Pasangan presiden dan wakil presiden terpilih pada Pemilihan Umum 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, akan dilantik pada 20 Oktober 2024.
Pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden ini menjadi catatan sejarah baru kepemimpinan Republik Indonesia. Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih itu, publik hanya disuguhi tontonan mengenai para elite politik yang sibuk dengan isu pembagian kursi di eksekutif maupun legislatif.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Tentang jumlah kementerian dan siapa saja yang akan menduduki jabatan menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga negara setingkat kementerian menjadi pembicaraan tanpa henti di kalangan elite politik.
Pembicaraan mereka diamplifikasi oleh media sosial yang dikelola para pendengung dan pers. Narasi soal kepentingan publik dan kepentingan bangsa seolah-olah lenyap, tak seperti saat proses kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden.
Saat itu semua kandidat presiden dan wakil presiden berbicara mengenai kepentingan rakyat. Isu termutakhir adalah presiden terpilih Prabowo Subianto akan membentuk 44 kementerian dalam kabinetnya.
Publik pantas curiga bahwa kabinet sangat gemuk tersebut bukan karena untuk kepentingan publik, tetapi hanya sebagai sarana untuk membagi kekuasaan kepada partai-partai politik yang mendukung dia dan partai politik yang menyatakan dukungan untuk pemerintahan Prabowo-Gibran lima tahun mendatang.
Wacana pemberian kursi menteri bagi partai-partai politik yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus itu bukan hanya menjadi bentuk konsolidasi kekuasaan, tetapi juga mendorong Indonesia ke arah kekuasaan tanpa oposisi.
Potensi itu muncul setelah Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) Puan Maharani menyatakan tidak tertutup kemungkinan partai ini bergabung dengan kabinet Prabowo.
PDIP sejauh ini menjadi satu-satunya partai politik yang belum menyatakan sikap terhadap pemerintahan Prabowo. Kelompok pro demokrasi maupun sebagian kalangan masyarakat sipil yang melek politik menaruh harapan supaya PDIP berani menjadi kekuatan oposisi di pemerintahan mendatang.
Kekuatan yang menjadi penyeimbang pemerintah supaya pemerintah tidak semena-mena dalam membuat kebijakan. Meski para politikus kerap berdalih Indonesia tak pernah mengenal oposisi, demokrasi tanpa oposisi adalah paradoks.
Para Indonesianis menyebut paradoks di Indonesia muncul karena mekanisme demokrasi dan eksistensi oligarki saling mengisi atau hidup berdampingan.
Partai politik pengusung calon presiden yang kalah dalam pemilu semestinya mau mengambil risiko berada di luar pemerintahan dan menjadi penyeimbang. Bukan malah bergabung dengan lawan politik saat proses kompetisi masih berlangsung.
Keberadaan oposisi sekecil apa pun berdampak positif bagi demokrasi, setidaknya mencegah kekuasaan berpusat di sekeliling segelintir elite. Oposisi juga penting agar DPR tak menjadi sekadar pengesah kebijakan eksekutif, tetapi bisa mengawasi kinerja pemerintah.
Partai politik yang kerap menyatakan diri ideologis semestinya mampu mengambil pilihan ini, bukan mengikuti arus yang tak ada untungnya bagi rakyat. Jika tidak, rakyat akan kian apatis terhadap demokrasi Indonesia.