Esposin, SOLO – Muhammad Atho'illah Shohibul Hikam pernah mengatakan hasil pemilihan umum anggota legislatif bakal melahirkan gejala partokrasi (demokrasi yang dikangkangi oleh partai politik).
Gejala ini ditandai semua aktivitas dan kegiatan masyarakat sipil ditentukan oleh partai politik. Gejala partokrasi itu ketika partai politik menjadi penentu semua lini, kendatipun di konteks demokrasi, tetapi membuat masyarakat sipil nyaris tidak banyak berperan.
Promosi Beri Kontribusi Nyata, BRI Peduli Adakan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Gejala partokrasi akan semakin kuat mencengkeram masyarakat sipil karena partai politik yang lolos ke parlemen di Kabupaten Klaten ada sembilan. Sembilan partai politik itu merupakan partai lama yang sudah diketahui perilakunya.
Kondisi elektoral tersebut ke depan bisa menjadi beku sebab dikuatkan oleh partokrasi. Implikasinya jelas akan melahirkan status quo di parlemen dan penentunya itu-itu juga. Bayangan kehadiran partokrasi akan berimbas lahirnya kekuasan otoriter.
Beberapa partai politik lolos ke parlemen sangat dimungkinkan berkoalisi membentuk pemerintahan yang sesuai dengan keinginan dan tafsiran mereka. Hal ini disebabkan masyarakat sipil melemah akibat gejala partokrasi.
Membaca gejala partokrasi merunut Baogang Guo (2020) yang mengusulkan konsep partokrasi guna menunjukkan distribusi kekuasaan yang berawal dan berakhir di tangan partai-partai politik.
Ini berdampak muncul sikap-sikap yang tidak memedulikan kompetisi pemilu secara sehat dan adil dan terempasnya inisiatif dari luar partai politik. Steven Levitsky (2018) dalam How Democracies Die mengingatkan lebih sering demokrasi mati perlahan melalui fase pengikisan terhadap norma-norma politik dan institusi.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah di Kabupaten Klaten, skenario tersebut bisa membawa pada kematian demokrasi perlahan-lahan melalui gejalanya, yakni kotak kosong. Pelaksanaan pilkada pada 2015 hingga 2020 cenderung diarahkan ke pasangan calon tunggal melawan kotak kosong.
Kondisi seperti ini di Kabupaten Klaten pun semakin terendus. Hal ini mengindikasikan permasalahan akut dalam proses pencalonan dan pembangunan partisipasi politik di Kabupaten Klaten secara umum dapat diketahui.
Partai politik (yang lolos ke parlemen) memilih mendukung satu calon kuat daripada membuka kesempatan pasangan calon lain yang lebih mempunyai potensi. Bisa jadi ini disebabkan beragam aspek, misalnya mahar politik yang besar serta meminimalisasi risiko yang terjadi.
Gejala kotak kosong merupakan cerminan gagalnya sistem demokrasi skala Kabupaten Klaten yang esensinya tidak menginginkan hadirnya beragam pilihan bagi masyarakat.
Demokrasi harus dipahami bukan sebagai prosedur, melainkan sebuah sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil. Dalam perspektif politik praktis, bertarung melawan kotak kosong di pilkada merupakan mekanisme yang menjanjikan.
Lebih mudah memenangi pilkada tanpa harus berdarah-darah dalam pertarungan strategi taktik, kampanye, dan tentu efisiensi budget. Pasangan calon yang akan diusung koalisi gemuk beberapa partai politik di Kabupaten Klaten merupakan tokoh yang punya dukungan finansial kuat.
Ongkos politik yang dikeluarkan lebih mahal sebab membeli banyak rekomendasi atau banyak kendaraan partai politik. Hal ini dianggap seimbang dengan kemenangan yang mudah digapai
Pilkada semestinya menjadi gerbang munculnya pemimpin berkualitas, namun malah tergerus menjadi permainan kekuasaan dengan pragmatisme yang manipulatif, mengabaikan etika-moral, demi menggapai satu kemenangan.
Modus ini berbeda dari tirani atau diktator klasik yang terbuka. Modus ini memanipulasi sistem politik dan institusi untuk mempertahankan dan melebarkan kekuasaan tanpa melanggar aturan dan tanpa tedeng aling-aling semakin berasa wujudnya.
Dengan demikian, kotak kosong dapat menjadi medium menjaga status quo kekuasaan. Tidak ada kompetitor. Bagi yang punya dukungan finansial besar dapat memanipulasi mekanisme pemilu guna meraih kemenangan yang mudah dan pasti.
Imbas kotak kosong terhadap demokrasi di Kabupaten Klaten sangat besar. Hal ini mengurangi kualitas demokrasi. Para pemilih tidak punya kebebasan memilih pemimpin terbaik sebab tidak ada pilihan lainnya.
Terjadi penurunan partisipasi pemilih sebab masyarakat merasa pilkada itu sudah ditentukan hasilnya sehingga menjadi tidak penting ikut dalam pencoblosan.
Kondisi ini bisa memperkuat oligarki politik dan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya menjamin hak dan kesempatan secara proporsional bagi kontestan.
Perlu meninjau kembali aturan main pilkada, terutama dalam hal syarat dukungan partai politik dan syarat calon perseorangan. Perbaikan regulasi menjamin setiap orang punya peluang yang sejajar untuk bertarung di pilkada secara sehat dan adil.
Mencegah kotak kosong, dalam konteks politik praktis kontemporer di Kabupaten Klaten, adalah jalan jalan sunyi bagi partai politik. Partai politik dengan pilihan tersebut sangat layak diapresiasi.
Mereka memberikan kesempatan secara komprehensif dan partisipasi inklusif guna membangun pilkada berjalan dengan kompetisi yang sehat dan adil sehingga skema desain kotak kosong menjadi semakin terkikis, lenyap, dan sirna.
Sebelum keadaan semakin terpuruk, antisipasi dalam bentuk perbaikan regulasi harus segera diambil solusinya. Tanpa keseriusan, konsekuensi terburuk bisa saja terjadi.
Jika terjadi, tentu saja masyarakat Kabupaten Klaten sendiri yang menjadi korban. Hanya pasrah melihat bertunasnya despotisme baru di Kabupaten Klaten.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 Agustus 2024. Penulis adalah Sekretaris Koalisi Partai Nonparlemen (Partai Garuda) Kabupaten Klaten)