Esposin, SOLO – Matahari baru saja lahir. Pijarnya membunuh kegelapan dalam sekejap. Saya mengawali pagi dengan semringah. Suasana hati saya pagi itu berbeda daripada biasanya. Semangat dalam diri seperti menggedor-gedor.
Ada kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan. Rasanya pagi itu begitu indah, padahal seperti pagi biasanya, tak ada yang istimewa. Aneh memang. Saat berkendara menuju tempat kerja, saya menyenandungkan Selendang Biru, lagu koplo yang sedang ngehits saat ini.
Promosi Kisah Klaster Usaha Telur Asin Abinisa, Omzet Meningkat Berkat Pemberdayaan BRI
Saya begitu menikmati perjalanan pagi itu. Meski hampir telat masuk kerja, entah mengapa saya tidak mengebut seperti biasanya. Saya seperti larut dalam kegembiraan yang tercipta sejak semalam sebelumnya.
Suka cita ini tercipta setelah peluit panjang terdengar yang menandai laga final ASEAN U-19 Boys’ Championship 2024 di Stadion Gelora Bung Tomo, Surabaya, berakhir. Ini sekaligus menegaskan tim nasional U-19 Indonesia menjadi juara turnamen antarnegara Asia Tenggara itu seusai menjungkalkan tim nasional U-19 Thailand dengan skor tipis 1-0.
Perasaan gembira seperti ini saya rasakan setiap tim nasional Indonesia, terlebih yang senior, memenangi pertandingan resmi. Suasana hati yang demikian baru saya rasakan beberapa tahun terakhir seiring semakin membaiknya permainan tim nasional Indonesia.
Saya bukan penggemar fanatik sepak bola. Saya menyukai sepak bola sekadarnya, apa adanya. Jersey klub atau tim nasional saja tak punya. Sekadar turut merasakan kepedihan ketika tim nasional dirundung kekalahan.
Saya ikut merasakan kegembiraan tak terkira saat tim nasional memetik kemenangan. Perasaan yang unik ini bertahan cukup lama. Kini saya tak segan membuka media sosial untuk melihat curahan ekspresi kegembiraan dan apresiasi yang tinggi dari orang-orang terhadap pemain, pelatih, hingga Ketua Umum PSSI.
Menyaksikan pertandingan yang dijalani tim nasional Indonesia seperti menikmati karya sastra. Memberi kepuasan tersendiri. Ikut merasakan kegelapan ketika karya yang dinikmati menyajikan cerita yang mengeksplorasi kesedihan, kritik sosial, atau sejenisnya seperti cerita pendek Pelajaran Mengarang karya Seno Gumira Ajidarma.
Begitu pula tatkala menikmati karya sastra yang menyuguhkan kemesraan, seperti sajak Kangen karya W.S. Rendra atau Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Karya-karya itu mengalirkan hormon kebahagiaan yang seketika menjalar ke seluruh tubuh.
Muaranya, tanpa sadar tersenyum-senyum sendiri, mengagumi kedalaman makna sajak sang maestro. Membicarakan tim nasional memang tak ada habisnya. Berbagai topik telah dibacarakan banyak orang. Sanjungan hingga caci maki.
Saya yang tak terlalu paham tentang sepak bola memilih membicarakan hal yang enteng-enteng saja, seperti yang saya rasakan ini. Tim nasional Indonesia menjadi fenomena baru sekarang seiring semakin banyak yang mencintai, tak terkecuali tim nasional kelompok umur.
Betapa banyak penonton yang menyaksikan langsung di stadion tempat pertandingan tim nasional U-16 Indonesia di ajang ASEAN U-16 Boys’ Championship 2024 di Kota Solo, beberapa waktu lalu, apalagi pada laga final ajang yang sama untuk U-19 di Kota Surabaya.
Penonton memenuhi stadion berkapasitas lebih kurang 55.000 penonton tersebut. Itulah sebabnya ASEAN Football Federation (AFF) atau Federasi Sepak Bola Asia Tenggara sebagai penyelenggara kerap memilih Indonesia sebagai tuan rumah.
Antusiasme masyarakat negeri ini kian bergelora memberi semangat saat tim nasional senior berlaga. Fenomena ini terjadi seiring semakin membaiknya prestasi tim nasional senior sejak dibesut pelatih asal Korea Selatan Shin Tae-yong.
Tim nasional Indonesia bukan hanya tim sepak bola, pertandingan yang dijalani bukan sekadar tontonan. Lebih dari itu, tim naisonal Indonesia membawa misi mulia, menggelorakan nasionalisme.
Misi itu berhasil terwujud. Logo tim nasional di jersey begitu sakral. Tak ada yang berani memelesetkan logo tim nasional karena masyarakat Indonesia menjunjung tinggi lambang negara.
Sama halnya saat bendera kebangsaan merah putih dibentangkan dan instrumen lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan sesaat sebelum pertandingan. Seketika tubuh merinding seraya bernyanyi mengikuti irama.
Lagu nasional Tanah Airku yang dikumandangkan seusai laga membuat para penonton di tribune bersama para pemain dan ofisial membentuk formasi melingkar di tengah lapangan bernyanyi sembari menyelami makna cinta tanah air.
Penonton siaran langsung di televisi merasakan atmosfer yang sama. Prosesi itu kini telah menjadi tradisi pada setiap laga yang dimainkan tim nasional. Banyak yang memprotes ketika stasiun televisi menyudahi siaran tanpa menayangkan prosesi bernyanyi bersama Tanah Airku.
Melihat tim nasional adalah melihat wajah Indonesia dengan segala keberagaman. Pemandangan menyejukkan tersaji di beberapa laga ketika para pemain merayakan gol atau kemenangan.
Ada yang bersujud syukur, ada yang berdiri dengan kedua lutut seraya mendongak dan memosisikan jari tangan kanan dan kiri menunjuk ke atas, ada pula yang melakukan ritual ungkapan syukur sesuai agama yang dianut.
Momen itu terabadikan kamera. Sungguh menenteramkan. Ini mesti menjadi pembelajaran bersama bahwa perbedaan itu indah. Momen seperti itu menjadi pesan perdamaian dari Indonesia sekaligus harapan semoga seluruh warga dunia baik-baik saja. Tim nasional sepak bola Indonesia bukan hanya entitas olahraga.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 Agustus 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)