alat kekuasaan yang bisa digunakan untuk mempertahankan dominasi. Mereka yang memiliki kekuasaan bahasa—seperti aktor politik atau media—mampu menentukan persepsi masyarakat terhadap realitas. Dengan kata lain, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat politik untuk mempertahankan kekuasaan dan melegitimasi tindakan.
Penggunaan istilah "nebeng" dan "PPKM" dalam politik Indonesia mencerminkan praktik umum di mana bahasa digunakan sebagai alat untuk menghindari tanggung jawab hukum dan moral. Manipulasi diksi dalam politik sering kali merupakan upaya untuk membingkai realitas agar publik dapat menerimanya tanpa terlalu banyak pertanyaan. Dalam konteks ini, kajian semiotika, framing, dan agenda-setting menunjukkan bagaimana bahasa dan pilihan kata memengaruhi persepsi publik.
Masyarakat harus lebih kritis terhadap penggunaan bahasa dalam politik dan kebijakan publik. Literasi kebahasaan dan politik menjadi senjata penting untuk mencegah manipulasi semantik, yang sering digunakan untuk melindungi aktor politik dari pertanggungjawaban. Dengan memahami bagaimana bahasa digunakan sebagai alat kekuasaan, masyarakat dapat berperan aktif dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Tulisan telah dimuat di Harian Solopos edisi Sabtu, 21 September 2024. Penulis adalah dosen Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan Unika Soegijapranata Semarang, Ketua Griya Riset Indonesia