Memang keunikan netizen Indonesia selalu gercep (gerak cepat) menindaklanjuti berita viral kemudian disebarkan, diedarkan, hingga kadang disalahartikan. Ooppss…. memang demikian yang terjadi bukan? Namun, apalah arti berita viral jika akhirnya menguap begitu saja tanpa menjadi produk pikir dan karya.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Tulisan ini hadir dalam rangka mengejawantahkan selingkuh sebagai sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat untuk dapat diambil poin edukasinya. Karya edukasi ini pun akan menjadi bahan diskusi untuk kalangan pendidik (guru-dosen) hingga mahasiswa.
Dengan demikian, belajar serta diskusi ilmiah akan lahir bukan karena perdebatan teori usang semata. Bagai memperdebatkan ilmu sihir yang tidak ada titik temunya, pendidikan seharusnya berfungsi untuk meningkatkan daya nalar manusia hingga menemukan solusi dari kasus sehari-hari yang dihadapinya, termasuk fenomena selingkuh.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring mendefinisikan selingkuh sebagai tindakan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, serong, menyeleweng. Itulah arti kata selingkuh dalam perjanjian bahasa untuk negeri berjuta pulau ini. Sehingga, hal ini tidak hanya berkaitan dengan hubungan asmara, pernikahan, pacaran dan sejenisnya.
Pertanyaan besar yang dapat kita refleksikan bersama dalam konteks pendidikan adalah: Darimana munculnya sifat tersebut? Sifat mementingkan diri sendiri hingga mampu mencurangi orang lain bahkan orang terdekat. Pada akhirnya, sifat ini berdampak pada saat seseorang memiliki komitmen lemah terhadap pasangan. Jawaban paling tepat adalah sejak dari rumah.
Sifat mementingkan kepentingan sendiri hingga secara sadar menyembunyikan kejujuran untuk orang lain bahkan orang terdekat sangat subur di rumah. Didikan orang tua Asia khususnya Indonesia adalah falsafah hidup sempurna. Sejak kecil kita dicekoki dengan sudut pandang bahwa nilai-nilai pelajaran harus tinggi, hidup harus baik, anak harus patuh, anak itu harus lembut.
Terkadang konsep keharusan inilah yang membuat nilai kejujuran semakin turun prioritasnya. Sebuah konsep pendidikan yang dapat diambil dari fenomena selingkuh adalah perlunya disuburkan kembali nilai kejujuran di rumah sejak dini. Proses menyuburkan kembali sikap jujur perlu dibantu dengan pembelajaran yang tepat.
Salah satu pendekatan pembelajaran untuk menyuburkan nilai kejujuran di rumah adalah Home Science Process Skills (HSPS). Pendekatan ini telah banyak diteliti sejak Agustus 2014 dan kini telah diakui kepemilikan Hak Kekayaan Intelektualnya sejak 1 Juli 2024 atas nama Gamaliel Septian Airlanda.
HSPS adalah sebuah cara belajar modifikasi tahapan metode ilmiah untuk memanfaatkan rumah sebagai sumber belajar sebesar-besarnya. Tahapannya terdiri dari 5C (Cari, Catat, Coba, Cipta, Cerita). Nilai kejujuran adalah hal paling penting dalam pendekatan ini, karena siswa akan mengembangkan dirinya secara mandiri.
Pendampingan guru bersifat pelengkap, karena pengetahuan siswalah yang akan digali dan dikembangkan. Di sisi lain, pendekatan ini perlu mendapatkan kontribusi seimbang antara guru dan orang tua. Prinsip ini sejalan dengan Kurikulum Merdeka yang punya kata kunci: mandiri, fleksibel, dan kontekstual. Lalu bagaimana mengembangkan pembiasaan kejujuran untuk semakin memperkecil peluang selingkuh?
Perlu ditegaskan bahwa definisi selingkuh yang dipakai adalah hasil data ilmiah dari KBBI seperti penjelasan sebelumnya. Secara spesifik pendekatan HSPS telah dikembangkan dalam beberapa penelitian di pembelajaran bagi siswa dan guru Sekolah Dasar (SD).
Sehingga tahapan 5C difokuskan untuk menumbuhkembangkan sikap jujur siswa dan guru SD sesuai dengan prinsip sikap ilmiah pada metode ilmiah. Seorang peneliti ilmiah selalu menggunakan metode ini untuk menghasilkan karya-karya besarnya, dengan demikian siswa dilatih untuk bisa menjadi peneliti pemula.
Berikut ini tahapan HSPS yang difokuskan pada nilai kejujuran anti selingkuh.
1. Cari
Siswa diajak untuk jujur menemukan dan mengungkapkan ketertarikannya terhadap topik yang ingin mereka pelajari. Terkadang prinsip generalisasi topik pembelajaran berdasarkan buku cetak ataupun buku elektronik bagi siswa SD menjadi kewajaran bagi guru. Semua siswa dianggap wajib mempelajari 1 topik yang sama walaupun dalam hatinya tidak suka.Sehingga siswa tidak terbiasa jujur dengan tertarik atau tidaknya mereka dengan pelajaran yang guru bawakan. HSPS mengakomodasi pembelajaran beragam berdasarkan latar belakang fenomena yang terjadi di rumah dengan multidisiplin keilmuan. Kondisi ini pun adalah sebuah keharusan bagi Kurikulum SD.
2. Catat
Siswa dibimbing untuk jujur membuat progress atau peningkatan yang terjadi pada dirinya. Kembali lagi nilai generalisasi pada siswa SD yang mengharuskan semua kemampuan anak sama rata perlu dibasmi. Orangtua pun terkadang mencoba menyamaratakan kemampuan anaknya. Kelas 1 harus bisa membaca dan menulis semua, kelas 2 harus bisa berhitung perkalian semua, dan demikian pada kelas selanjutnya.Tuntutan inilah yang membuat anak tidak pernah bisa jujur dengan kemampuan asli yang dimilikinya. HSPS mengajarkan anak mencatat peningkatan belajar yang terjadi pada dirinya sendiri sehingga anak punya rasa bangga dengan dirinya sendiri. Jika anak bangga dengan dirinya sendiri sesuai batas kewajaran yang benar, maka mereka tidak perlu selingkuh untuk menyembunyikan sesuatu pada orang lain.
3. Coba
Siswa diajak jujur untuk menentukan tingkat kebenaran pada diri mereka tentang hal atau kondisi yang perlu dicoba atau tidak dicoba. Kebiasaan pendidikan selama ini adalah pemaksaan peraturan orang dewasa kepada siswa SD. Tetapi banyak sekali siswa yang tidak memahami alasan dibalik larangan-larangan yang sering mereka harus patuhi.HSPS justru memberikan latihan terbimbing pada anak untuk mampu mengalami dan mengukur hal tersebut tanpa adanya larangan kaku dari guru maupun orang tua. Pandangan awal diberikan guru dan orang tua namun bukan untuk melarang, kemudian siswa melakukan analisis fenomena dengan bantuan teknologi, kajian pustaka, studi kasus.
Setelah itu, siswa diajak untuk mengemukakan pertimbangannya terhadap fenomena atau kondisi tersebut. Di bagian akhir, guru dan orang tua bekerjasama untuk menampilkan contoh nyata disesuaikan dengan norma, kewajaran, dan logika.
Pada bagian ini yang ditekankan adalah bagaimana siswa punya kejujuran untuk menentukan nilai benar dan salah tanpa intervensi kaku dari larangan turun temurun yang kadang tidak dimengerti maksud dan tujuannya.
4. Cipta
Siswa diajak untuk jujur dalam membuat produk hasil belajarnya tanpa intervensi keharusan mendapatkan nilai tinggi. Paksaan orang dewasa tentang keharusan capaian nilai tertentu membuat siswa SD tidak jujur mengerjakan produk mereka.Hal ini terbawa hingga dewasa. Ketakutan untuk tidak diakui kapasitasnya oleh orang lain membuat orang mudah selingkuh. Padahal penerimaan diri dan rasa ikhlas terhadap pencapaian dan berkat diri sendiri adalah kunci anti selingkuh.
Ternyata pembiasaan sikap ini dimulai sejak sekolah SD dimana siswa diajak untuk jujur dengan karya yang mereka ciptakan baik sempurna atau tidak. Nilai kejujuran itulah yang menjadi kebanggan atas diri mereka yang akan dibawa hingga dewasa.
5. Cerita
Siswa dibimbing untuk mampu jujur bercerita tentang kelemahan, kelebihan, kesulitan yang dihadapi, peluang yang bisa mereka kembangkan. Pada bagian ini memang HSPS akan mengadopsi prinsip Strength, Weakness, Opportunity, Threatened (SWOT).Modifikasi ini ditarik ke dalam pembelajaran untuk siswa SD melalui cerita. Siswa SD mencoba membiasakan diri dengan analisis tertulis, perlu dibimbing dengan analisis cerita. Pertanyaan pemantik dari guru atau orang tua menstimulasi pikiran mereka dalam hal analisis. Cerita yang jujur dari siswa akan mudah untuk muncul ketika fokusnya ada pada analisis SWOT bukan nilai benar dan salah.
Jujur itu mudah jika terbiasa. Rumah adalah tempat paling tepat untuk menyuburkan sikap kejujuran sejak SD. Masa dewasa seseorang akan terhindar dari selingkuh (sikap suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri) jika terbiasa. Hatinya lapang dan ikhlas menghadapi hidup.
Tidak perlu ada yang ditutupi dan tidak perlu ada sebuah keterpaksaan. Pendidikan merupakan jalan paling ampuh mengatasi selingkuh salah satunya dengan pendekatan HSPS. Melalui tulisan ini, kiranya dapat membuka pikiran bahwa fenomena viral terkadang adalah hasil tumpukan kegagalan pendidikan sepele yang sering diabaikan.
Selanjutnya, para pendidik dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia generasi muda untuk masa depan mereka. Kiranya Tuhan yang juga turut menyuburkan kejujuran dalam hati dan pikiran kita semua.
Artikel ini ditulis oleh: Gamaliel Septian Airlanda, Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Kristen Satya Wacana