Esposin, SOLO – Beberapa hari terakhir kita mendapatkan informasi yang cukup santer tentang dugaan perundungan di program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di sebuah universitas-rumah sakit.
PPDS di Indonesia telah berjalan lama, bahkan berakar sejak era 1950-an. Kemudian semakin terbentuk sistemnya pada era 1970-an. Semakin berkembang pada akhir 1990-an. Menjadi semakin marak setelah memasuki era 2000-an.
Promosi BRI Klasterku Hidupku Dorong Pemberdayaan Perempuan lewat Usaha Tani di Bali
Per 17 Agustus 2024, saat esai ini selesai saya tulis, Konsil Kedokteran Indonesia mencatat ada kurang kebih 54.500 dokter spesialis. Sebanyak 50.000 memegang surat tanda registrasi (STR) yang masih aktif.
Dari 50.000 itu diperkirakan 37.500 (75%) masih menjalankan pelayanan aktif kepada masyarakat. Dari 37.500 itu, katakanlah 30.000 adalah dokter-dokter spesialis yang bekerja sesuai standar sehingga minimal tidak menimbukan masalah.
Dari 7.500 sisanya, sekitar 7.000 adalah dokter yang bekerja sangat baik di mata masyarakat. Sebutlah dokter luar biasa. Sisanya yang 500 inilah barangkali yang “menimbulkan masalah” dalam arti kurang sesuai harapan masyarakat.
Angka-angka itu bisa diperdebatkan secara terperinci, tapi rasanya cukup representatif menggambarkan situasi. Hal terpenting, 54.000 dokter spesialis itu semua produk PPDS selama ini.
Adilkah ketika kita langsung menggeneralisasi bahwa terjadi perundungan begitu luas di PPDS salama ini? Ini mirip dengan saat kita mendengar tentang kejadian perundungan di beberapa lembaga pendidikan, terutama yang sifatnya mendidik tenaga siap pakai dalam durasi pendidikan yang terbatas.
Keterbatasan waktu dengan target kualifikasi tinggi dan siap pakai mendorong proses pendidikan berjalan ketat dan berat. Dengan kondisi demikian, yang terjadi bukan perundungan, tapi menyiapkan dengan cepat tenaga yang siap pakai tersebut.
Suasana yang terbentuk memang berisiko terasa sebagai perundungan. Saya masih meyakini, yang tetap berniat baik, tetap berusaha dengan baik agar tidak terjadi perundungan, itu jauh lebih banyak.
Mari sama-sama mengukur dan menahan diri. Ini mirip diskusi soal "murid melaporkan guru karena melakukan kekerasan". Barangkali memang ada yang benar-benar terjadi kekerasan. Yang seperti itu jelas kita semua sepakat: harus ditindak tegas.
Dalam banyak kasus lainnya, yang terjadi sebenarnya adalah bagian dari proses pendidikan untuk mendisiplinkan, untuk menanamkan sikap dan kepedulian. Ini sering dianggap kekerasan, terus dilaporkan, berkembang kontroversi antara "murid sekarang lembek" dan "guru sekarang suka main kasar".
Sering kali beda dan jarak begitu tipis antara beban pendidikan yang memang berat dan ketat dengan risiko terjadi perundungan. Awalnya muncul pada undang-undang tentang rumah sakit maupun tentang pendidikan kedokteran.
Kemudian diturunkan dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Selanjutnya diperinci lagi dalam bentuk peraturan menteri. Diperinci lagi secara sangat teknis dalam bentuk keputusan direktur jenderal atau surat edaran.
Itu dari sisi legal formal dan kebijakan. Pelaksanaannya tentu bergantung pada komitmen para pelaksana dan penegak aturan. Barangkali itulah yang hari-hari ini kita simak beritanya: pendekatan legal formal dalam beberapa bentuk terhadap dugaan perundungan di PPDS.
Masih ingatkah dengan film cerita akhir Pekan era 1980-an sampai menjelang 2000-an? Kalau ada yang masuk rumah sakit, terus kondisi memburuk atau harus menjalani operasi, kemudian ternyata tidak tertolong, akan ada adegan "semua sudah kehendak-Nya" dan tidak ada yang protes. Sekarang kalau rumah sakit hanya mengatakan "sudah kehendak-Nya" pasti keluarga tidak begitu saja menerima. Pasti meminta penjelasan yang runtut, urut, dan tuntas. Itu "standar" saat ini. Perubahan memang terus terjadi.
Waktu SD, zaman dulu, lupa potong kuku, kita harus berdiri di pojok kelas sampai pelajaran selesai atau harus membersihkan kelas setelah semua teman-teman pulang. Waktu SMP, lupa tidak mengerjakan pekerjaan pekerjaan, disuruh mengerjakan 100 soal sampai tidak sempat beristirahat dan pulang telat.
Beradaptasi
Waktu SMA ketahuan membolos, disuruh menghadapi semua guru dan meminta maaf. Kalau ketahuan rambut panjang, bisa-bisa langsung digunting paksa. Waktu itu semua kita terima, kita jalani, menjadi bahan bercanda dengan teman dan setelah dewasa menjadi kenangan.Kalau sekarang ada guru yang berani melakukan begitu, apa kira-kira yang terjadi? Mudah sekali terjadi salah paham. Gambaran ini yang secara mudah menggambarkan yang terjadi di PPDS. Dalam proses perubahan selalu harus diterima bahwa kecepatan adaptasi terhadap perubahan dan melakukan perubahan aksi tidak selalu seiring pada semua orang.
Selalu ada yang cepat beradaptasi, segera mengubah aksi, tapi juga memang ada yang berjalan pelan. Pada akhir 1990-an dan awal 2000-an, mengemuka aspek keselamatan pasien. Bukan berarti sebelum itu tidak terpikirkan, tapi ada perubahan dalam cara pandang.
Pada era itu masyarakat mulai perhatian terhadap aspek keselamatan. Secara formal, deklarasi kesadaran tentang keselamatan pasien di Indonesia dilaksanakan pada 2006. Kemudian masuk menjadi bagian standar akreditasi rumah sakit sejak 2007.
Semakin diperkuat pada standar akreditasi rumah sakit tahun 2012. Diperkuat lagi dengan penerapan jaminan kesehatan nasional tahun 2014. Disegarkan lagi pada standar akreditasi 2022. Salah satu pilar penting menjaga dan memastikan keselamatan pasien adalah kepedulian sekaligus keberanian menyampaikan ketika terjadi hal yang dinilai tidak seharusnya terjadi.
Dari sanalah berkembang konsep just culture. Mudahnya diterjemahkan sebagai budaya peduli dan setara. Antara pemberi pelayanan dan pasien dengan keluarga. Juga antarkomponen pemberi pelayanan.
Yang diharapkan adalah mengembangkan situasi terbiasa saling menghargai sehingga masing-masing berani menyatakan pendapat, melaporkan hal yang tidak seharusnya terjadi atau dilakukan.
Kepada yang berani melaporkan itu, kita harus jaga dan yakinkan bahwa tidak ada aksi "serang balik" apalagi "menenggelamkan". Itu salah satu bentuk yang mudah dijelaskan dari konsep just culture.
Dari sana kemudian dibawa ke “bagaimana memperbaiki sistem dan cara kerja” yang harus lebih mengemuka daripada soal “siapa yang salah dan apa sanksinya”. Diperlukan komitmen pimpinan rumah sakit mendukung staf seperti waktu kerja para staf, pendidikan, metode yang aman untuk melaporkan masalah, dan pendukung lainnya untuk menyelesaikan masalah keselamatan.
Setiap kondisi yang membuat tidak optimalnya kondisi pemberi pelayanan akan berisiko pada keselamatan pasien. Bila keselamatan pasien berisiko, berarti berisiko bagi pegawai dan bagi rumah sakit.
Satu hal yang harus disadari, pendekatan budaya itu perlu waktu. Tidak seperti pendekatan legal formal yang bersifat seketika dengan segala efek ikutan. Pendekatan budaya tidak mengenal terpaksa, terbiasa baru menjadi budaya.
Dalam berita-berita terakhir ini, tergesa-gesa menyanggah kemungkinan terjadi perundungan, tentu tidak bijak. Sebaliknya, tergesa-gesa menghakimi sebagai terjadi di banyak PPDS, justru bisa menjadi bentuk perundungan tersendiri.
Dengan berkembangnya just culture, banyak hal akan menjadi lebih jernih dan makin baik penyelesaiannya, termasuk isu soal perundungan di program pendidikan kedokteran tersebut. Mari kita perbaiki bersama-sama.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 22 Agustus 2024. Penulis adalah dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan anggota direksi Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret)