Esposin, SALATIGA - Pemahaman naturalisasi budaya merupakan suatu proses yang aneh untuk zaman kini yang telah membuka jalan berpikir kawan ataupun lawan agar dapat kembali melalui pintu belakang untuk memasuki pusat daerah politik. Seolah-olah peradaban dan afiliasi individu-individu hanyalah final dan tidak dapat diubah sama sekali, sama seperti makhluk hidup dengan genus dan spesies biologis.
Strategi rasisme budaya secara diametris bertentangan dengan solusi politik berkelanjutan hidup kemanusiaan saat ini yaitu pengamanan perdamaian, pengamanan sumber daya alam kehidupan dan juga ekonomi. Dengan kata lain, kita memerlukan kerja sama global yang menyatukan semua perbedaan tradisi budaya, agama, suku, ras, agama dan kedaerahan. Bersamaan dengan itu strategi ini juga secara diametris bertentangan pada kenyataan global di mana budaya-budaya telah lama saling mengintegrasikan diri dan tidak lagi berhenti untuk bersikap melanjutkan kebiasaan lama.
Promosi Agen BRILink Mariyati, Pahlawan Inklusi Keuangan dari Pulau Lae-lae Makassar
Namun di sisi lain jika budaya dipolitisasikan dengan maksud untuk membangun perbedaan. Jika dibaca dengan cara yang diatur dengan baik dapatlah membentuk dasar-dasar kebijakan yang saling pengertian bagi semua manusia dalam semua peradaban secara umum.
Maka bukan hanya berkesempatan untuk dapat hidup yang lebih baik dalam setiap peradaban yang kini terancam, termasuk juga dalam zaman di mana kita hidup saat ini, tetapi juga dasar-dasar penting untuk dapat melanjutkan kehidupan itu sendiri. Konsekuensi secara menyeluruh, politisasi perbedaan budaya adalah suatu pekerjaan bunuh diri yang akan mengganggu tatanan kehidupan untuk semua.
Dalam kasus individu mungkin saja bagi kelompok politik dapat berfungsi sebagai obat penenang kehidupan yang ia pinjam, akan tetapi hal itu tentu tidak memberikan solusi untuk hal-hal yang diperlukan seperti penciptaan pekerjaan keadilan, keamanan, standar kehidupan sehat, pendidikan maupun masa depan kehidupan lainnya.
Politisasi perbedaan budaya merupakan sebuah ancaman terhadap politik baik politik dalam negeri maupun luar negeri. Ini menjadi sebuah tantangan dalam kehidupan politik masyarakat kita dalam banyak hal yang tentu akan saling bertautan. Tentu akan menjadikan keadaan sangat eksplosif jika dipolitisasi dengan tujuan untuk menciptakan antagonisme yang juga akan berdampak pada eksploitasi politik yang seringkali menyusul di belakangnya adalah konflik ekonomi yang berdampak pada masyarakat.
Politisasi perbedaan budaya telah terbukti sebagai resep universal yang selamanya berguna untuk membangkitkan pendapat publik yang kemudian dapat diolah menjadi suara atau juga persetujuan kapan saja ada kekuatan yang berusaha untuk berkuasa tanpa memberikan kontribusi agar politik dapat mencapai tujuan sesungguhnya. Sebaliknya jika yang ada hanya perbedaan sebagai pelengkap yang dalam kehidupan sehari-hari tidaklah memberikan konflik atau sekurang-kurangnya tidak perlu dirasakan demikian.
Perbedaan tersebut digunakan sedemikian rupa untuk menjadi instrumen rekayasa politik simbolis yang sengaja diarahkan dalam kampanye atau provokasi yang menjadikan masalah mati atau hidupnya sebuah perbedaan dimaksud baik harga diri ataupun penghinaan, kebahagiaan hidup ataupun pengasingan, jaminan solusi atau ancaman masalah, maka harapan ambisius dapat dibangkitkan, hambatan-hambatan yang mengganggu dihentikan, emosi digugah di luar kemampuan yang mungkin dilakukan oleh politik yang sesungguhnya.
Dengan menerapkan strategi budaya ekslusif maka pendukung loyal yang bingung dilemparkan dalam arena kawan dan lawan, teman dan musuh. Dalam prosesnya tantangan dan tanggung jawab sesungguhnya dengan sendirinya menghilang dari mata publik. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggairahkan bagi politik dan politisi di mana disposisi jumlah besar masyarakat membuat strategi demikian menjadi semakin menarik untuk memberikan hasil.
Apakah konsekuensi politisasi budaya? Masalah-masalah yang dapat dan harus terus diselesaikan secara politis, seperti pengangguran dengan lapangan pekerjaan semakin luasnya ketidakadilan, eksklusivitas ekonomi, kurangnya tanggung jawab sosial, tuntutan hak dan supremasi hukum, korupsi, ketidakmampuan dalam kerja sama dan kompromi yang diabaikan atau dibuat menjadi rumit, semua itu dalam konsekuensi bagian dari kegagalan mempertahankan perbedaan budaya yang perlu perbaikan dalam penyelesaian masalah-masalah tersebut dengan baik.
Keadaan sosial dan ekonomi yang telah membangkitkan keresahan bahkan kemarahan banyak orang/masyarakat dicerminkan sebagai hasil yang akan muncul dari degenerasi identitas budaya atau kesenjangan pencampuran budaya. Dilihat dari sudut pandang ini, politik identitas budaya dengan cara menggeser yang lain dari lingkungan haknya merupakan dasar yang tak terpisahkan untuk kesejahteraan kaum/masyarakatnya sendiri.
Politisasi budaya bisa saja berjalan di dalam maupun di luar. Dari dalam mewakili strategi fundamentalisme yang berupaya meyakinkan bahwa kejahatan yang timbul di dunia hanya dapat disembuhkan jika tuntutan kepastian yang dipegang oleh pemimpin-pemimpin fundamental dengan masing-masing kejadian, dapat berkuasa tanpa ketakutan dan kontradiksi. Sementara dari luar mewakili strategi strategi yang dinyatakan oleh orang-orang seperti Huntington bahwa yang tanpa menjadi fundamentalis sendiri membuka jalan untuk tindakan fundamentalisme dengan pernyataan bahwa peradaban yang sudah menyebar di dunia pada hakekat alaminya bersifat fundamental.
Teori ini bahkan memaksa orang nonfundamental untuk membayar uang yang sama jika mereka tidak mau menggoncangkan kekuasaan penilaian dalam anggapan adanya pembentukan peradaban secara global. Masih dalam lingkungan konfirmasi bersama politisasi budaya baik internal maupun eksternal mempersiapkan diri untuk mengisi dengan cara fatal. Kekosongan yang ditinggalkan oleh runtuhnya ideologi-ideologi besar zaman kini baik dari awalnya maupun hasilnya. Proses ini jauh lebih tidak manusiawi dibandingkan dengan tuntunan kekuasaan ideologi-ideologi pada masa sebelumnya.
Hal tersebut disebabkan politisasi demikian membuat individu dicap sesuai dengan latar belakang budayanya dan dilihat sebagai unsur yang tidak berubah. Sedang ideologi-ideologi besar setidaknya membiarkan pintu perubahan terbuka yang memungkinkan masing-masing individu memilih sendiri ideologinya sehingga masih memberikan sedikit ukuran harkat dan penentuan diri bagi mereka.
Dalam semua budaya pula fundamentalisme merupakan ekspresi yang mendapat tantangan dalam keseluruhan identitas budaya. Perbandingan empiris yang menjangkau semua budaya menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu setiap budaya menghasilkan aliran fundamentalisme berbarengan dengan modernisasi dari tradisonalisasi yang mengitarinya.
Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan yang luas dalam lingkungan-lingkungan budaya aliran fundamentalisme dalam struktur dan fungsinya menunjukan karakteristik yang sama di manapun dan memberi bahan untuk kebutuhan politis dan psikologis dalam semua budaya yaitu kebutuhan aan kepastian, identitas dan pengakuan yang tersosialisasi atau terancam oleh kekuatan yang lebih tinggi atau oleh perkembangan pembangunan.
Semua label fundamentalisme apakah itu Islam, Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu atau yang lainnya senantiasa bertendensi untuk membentuk sebuah sistem berpikir tertutup yang dengan demikian secara sintesis mengisolasikan perbedaan pendapat, keraguan, alternatif dan keterbukaan. Oleh karena itu, tujuannya adalah untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keyakinan orientasi, identitas yang mantap dan kebenaran yang menyeluruh. Sehingga berharap akan tiba pada sebuah kepastian sistem kepercayaan yang dihasilkan sendiri dan disterilkan terhadap keraguan
Politisasi budaya juga memiliki efek samping yang sangat buruk dan jahat dengan diletakannya keistimewaan dalam lingkup kawan-lawan. Maka perbedaan budaya sesungguhnya hilang dari kesadaran publik bersama dengan pentingnya perbedaan tersebut untuk eksistensi pada masyarakat sipil, politik dan ekonomi. Dipandang dari sudut pandang politisasi palsu, maka mereka menjadi asing yang tidak dapat saling mengerti, sedangkan mereka yang berminat terhadap saling pengertian menyadari tematisasi perbedaan agar tidak memunculkan demagogi sebagai pemimpin penggerak yang pandai menghasut dengan membangkitkan semangat utuk memperoleh kekuasaan.
Oleh karena itu, saat ini terdapat banyak kesempatan politisasi budaya untuk dijadikan sebuah proses berkelanjutan. Mereka yang berupaya mengejarnya baik dari dalam maupun mereka yang berusaha dari luar yang pada akhirnya saling memberikan bantuan dengan tidak sengaja. Penjelasan dari ramalan yang memberikan dukungan secara menyesatkan, sedangkan energi yang dimiliki saling memberikan kekuatan. Ketidakjujuran dari kedua pihak dapat dibuka melalui sebuah pandangan tak terbias dan jujur terhadap dimensi kekuasaan, akibat dan implikasi perbedaan budaya yang tidak jujur.
Artikel ini ditulis oleh Dr. Budi Sunarso, Dosen Fakultas Dakwah UIN Salatiga.