Esposin, SOLO – Dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya masih mengalami banyak persoalan. Salah satu yang perlu perhatian serius adalah pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB) yang dalam perspektif pendidikan selama ini dianggap diskriminatif antara pendidikan swasta dan negeri.
Pengelola pendidikan swasta, mulai pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi swasta (PTS), merasakan beban berat saat membayar PBB.
Promosi Layanan Wealth Management BRI Raih Penghargaan Best Private Bank for HNWIs
Semestinya sama-sama penyelenggara pendidikan dan mendidik anak-anak bangsa maka lembaga pendidikan swasta berhak mendapatkan pembebasan PBB layaknya sekolah atau kampus negeri.
Ini bukan persoalan dukung mendukung, tetapi persoalan PBB yang ditanggapi praktisi pendidikan yang sekaligus menjadi calon presiden pada Pemilu 2024 cukup menarik untuk dibahas.
Pada satu diskusi publik yang digelar salah satu PTS ada yang dengan lantang menggulirkan ide pembebasan PBB untuk sekolah dan kampus swasta. Ide dasar penghapusan PBB bagi lembaga pendidikan swasta ini menarik apabila bisa direalisasikan.
Komitmen ingin menghapuskan PBB di lingkungan lembaga pendidikan swasta setidaknya memberikan solusi tentang kekhawatiran masyarakat yang sering menyaksikan lembaga pendidikan swasta semakin tidak terjangkau karena semakin mahal harganya.
Kalau mau jujur, lembaga pendidikan kini lambat laun berubah kiblatnya menjadi lembaga bisnis yang jor-joran kelengkapan dan kehebatan fasilitas dan gedung nyaman yang mewah. Ujung-ujungnya adalah siswa atau mahasiswa yang kemudian harus menanggung seluruh operasional lembaga pendidikan.
Mengacu pada regulasi sebetulnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 juncto Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan pada Pasal 3 ayat (1) jelas menyatakan lembaga pendidikan tak dikenakan beban PBB.
Salah satu kutipan yang tertulis dalam ketentuan tersebut bahwa objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
Pada kenyataannya beban pembayaran PBB masih saja dialami oleh lembaga pendidikan swasta. Bisa ditebak bahwa semua beban itu ditanggungkan kepada para siswa atau mahasiswa yang bersekolah atau berkuliah di lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut.
Predikat sekolah atau kampus yang mengutamakan komersialisasi pendidikan menjadi lebih pas karena semua pada akhirnya diukur sebagai ”barang dagangan” dan mengabaikan sisi yang lainnya, seperti sisi nilai-nilai humanis pendidikan. Bukankah realitas tersebut yang terjadi saat ini?
Dalam pandangan saya, setidaknya dengan membebaskan beban PBB maka lembaga pendidikan swasta dapat menekan biaya yang sudah sangat berat ditanggung oleh pengelola lembaga pendidikan swasta.
Beban pengelola pendidikan swasta tidak hanya berat dalam ”berebut kue” peserta didik atau mahasiswa. Lembaga PTS juga harus berhadapan dengan beberapa lembaga pendidikan tinggi negeri (PTN) yang kini mulai menuju ke swastanisasi.
Gurita lembaga PTN yang sering kali mengarah ke privatisasi mendapat banyak kritik di berbagai ruang diskusi yang berakhir dengan istilah ”anjing menggonggong kafilah berlalu”.
Realitas ini menunjukkan bahwa kini lembaga pendidikan dibiarkan berada di bawah cengkeraman pasar dan bahkan di lembaga pendidikan negeri saja peran negara seperti tak kuasa memberikan otoritas.
Kecenderungan menjadi lembaga pendidikan yang dikuasai pasar juga terlihat dan telah diterapkan dalam lembaga pendidikan negeri. Biaya yang dibebankan kepada para anak didik makin tinggi.
Kebijakan pemerintah yang vulgar membuka “keran liberalisasi” bagi kampus negeri menuju swastanisasi semestinya mendorong pemerintah adil dengan proteksi terhadap kampus swasta.
Dalih pemerintah yang lepas tangan terhadap dunia pendidikan swasta harus disertai juga dengan langkah menciptakan rasa keadilan bagi dunia pendidikan, baik negeri dan swasta.
Sikap pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeadilan dalam dunia pendidikan setidaknya harus mau mengambil risiko kebijakan yang berpihak pada lembaga pendidikan swasta dengan menghapus beban PBB.
Lembaga pendidikan swasta sejauh ini juga berkontribusi sangat besar dalam memajukan generasi bangsa. Kontribusi lembaga pendidikan swasta tidak ”kaleng-kaleng”.
Sejumlah prestasi nasional maupun internasional juga diukir oleh generasi bangsa yang menempuh pendidikan di sekolah maupun kampus swasta. Bahwa orientasi utama lembaga pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa bisa dimaknai siapa saja bisa mengenyam pendidikan yang baik dan layak.
Semua orang berlomba-lomba menuju ”harga yang harus dibeli”, lalu bagaimana dengan generasi bangsa yang kurang beruntung dalam kesejahteraan hidupnya? Haruskah saudara kita yang tertinggal, tidak bisa bersekolah dan berkuliah, akan selalu menjadi objek pasar?
Menurut hemat saya, semestinya tidak begitu. Dunia pendidikan harus mampu membebaskan manusia dari keterkurungan. Apabila lembaga pendidikan swasta ”dipaksa” mengejar pasar, karena tingginya beban biaya yang harus ditanggung, maka lembaga pendidikan swasta bukan lagi menjadi tempat yang nyaman bagi peserta didik yang tidak mampu.
Peserta didik menjadi gerah ketika bersekolah dan kuliah dengan beban biaya pendidikan di luar kemampuan dirinya. Kebijakan menekan biaya PBB akan membuat napas panjang bagi lembaga pendidikan swasta agar kelak bisa mengonversi menjadi biaya lain yang lebih strategis dan efektif untuk merangkul peserta didik yang tidak mampu.
Membebaskan PBB untuk dunia pendidikan swasta akan menghilangkan kesan bahwa selama ini pendidikan yang sering kali berebut pasar serta berorientasi pada komersialisasi bisa terkikis habis dan berubah menjadi wajah yang humanis.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Januari 2024. Penulis adalah peminat tema-tema kebijakan pendidikan dan dosen Magister Pendidikan Sains FKIP UNS)