Kesulitan yang sama juga untuk mengetahui hati seseorang, seperti pepatah “dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati seseorang siapa tahu”. Pendidikan moral selalu diidentikkan dengan pendidikan hati (akhlaq al karimah), maka persoalannya menjadi rumit. Hal ini tak jauh berbeda dengan pendidikan pada umumnya. Dalam hal tertentu dapat dikatakan berhasil tetapi dalam hal yang lain dapat dikatakan gagal.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Apalagi kondisi pendidikan saat ini, jika ditinjau dari sisi mutu pendidikan dan dibandingkan dengan negara-negara lain maka mutu pendidikan Indonesia dapat dikatakan sangat-sangat jauh tertinggal. Pada sisi lain, masih banyak yang membanggakan keberhasilan masa lalu, bahwa masa lalu Indonesia pernah menjadi macan Asia. Negara tetangga (misalnya Malaysia) pernah banyak yang belajar ke Indonesia. Akan tetapi, hal tersebut kondisinya sekarang menjadi terbalik.
Keberhasilan pendidikan tidak serta merta ditentukan oleh kebijakan pemerintah, akan tetapi banyak faktor lain yang ikut terlibat di dalamnya, antara lain peserta didik, pendidik, teknologi, ekonomi, sosial budaya, politik, lingkungan, dan sebagainya. Kebijakan pemerintah bukan satu-satunya, termasuk perubahan kurikulum bukan satu-satunya yang menjadi penyebab.
Terlepas dari masalah apa pun yang ada dan hasil apa pun yang akan terjadi, untuk membangun bangsa ini pendidikan moral harus diletakkan pada posisi terdepan. Pendidikan idealnya menjadikan moral sebagai kunci pokok indikator keberhasilan pendidikan. Sebagaimana dakwah tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai edukatif yang menguatkan moral dan karakter utama. Itulah sebabnya Rasulullah Muhammad SAW diutus di muka bumi hanya untuk memperbaiki akhlak manusia.
Oleh karena itu, pendidikan moral atau pendidikan akhlak dalam konteks pembahasan ini, menurut penulis, pada dasarnya sama, bahkan istilah tersebut akan digunakan secara silih berganti dengan maksud yang sama. Menurut Ulwan (1981: 174) maksud “pendidikan moral adalah pendidikan mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa analisa hingga ia menjadi seorang mukallaf, pemuda yang mengarungi lautan kehidupan”. Selanjutnya disebutkan bahwa “tidak diragukan lagi bahwa keutamaan-keutamaan moral, perangai dan tabiat merupakan salah satu buah iman yang mendalam, dan perkembangan religius yang benar”.
Moral dan Pendidikan Holistik
Membangun pendidikan yang holistik dan berhasil memang tidak mudah, akan tetapi harus senantiasa diupayakan secara terus menerus. Pendidikan yang berorientasi pada kecerdasasan otak dan keterampilan, meskipun berhasil tetapi bisa jadi pihak lain memandang segi aqidah, karakter, dan moral dipandang kurang berhasil.Sebaliknya pendidikan yang berorientasi pada pendidikan aqidah dan moral dalam hal tertentu dapat dikatakan berhasil, tetapi pihak lain memandang belum berhasil karena tidak memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan. Dengan demikian, pendidikan yang holistik, integral, dan bermoral agar dapat diwujudkan, meskipun diakui tidaklah mudah.
Untuk merealisasikan pendidikan yang diharapkan sesuai dengan cita-cita bangsa, kebersamaan dan kerja keras dari semua pihak secara terpadu, integral, dan bertanggung jawab mutlak diperlukan. George F, Keller (2009: 7-9) melihat pendidikan dalam tiga cakupan yaitu luas, teknis, dan hasil.
Pertama, luas berarti bahwa pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan pikiran (mind), watak (character), dan kemampuan fisik (pysical ability) individu.
Kedua, teknis mengindikasikan bahwa pendidikan merupakan proses di mana masyarakat, melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga sejenis, dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya berupa pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan, dari generasi ke generasi.
Ketiga, hasil menunjukkan bahwa pendidikan dimaknasi sebagai apa yang diperoleh melalui belajar (pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan). Pendekatan filsafat dalam pendidikan bermaksud dapat memperoleh pendidikan yang sesungguhnya sesuai dengan hakikat pendidikan itu sendiri. Menyadari sulitnya memperoleh pendidikan yang holistik, mendalam, dan menyeluruh, maka di sini tidak akan dapat dikaji secara sempurna.
Moral dipandang sangat urgen dalam kehidupan manusia dan sangat tepat jika diperoleh melalui pendidikan, bahkan menyatu dengan pendidikan. Asumsinya pendidikan berdimensi moral adalah inti gerakan dakwah lebih khusus lagi dakwah di era digital.
Dakwah agar dimulai sejak dini dan menjadi prioritas utama pada pendidikan moral karena moral akan menjadi baromater keberhasilan selanjutnya. Alfan (2013: 172) menyatakan bahwa moral merupakan tekad manusia untuk menemukan kebenaran. Untuk menemukan kebenaran dan mempertahankannya, diperlukan keberanian moral. Moral berkaitan dengan metafisika, maka masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah.
Pada kenyataannya, tidak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat tergantung pada ilmu dan teknologi. Namun dalam praktiknya apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari hal-hal negatif yang membawa malapetaka dan kesengsaraan. Di sinilah perlunya pemahaman antara etika dan moral dalam pendidikan.
Menurut Zaprukhan (2012: 172), ajaran moral dapat diibaratkan dengan buku petunjuk bagaimana kita harus memperlakukan sepeda motor dengan baik, etika memberikan kita pengertian tentang struktur dan teknologi sepeda motor sendiri. Selanjutnya ia menjelaskan ajaran moral itu bagaikan pelampung yang dapat dilemparkan ke kolam untuk menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, sedangkan etika mengajarkan orang bagaimana ia dapat berenang sendiri. Maka ajaran moral langsung formatif bagi manusia, sedangkan pelajaran etika secara langsung hanya menyampaikan suatu kecakapan teoritis.
Kasus Bom Atom yang dalam sejarahnya telah meluluhlantakkan dua kota dan penduduknya di Jepang, kota Hirosima dan Nagasaki pada perang dunia II tahun 1945 adalah kegagalan pendidikan moral. Selanjutnya Perang Rudal Patriot dan Rudal Scud yang dilakukan oleh Amerika Serikat beserta sekutunya melawan Irak pada tahun 1990-an yang menyebabkan Irak hancur lebur, sehingga sampai sekarang masih belum pulih bahkan tak berdaya.
Hal tersebut membawa bencana yang sangat dahsyat dan kerusakan yang sangat luas dan besar. Dampak negatif dari akibat kemajuan teknologi tersebut berpuluh-puluh tahun lamanya tidak akan dapat dipulihkan. Memang semuanya itu diciptakan oleh manusia dan (kemungkinan besar) bertujuan untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu, produk manusia yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi jika penerapannya tidak dikendalikan oleh manusia yang tidak bermoral tinggi, maka akan mengancam ketenteraman manusia itu sendiri.
Termasuk kemajuan teknologi informasi pada era digital saat ini, tentu kita semua dapat melihat begitu cepat arus perubahan zaman yang sangat bergantung pada teknologi informasi tersebut. Arus informasi begitu bebas dan terbuka serta dengan sangat mudah menyebar baik informasi yang bersifat positif maupun negatif.
Setiap orang membayangkan bom atom, bom nuklir, maupun teknologi informasi yang terus berkembang cepat saat ini jika jatuh ke tangan orang yang tidak bermoral tinggi akan sangat membahayakan, bahkan menghancurkan. Di lapangan dapat dijumpai penggunaan hasil ilmu pengetahuan dan teknologi secara destruktif, dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang ringan sampai yang terberat.
Pendidikan Moral Pangkal Kebahagiaan
Ilmu pengetahuan dan teknologi mutlak diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Agar penerapannya membawa kemaslahatan atau kesejahteraan umat manusia harus dikawal dengan moral agama. Ilmu pengetahuan dan teknologi sering disebut bebas nilai, memang dalam proses banyak yang menyebutkan netral atau bebas nilai, akan tetapi jika penerapannya tidak dikawal dan dijaga oleh moral agama maka akan mengancam ketenteraman umat manusia itu sendiri.Moral agama sebagai sumber moral pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan harapan perkembangan iptek dapat menyelamatkan dan mensejahterakan umat manusia menggapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dalam kajian akhlak,menurut tim LPIK UMS (2013: 60 & 79) terdapat akhlak madzmumah dan akhlak mahmudah. Akhlak mazmumah adalah akhlak yang tercela atau buruk, baik dilihat dari sikap, perilaku, dan ucapan, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ada dua macam sifat tercela, yakni perbuatan maksiat lahir dan batin.
Maksiat lahir akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, seperti mencuri, mencopet, merampok, menganiaya, membunuh, berjudi, memaki-maki, menyakitkan hati orang lain, mengadu domba, dan lain sebagainya. Maksiat batin jauh lebih berbahaya, karena tidak kelihatan tetapi memiliki daya dorong yang luar biasa dalam melahirkan maksiat lahir, misalnya dengki (hasd), tindakan korupsi, manipulasi, kolusi, ketidaksenangan kepada orang lain, keinginan untuk memiliki harta banyak dalam waktu singkat, dan praktik-praktik perbuatan tercela lainnya.
Sebaliknya akhlak mazmumah (akhlak tercela) adalah akhlak mahmudah, yakni akhlak yang terpuji, baik dan terhormat, atau sering disebut dengan akhlaqul karimah. Untuk dapat memiliki akhlak yang terpuji harus diupayakan dengan cara meneladani perilaku Nabi Muhammad SAW sehingga memiliki sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathonah.
Pendeknya kehidupan tanpa landasan moral akan mengalami kegersangan, kegelisahan, kekhawatiran, bahkan ketakutan, karena bisa jadi produk dan perilaku manusia akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Dengan demikian, agar hasil pendidikan memiliki makna yang besar bagi kehidupan manusia, maka tidak dapat dilepaskan dengan dimensi moral. Melalui pendidikan yang berdimensi moral diharapkan dapat membawa kehidupan manusia itu menjadi nyaman, damai, aman, dan sejahtera.
Tugas Dakwah Bagi Pendidik
Pendidik memiliki peran yang sangat banyak dan strategis, salah satunya adalah memiliki peran sebagai juru dakwah atau da’i. Dakwah bagi pendidik adalah menyeru, mengajak atau melakukan perubahan menuju jalan yang benar atau melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Pendidik di sini bukan hanya guru dan dosen. Di samping guru dan dosen adalah orang tua, keluarga, ustaz, kiai, tokoh masyarakat, dan sebagainya.Pendidikan dapat dilakukan melalui jalur formal, informal maupun nonformal. Disamping itu, juga dapat dilakukan melalui jenjang, PAUD, pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi. Dakwah melalui pendidikan berdimensi moral dapat dilakukan dengan berbagai jalur dan jenjang oleh pendidik. Apabila pendidikan berdimensi moral dapat berjalan, maka akan mempermudah peran pendidik dalam melakukan misi dakwahnya.
Oleh karena itu, tugas utama da’i adalah menjaga moral peserta didik, karena aspek selain moral, baiknya seperti apa pun tanpa memiliki moral berarti telah gagal dalam melakukan dakwah pendidikan.
Pendidikan yang utama menurut pandangan Islam dan merupakan tahapan pertama bergantung pada kekuatan perhatian dan pengawasan, yang menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga, guru atau yang sejenis dengan itu, serta siapa pun yang bertaggung jawab terhadap pendidikan dan moral. Sehingga anak-anak dapat terhindar dari gejala-gejala yang merupakan perbuatan terburuk, moral terendah dan sifat yang terhina.
Berkaitan gejala buruk bagi anak tersebut harus diluruskan, dibawa kepada kebaikan, kebenaran, dan membawa kepada kemaslahatan umat. Menurut Ulwan (1981: 180) terdapat empat gejala buruk, rendah, dan hina antara lain gejala suka berbohong, gejala suka mencuri, gejala suka mencela dan mencemooh, dan gejala kenakalan dan penyimpangan.
Keempat gejala buruk tersebut di atas, apabila terjadi pada lingkungan peserta didik, baik di sekolah maupun di luar sekolah maka akan membawa keburukan lembaga atau sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, para pendidik selaku juru dakwah wajib mencurahkan perhatian dan upaya terhadap gejala buruk tersebut, sehingga peserta didik terhindar dari gejala buruk tersebut dan menjauhi kemunafikan.
Selanjutnya Ulwan (1981: 174-175) menukil hadits Nabi Saw, yang artinya: “Ada empat perkara yang apabila seluruh perkara itu berada pada seseorang, maka cukup dikatakan bahwa orang itu adalah seorang munafik yang murni. Dan apabila satu perkara di antara empat perkara itu berada padanya, maka ia telah memiliki salah satu sifat kemunafikan hingga ia meninggalkannya; Yaitu apabila dipercaya, ia berkhianat; apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari dan apabila berbantah-bantahan ia naik pitam”.
Hadits Nabi Saw tersebut diambil oleh Ulwan sebagai salah satu penekanan pentingnya dakwah pendidikan yang berdimensi moral, jembatan dakwah bagi para pendidik untuk membangun generasi emas yang berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Moral dalam Dakwah di Era Digital
Dakwah menjadi kunci pokok penyebaran nilai moral Islam di ruang publik. Pelaksanaannya dilakukan melalui seluruh bidang usaha, antara lain bidang pendidikan, bidang kesehatan, bidang sosial, bidang ekonomi, dan sebagainya. Dalam bidang pendidikan, pendidik menjadi ujung tombak dalam gerakan dakwah, di samping itu harus disiapkan generasi sebagai penerus gerakan dakwah khususnya di Era Digital.Era digital membawa banyak perubahan dalam masyarakat, termasuk dalam dunia dakwah. Sebagai media komunikasi yang cepat dan efektif, teknologi informasi telah memudahkan para da’i untuk menjangkau lebih banyak orang dan menyampaikan pesan dakwah kepada masyarakat. Dakwah menjadi semakin mudah untuk dilakukan dan menjangkau lebih banyak orang.
Dakwah menjadi semakin luas, tidak hanya melalui media tradisional seperti buku dan ceramah, akan tetapi bisa dilakukan melalui media sosial dan platform digital lainnya. Hal ini membuka peluang baru bagi para da’i dan penggiat dakwah untuk menjangkau generasi muda yang lebih terkoneksi dengan teknologi informasi.
Kemudahan penggunaan platform digital sebagai media dakwah tentu akan semakin mendukung tingkat keberhasilan dalam dakwah. Namun demikian, keberhasilan dakwah dalam harus tetap menitikberatkan pada pendidikan moral atau akhlak. Keberhasilan yang lain sehebat apa pun tanpa adanya keberhasilan pendidikan moral tidak akan membawa kepada kemaslahatan masyarakat. (Wallaahu a’lam bish-showab).
Artikel ini ditulis oleh Ahmad Rois Syujak, M.Kom, Dosen Teknologi Informasi Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga