Esposin, SOLO – Pandemi Covid-19 merupakan salah satu periode kelam perjalanan sejarah dunia yang berakar dari sektor kesehatan. Jutaan nyawa terenggut dari raga selama pandemi Covid- 19 di seluruh dunia.
Penyakit yang disebabkan severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) tersebut setidaknya telah merenggut 161.920 orang di Indonesia. Dengan jumlah tersebut, Worldometer menempatkan angka kematian Covid-19 di Indonesia di urutan kedua tertinggi di Asia.
Promosi Kisah Perempuan Hebat Agen BRILink Dorong Literasi Keuangan di Medan
Pandemi Covid-19 juga berdampak signifikan bagi perekonomian Indonesia kala itu. Berbagai pembatasan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi anjlok dari 5,02% pada 2019 menjadi 2,97% pada 2020.
Kesulitan ekonomi yang dipicu pandemi juga berdampak pada kesehatan. Pengangguran dan ketidakstabilan finansial meningkatkan stres dan kecemasan yang dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental.
Akses terhadap layanan kesehatan juga menjadi lebih sulit bagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan dan tak punya asuransi kesehatan. Seiring dengan gencarnya vaksinasi, pandemi Covid-19 lambat laun teratasi.
Status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) atau darurat kesehatan global untuk Covid-19 resmi dicabut WHO pada 5 Mei 2023.
Presiden Joko Widodo lantas menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penetapan Berakhirnya Status Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia.
Bayang-bayang pandemi Covid-19 tampaknya belum sepenuhnya pudar, terutama bagi sistem jaminan kesehatan di Indonesia yang dipikul oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Banyak penyintas Covid-19 dilaporkan mengalami gejala jangka panjang yang disebut sebagai long Covid. Gejala ini berupa kelelahan kronis, masalah pernapasan, dan kesulitan kognitif yang dapat berlangsung berbulan-bulan setelah infeksi awal, bahkan pada mereka yang mengalami penyakit ringan.
Sejalan dengan perubahan demografi, termasuk pertambahan populasi penduduk, tantangan sektor kesehatan kian berat. Inovasi teknologi di bidang kesehatan harus berpacu dengan dampak peningkatan suhu bumi, polusi, fenomena cuaca ekstrem, hingga gaya hidup manusia.
Pengobatan penyakit pernapasan yang disebabkan polusi udara telah membebani BPJS Kesehatan hingga triliunan rupiah. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pernah mengungkap polusi udara memicu terjadinya sejumlah penyakit pernapasan yang meningkatkan beban BPJS Kesehatan.
Penyakit tersebut, antara lain, pneumonia atau infeksi paru, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, kanker paru, dan tuberkulosis. Berdasarkan laporan BPJS Kesehatan, pada 2023 penyakit pernapasan masuk 10 besar biaya pengobatan tertinggi yang ditanggung lembaga tersebut.
Rawat jalan penyakit pernapasan tercatat 1,1 juta kasus dengan total pembiayaan mencapai Rp431 miliar. Sedangkan rawat inap penyakit pernapassan lebih tinggi, mencapai 1,7 juta kasus dengan total pembiayaan Rp13,3 triliun.
Masalah kesehatan lain yang juga membebani BPJS Kesehatan adalah penyakit jantung yang pada 2023 menempati posisi tertinggi dalam daftar kasus yang ditangani fasilitas kesehatan mitra BPJS Kesehatan.
Pada 2023 tercatat 20,04 juta kasus penyakit jantung yang dijamin BPJS Kesehatan. Bukan main-main, biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk menjamin penyakit jantung pada 2023 mencapai Rp23,53 triliun.
Strategi dan Pelayanan
BPJS Kesehatan telah menjadi tulang punggung sistem jaminan kesehatan di Indonesia sejak didirikan pada 2014. Dengan cakupan yang luas dan komitmen memberikan akses ke layanan kesehatan yang merata bagi seluruh warga, BPJS Kesehatan terus berupaya meningkatkan jumlah kepersertaan hingga kualitas layanan.Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengungkapkan jumlah peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai 271,2 juta orang per 10 Mei 2024. Jumlah itu setara dengan 97% total penduduk Indonesia.
Tampaknya tinggal selangkah lagi kita bisa mewujudkan universal health coverage yang ditargetkan pada RPJMN 2020–2024, yaitu sedikitnya 98% dari total populasi menjadi anggota JKN.
Berbagai inovasi program dan peningkatan mutu layanan terus dilakukan. BPJS Kesehatan saat ini sedang mempersiapkan penerapan kelas rawat inap standar (KRIS) yang ditargetkan diterapkan paling lambat pada Juni 2025 meski masih menuai pro dan kontra.
Menghadapi kompleksitas kesehatan pada masa depan, BPJS Kesehatan memang harus melakukan berbagai persiapan dan inovasi-inovasi strategis. Peningkatan kepersertaan seharusnya bukan hanya menitikberatkan pada kuantitas, namun juga kualitas.
Program inovasi perlu terus dikembangkan seperti menerapan telemedicine yang memungkinkan layanan konsultasi medis jarak jauh untuk meningkatkan aksesibilitas, terutama di daerah terpencil.
Data dan dinamika kondisi kesehatan perlu dipantau dan disajikan tepat, cepat, dan akurat untuk mempermudah dan optimalisasi pelayanan kesehatan. Diperlukan sistem data kesehatan terintegrasi yang bisa memantau, mengelola, dan menyajikan data-data kesehatan peserta secara real-time.
Untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan yang semakin kompleks, BPJS Kesehatan perlu fokus pada peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan, termasuk meningkatkan standar dan kualitas layanan melalui program akreditasi untuk rumah sakit, puskesmas, dan klinik yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Memperluas jaringan kerja sama dengan rumah sakit dan klinik swasta untuk meningkatkan kapasitas layanan dan mengurangi beban pada fasilitas kesehatan publik juga perlu ditingkatkan.
Dengan perluasan jangkauan layanan kesehatan diharapakan tak ada lagi ada kabar ibu-ibu yang terpaksa melahirkan di rumah dengan fasilitas seadanya atau warga yang sulit berobat kala sakit mendera.
Tenaga kesehatan yang kompeten dan berkualitas sangat penting menghadapi kompleksitas kesehatan pada masa depan. Penyediaan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kesehatan bisa dilakukan melalui kerja sama dengan universitas dan lembaga pendidikan kesehatan untuk mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masa depan.
Belajar dari pandemi Covid-19, diperlukan kesiapan menghadapi penyakit kronis dan potensi epidemi pada masa depan melalui sosialisasi upaya pencegahan penyakit dan edukasi kesehatan.
BPJS Kesehatan sebenarnya mempunyai program skrining riwayat kesehatan yang dapat dimanfaatkan oleh peserta JKN. BPJS Kesehatan mencatat dari jumlah peserta JKN yang lebih dari 271 juta jiwa, hanya 39,6 juta yang telah melakukan skrining.
Artinya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan penyakit masih relatif rendah. Kampanye edukasi kesehatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan penyakit kronis dan gaya hidup sehat masih perlu diintensifkan.
Merangkai masa depan jaminan kesehatan nasional tak bisa lepas dari peningkatan layanan fisik dan tata kelola fasilitas kesehatan. Audit dan evaluasi rutin terhadap kinerja dan efektivitas program juga perlu dilakukan untuk mengidentifikasi perbaikan dan peningkatan fasilitas di semua jenjang.
Tak perlu lagi ada warga yang sakit menggalang dana di media sosial karena tak kuasa menjangkau layanan kesehatan. Dengan berbagai strategi dan inovasi, BPJS Kesehatan diharapkan bisa meningkatkan kualitas JKN demi menghadapi kompleksitas kesehatan pada masa depan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Juli 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)