Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan penyandang disabilitas yang berada di Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan per 9 Februari 2021 sebanyak 346 orang.
Promosi Melalui Pemberdayaan, BRI Angkat Potensi Klaster Buah Kelengkeng di Tuban
Data pada Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) tahun 2021 mencatat kasus kekerasan pada anak dengan disabilitas 987 kasus, hampir 1.000 kasus.
Kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas mayoritas adalah kasus kekerasan seksual. Data Sigab Indonesia menunjukkan pada 2018-2019 terdapat 15 kasus, pada 2020-2021 terdapat 37 Kasus, pada 2022 terdapat 27 kasus.
Data Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Wilayah Aisyiyah Jawa Tengah tahun 2017-2019 menunjukkan 24 kasus dan pada 2020-2022 sejumlah 37 penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan.
Berbagai kasus yang melibatkan penyandang disabilitas menggambarkan berbagai persoalan. Penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, khususnya korban, banyak yang kasusnya terhenti.
Penyebabnya adalah kurang bukti, tidak ada dukungan dari keluarga untuk melaporkan, terbatasnya pendanaan, lamanya proses peradilan, belum adanya perspektif aparat penegak hukum tentang disabilatas, dan kerentanan yang belum terakomodasi dalam proses peradilan.
Khusus penyandang disabilitas korban kekerasan seksual, persoalan yang dihadapi untuk mendapatkan keadilan di hadapan hukum adalah trauma. Mereka kesulitan memberikan keterangan pada saat penyelidikan dan penyidikan. Penyandang disabilitas korban kekerasan seksual juga kesulitan mendapatkan akses ke fasilitas, pelayanan, dan hukum acara di semua proses peradilan. Kesulitan lainnya adalah minimnya dukungan keluarga, masyarakat, dan negara.
Pemulihan pascakasus belum ada perhatian khusus dari negara maupun masyarakat sehingga banyak sekali korban menjadi korban lagi. Upaya perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas masih sangat lemah.
Banyak aparat penegak hukum tidak melihat ragam disabilitas dalam menangani kasus hukum yang melibatkan penyandang disabilitas sehingga jamak kurang tepat dalam merumuskan masalah.
Ketika menjadi pelaku tindak pidana, penyandang disabilitas sering tidak memperoleh hak. Ketika penyandang disabilitas menjadi saksi dalam persidangan, sangat sulit didengar kesaksiannya karena dianggap tidak cakap dan tidak memenuhi kriteria saksi.
Ketika menjadi korban kekerasan, keluarganya tidak melaporkan kepada pihak berwajib. Kalaupun kasus kekerasan terhadap disabilitas dilaporkan, proses berhenti di tingkat penyelidikan. Ketika sudah masuk proses penyidikan, sering kali kasusnya dihentikan karena tes DNA tidak identik.
Ada pula kasus yang tidak dilaporkan, bahkan didamaikan aparatur pemerintah desa, sehingga korban menjadi korban tindak pidana berulang. Masih banyak masyarakat yang tidak peduli dan tidak peka terhadap pemenuhan hak penyandang disabilitas yang menjadi korban suatu tindak kekerasan.
Diperlukan perhatian serius yang menawarkan konsep paradigma keadilan transendental yang dapat memberikan masukan kepada negara atau pemerintah, aparat penegak hukum, serta masyarakat agar penyandang disabilitas mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum.
Konsep keadilan berbasis transendental tersebut bermakna keadilan adalah perintah Allah kepada seluruh umat manusia. Keadilan adalah memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau kelompok dengan status yang sama.
Indikator keadilan adalah kemaslahatan bagi semua manusia, rahmatan lil ‘alamiin. Dengan maslahah maka tujuan hukum Islam terpelihara dengan menolak bencana atau kerusakan dari makhluk manusia.
Al Ghozali menyebut mashlahah akan mendatangkan manfaat atau keuntungan. Hukum Islam yang mengajarkan keadilan kepada seluruh umat manusia tidak ada perbedaan kecuali dinilai dari ketakwaan.
Dalam konteks keadilan transendental, hakim merupakan gelar yang disematkan kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang tinggi nilainya.
Sebagai profesi yang mempunyai peran strategis di negara hukum, hakim harus melahirkan putusan yang adil, legal, dan pasti serta membawa manfaat bagi masyarakat pencari keadilan.
Menjadi hakim tidak semata-mata memahami permasalahan keluasan intelektual dan kapasitas yang mumpuni dalam menganalisis fakta-fakta persidangan untuk menjatuhkan putusan.
Lebih dari itu menjadi hakim yang baik dan adil dalam menguasai permasalahan yang jauh melampaui kedua hal tersebut, yaitu memahami permasalahan pendekatan transendensi hakim kepada Allah SWT dalam menjalin “komunikasi hukum” untuk menyerap dan mengimplementasikan keadilan Tuhan di dunia dalam putusan-putusannya. Hakim yang baik dan adil adalah hakim yang tidak hanya menyandarkan putusan-putusan kepada pertimbangan lahiriah semata (ratio decidendi atau obiter dicta), namun juga kepada emanasi.
Belajar dari penegakan hukum atas penyandang disabilitas dalam proses peradilan pidana, jika hanya mengedepankan paradigma positivistik akan menemukan kebuntuan. Untuk itu perlu dijembatani dengan pendekatan transendental yang mengarah pada teori maqoshid kontemporer.
Metode ijtihad yang menggali tujuan pemberlakuan syariat pada isu-isu kemanusian harus terkontekskan dengan pendekatan maqoshid kontemporer yang akan menghasilkan kedalaman dan keluasan pemahaman.
Keadilan bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum adalah suatu keniscayaan sehingga tidak ada lagi perlakuan diskriminatif. Pergeseran dari maqoshid klasik menuju maqoshid kontemporer penting untuk menjembatani kebuntuan penegakan hukum.
Pergerseran paradigm tersebut misalnya menjaga keturunan dalam teori maqoshid klasik bermakna lebih luas dalam teori maqosihid kontemporer, yaitu untuk perlindungan keluarga, kepedulian yang lebih terhadap keluarga, termasuk memperhatikan hak-hak perempuan (istri) dan hak-hak anak.
Menjaga akal (al-aql) dalam teori klasik bergeser pada teori kontemporer yang memberikan ruang yang kuat untuk mengembangkan pola pikir dan riset ilmiah; mengutamakan perjalanan mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan; menekan pola pikir yang mendahulukan kriminalitas, kerumunan, gerombolan; menghindari upaya-upaya untuk meremehkan kerja otak.
Menjaga kehormatan dan jiwa dalam teori klasik lebih berkembang dalam makna menjaga dan melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga dan melindungi hak-hak asasi manusia pada teori kontemporer.
Pergeseran paradigma menjaga agama dalam teori klasik, bemakna menjaga, melindungi, dan menghormati kebebasan beragama dan kepercayaan. Sedangkan menjaga harta (al maal) dalam paradigma klasik, diperluas dengan makna mengutamakan kepedulian sosial; menaruh perhatian pada pembangunan dan pengembangan ekonomi; mendorong kesejahteraan manusia; menghilangkan jurang yang kaya dan miskin.
Kecerdasan Spiritual
Perubahan tersebut penting sebagai upaya mengembangkan konsep maqoshid dengan konsep human development sebagai target utama dari maslahah pada masa kini. Praktik penegakan hukum bagi penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum dalam proses peradilan sangat membutuhkan kecerdasan spiritual.Dialektika antara pendamping disabilitas, pendamping hukum, ahli, penerjemah, dan aparat penegak hukum membutuhkan kesabaran dan saling mendukung yang dilandasi dengan sikap penuh kasih sayang, empati, dan simpati, yang ditunjukkan dengan etika berinteraksi dan berkomunikasi dengan penyandang disabilitas sesuai ragamnya.
Dengan prinsip dasar perlakuan yang adil dan tidak diskriminatif, diharapkan akan memecah kebuntuan hukum. Aparat penegak hukum harus memiliki akhlak mulia yang bersifat filosofis maupun praktis.
Secara filosofis aparat penegak hukum harus menyadari bahwa keseimbangan dan kesetaran hukum adalah hak bagi semua manusia. Pelanggaran terhadap hak adalah pelanggaran hukum.
Ibnu Maskawaih menyebut tujuan pemberlakuan hukum adalah kebaikan dan kebahagiaan, yang membutuhkan kebijaksanaan (wisdom) atau hikmah yang mensyaratkan keberanian, keadilan, dan rasa cinta.
Dengan demikian aparat penegak hukum yang beretika akan lebih progresif dan akan menggunakan hukum terbaik meskipun dalam keadaan terpuruk. Hal itu dapat dapat ditunjukkan dengan bergesernya paradigm positivistik ke paradigma transendental.
Untuk mewujudkan penegakan hukum berbasis transedental bagi penyandang disabilitas diperlukan sarana dan prasarana yang mendukung. Selama ini penyelesaian masalah hukum yang dialami penyandang disabilitas korban kekerasan seksual terkandala fasilitas pelayanan dan hukum acara di semua proses peradilan.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 2020 mengatur ketentuan-ketentuan yang secara tegas menugaskan kepada lembaga penegak hukum menyediakan akomodasi yang pantas untuk penyandang disabilitas sebagai sarana pendukung penegakan keadilan.
Beberapa sarana yang harus disediakan adalah ruangan yang sesuai standar dan mudah diakses bagi penyandang disabilitas, sarana transportasi yang mudah diakses penyandang disabilitas ke tempat pemeriksaan, fasilitas yang mudah diakses pada bangunan atau gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Termasuk juga penyediaan sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan hambatan penyandang disabilitas sesuai dengan ragamnya, seperti hambatan penglihatan, intelektual, pendengaran, mobilitas, konsentrasi, dan lain sebagainya.
Artikel ini ditulis oleh dosen Fakultas Syari'ah UIN Raden Mas Said Surakarta, Dr.Siti Kasiyati, S.Ag., M.Ag., CM