Esposin, SOLO – Pada awal September 2024 saya berkesempatan pergi ke Mamuju, kabupaten yang menjadi lokasi ibu kota Provinsi Sulawesi Barat, untuk melaksanakan tugas sebagai penguji dalam uji kompetensi wartawan (UKW) yang diselenggarakan Dewan Pers.
Bersama rekan penguji lain, saya tiba di Mamuju menggunakan pesawat terbang yang mendarat di Bandara Tampa Padang, Mamuju. Bangunan bandara masih baru. Memang baru sekitar setahun digunakan setelah pindah dari gedung terminal lama.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Perjalanan dengan mobil sewaan yang menjemput kami menuju hotel terasa menyenangkan dengan panorama pesisir yang dihiasi pohon bakau dan perbukitan. Memasuki ibu kota Kabupaten Mamuju, terus terang saya tidak terkesan.
Kotanya terkesan kumuh dan terasa seperti kota kecamatan atau bahkan pusat desa. Tidak ada kesan sebagai ibu kota provinsi. Jangan salah paham, saya bukan mengagung-agungkan kota besar dan megah atau membandingkan dengan Kota Solo atau Kota Jogja.
Tidak ada yang salah dengan kota yang kecil, bahkan saya juga menyukai kota kecil karena ringkas dan nyaman, tidak sehiruk pikuk kota besar. Kota akan terasa nyaman jika tertata dengan baik dan memiliki infrastruktur yang memadai.
Kesan kurang nyaman lainnya terhadap Mamuju makin kental terasa ketika pada malam terakhir masa tinggal para penguji, kami mencoba mencari toko oleh-oleh khas daerah setempat.
Dengan bantuan Google Map, kami menemukan sebuah toko tak jauh dari hotel. Cukup berjalan kaki sekaligus berolahraga setelah makan malam. Lagi-lagi saya merasa tak nyaman. Jalanan yang kami tempuh sempit, rusak, dan gelap.
Penerangan jalan hanya dari lampu-lampu toko dan rumah penduduk. Hujan yang turun sebelumnya membuat jalanan becek dan penuh genangan air, membuat kami harus berhati-hati melangkah.
Bukan berarti saya tak punya kesan bagus terhadap Mamuju. Pagi hari saat saya melangkah untuk Salat Subuh di sebuah masjid yang cukup besar tak jauh dari hotel, saya mendapat kesan bahwa wilayah itu aman.
Banyak sepeda motor diparkir begitu saja di luar tempat usaha atau rumah, di tepi jalan besar. Panorama pesisir juga indah dengan udara yang buat saya tak terlalu panas untuk wilayah di tepi laut.
Menengok baliho-baliho yang menampilkan para kontestan pemilihan gubernur (pilgub) Sulawesi Barat, mau tak mau saya jadi bertanya-tanya di dalam hati, kira-kira orang-orang ini apakah bakal punya perhatian yang cukup untuk daerah yang ingin mereka pimpin?
Saya penasaran, di luar slogan-slogan indah yang mereka cantumkan di baliho dengan tema kebangkitan dan sebagainya, apakah mereka punya program yang realistis jika mereka akhirnya terpilih memimpin daerah?
Pertanyaan saya ini berlaku pula untuk seluruh daerah yang bakal menggelar pilkada tahun ini. Apa yang bakal dilakukan? Apakah mereka paham masalah di daerah masing-masing dan punya strategi untuk mengatasi?
Terus terang saya khawatir, pilkada demi pilkada yang terus digelar ini belum banyak membawa manfaat untuk daerah-daerah. Otonomi daerah yang menjadi salah satu buah reformasi hanya menjadi ajang pemenuhan ambisi kekuasaan.
Lihat saja strategi membuat koalisi jumbo untuk mengusung kepala daerah demi memburu kemenangan yang jelas meminggirkan kepentingan masyarakat. Pembangunan yang dilakukan pun hanya menjadi lipstik, gincu penghias tampilan, tidak menyentuh aneka masalah secara mendalam.
Fenomena yang memrihatinkan adalah banyak kepala daerah hasil pilkada yang terjerat kasus korupsi. Orang Barat bilang what a waste alias betapa muspra jika pilkada yang digelar gegap gempita ini tidak memberi manfaat yang nyata buat daerah-daerah otonom ini.
Apakah pilkada hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang gemar nampang di baliho dengan aneka ucapan kosong “sukseskan ini sukseskan itu” atau bisa mewujudkan idealisme otonomi daerah tempat pengelola daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat bisa lebih cepat menangani aneka masalah dan menggelar strategi pembangunan?
Saya hanya bisa berucap dan berdoa, duhai para pemburu kursi pemimpin daerah, jangan lupa amanah besar akan kalian tanggung, amanat dari Tuhan dan dari rakyat yang mungkin “tidak punya pilihan lain” selain memilih yang ada untuk mengemban tugas membangun daerah.
Tidak ketinggalan, duhai rakyat, tentukan pilihan kalian, dan suarakan kegalauan kalian. Setelah para pemimpin terpilih, jangan lupa untuk selalu bersuara mengingatkan mereka agar tidak lupa dengan amanat mereka.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 September 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)