Esposin, SOLO – Penghapusan jurusan di sekolah menengah atas atau SMA yang mulai diterapkan pada Kurikulum Merdeka seolah-olah sebagai sebuah gebrakan.
Penjurusan di SMA yang menjadi pakem yang kuat semenjak puluhan tahun lalu tiba-tiba dikoreksi oleh Kurikulum Merdeka dengan penghapusan.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Tentu saja gebrakan ini diharapkan sebagai sebuah perubahan yang disambut positif dan berdampak lebih baik pula pada pendidikan. Nyatanya kebijakan ini tak ada istimewanya sama sekali.
Kebijakan yang menerabas pakem dan ingin terdengar sebagai pemikiran out of the box ini justru tampil seolah-olah sebagai pertunjukan gegap gempita, namun tak ada yang menonton atau menyambut.
Pertunjukan ini tampil seolah-olah hanya sebagai penampilan penggembira yang membosankan dan menampilkan itu-itu saja. Sama saja ada dan tiadanya, tentu membosankan.
Penghapusan penjurusan dinilai sebagai kebijakan yang berusaha memoles buruknya penampilan pendidikan setelah berbagai kasus yang muncul dalam penerimaan peserta didik baru atau PPDB yang berbasis zonasi sekolah.
Penghapusan penjurusan ini telah tertuang dalam Kurikulum Merdeka, penerapan di sebagian besar SMA baru tahun pelajaran 2024/2025.
Lantas mengapa tak ada yang istimewa dari penghapusan penjurusan ini? Karena saya tidak menemukan alasan mendasar dari penghapusan jurusan di SMA.
Salah satu alasan yang sering diungkapkan oleh otoritas di Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi ialah agar siswa SMA bisa belajar sesuai minat dengan leluasa.
Apakah saat ini siswa tidak leluasa? Penjurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Bahasa pada Kurikulum 2013 telah memberi keleluasaan yang lebih.
Siswa bisa mempelajari mata pelajaran lintas disiplin ilmu sesuai dengan minat mereka. Penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA sesungguhnya sama sekali tidak membatasai keleluasaan siswa.
Penentuan penjurusan itu disesuaikan dengan potensi dan minat siswa. Justru dengan begitu siswa dengan ketertarikan yang besar bisa menguasai materi pada tiap pelajaran.
Kurikulum 2013 telah memfasilitasi siswa untuk boleh mengambil mata pelajaran di luar penjurusan utama dengan batasan jumlah mata pelajaran.
Ini tentu memberikan keleluasaan lebih kepada siswa untuk bisa memiliki pengetahuan di luar mata pelajaran utama di jurusan. Keleluasaan siswa tentu tidak berarti siswa bisa mengambil apa saja tanpa tolok ukur kemampuan.
Ini yang harus dipertanyakan kepada Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi. Keleluasaan bagaimana yang dimaksud. Apakah keleluasaan asal suka, namun justru menyesatkan masa depan siswa?
Atau keleluasaan yang dimaksud adalah keleluasan dengan kontrol dan panduan guru agar masa depan siswa dapat terarah? Jika memang panduan dan bimbingan adalah hal yang sangat penting, penjurusan di SMA adalah solusi yang paling adil.
Dengan penjurusan siswa mampu memfokuskan potensi diri dan tetap leluasa mengembangkan wawasan. Alasan selanjutnya ialah untuk menghapus stereotipe siswa jurusan tertentu.
Sebagai sebuah instansi besar yang identik dengan pemikiran ilmiah, cukup mengherankan bagi saya jika alasan ini digunakan sebagai dasar penghapusan penjurusan di SMA.
Stereotipe sampai stigma yang sering diarahkan pada siswa jurusan IPS atau Bahasa sebagai siswa yang tidak lebih pintar daripada siswa kelas IPA adalah sebuah penghakiman berdasarkan asumsi atau opini.
Jika asumsi atau opini bisa dijadikan dasar pemikiran untuk penghapusan penjurusan di SMA, apa bedanya lembaga yang dianggap sebagai pembentuk karakter pendidikan dengan komunitas biang gosip?
Penjurusna IPA, IPS, dan Bahasa tidak membentuk stereotipe apa pun berkaitan dengan diskriminasi penilaian kemampuan siswa. Penjurusan itu ditujukan agar siswa mampu mengembangkan kemampuan diri sesuai potensi.
Stigma itu hanya opini yang tidak berdasar. Toh, banyak terbukti siswa yang berasal dari penjurusan yang bukan IPA juga mampu mengembangkan diri hingga meraih kesuksesan dalam pendidikan dan pekerjaan.
Tak ada yang dirugikan dari penjurusan ini. Tak ada pula bentuk keistimewaan yang lebih untuk jurusan tertentu. Jadi sangat disayangkan jika asumsi dijadikan landasan penghapusan penjurusan.
Dengan alasan tersebut di atas, penghapusan penjurusan dianggap sebagai strategi paling baik untuk membentuk kesiapan peserta didik melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sayangnya, strategi ini bukanlah strategi yang ideal untuk dijalankan di SMA. Penghapusan penjurusan ini tentu berkiblat dari model pendidikan SMA di luar negeri.
Kurikulum internasional seperti Cambridge Curriculum tidak memberikan penjurusan, meskipun pengambilan mata pelajaran sesuai minat tetap dijalankan. Pembelajaran berjalan secara moving, siswa berpindah kelas sesuai mata pelajaran yang diambil.
Lantas apakah dengan model seperti ini secara menyeluruh bisa dilaksanakan SMA di Indonesia? Sayangnya belum dan sangat sulit terwujud. Kendala sarana dan prasarana berupa jumlah kelas yang memadai hingga sumber daya manusia merupakan faktor yang seharusnya menjadi pertimbangan.
Sistem administrasi seperti data pokok pendidikan atau dapodik yang dibangun berdasarkan jumlah jam mengajar sesuai jumlah kelas yang sifatnya konsisten dan tetap. Sistem informasi ini jelas terkait dengan syarat pencairan tunjangan guru.
Berbagai faktor yang bersayap memberikan dampak yang tidak seidikit pada kebijakan penghapusan penjurusan ini. Lantas apa yang terjadi saat in? Tentu saja kebijakan penghapusan penjurusan hanya menjadi omong kosong belaka.
SMA tetap menjalankan strategi dengan membuat paket pilihan pelajaran yang disesuaikan dengan jumlah tenaga pendidik. Sebagai contoh, jika guru Biologi hanya dua orang, maka siswa memiliki kesempatan sedikit untuk memilih Biologi.
Siswa yang tidak kebagian harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak bisa memilih pelajaran Biologi. Begitu juga dengan mata pelajaran lainnya.
Dengan membuat paket pilihan pembelajaran di kelas yang disesuaikan dengan kaidah ilmu pengetahuan yang linier, SMA menjadi lebih mudah dalam menjaring minat siswa. Akhirnya esensi penghapusan penjurusan hanyalah isapan jempol.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Agustus 2024. Penulis adalah guru SMAN 1 Gemolong, Kabupaten Sragen)