Esposin, SOLO - Percepatan program kendaraan listrik di Indonesia telah didukung masing-masing stakeholder berpengaruh, mulai dari pemerintah, industri otomotif sampai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini merupakan wujud dukungan untuk menekan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil sekaligus mengurangi pembuangan greenhouse gas yang sejalan dengan sebagian dari sustainable development goals (SDGs), yaitu menuju net zero emission (NZE).
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan berupa Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan. Peraturan itu guna mendukung produksi dan pemakaian kendaraan listrik di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga telah memberikan kebijakan berupa subsidi pembelian motor listrik, subsidi pajak kendaraan listrik, sampai pembangunan infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan swapping station untuk pengisian daya baterai kendaraan listrik.
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berkolaborasi dengan Perusahaan Listrik Negara (PLN) melaporkan Indonesia sudah memiliki 2.704 unit infrastruktur kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dan 70 swap station untuk memfasilitasi kebutuhan kendaraan listrik konversi. Secara kumulatif, penjualan kendaraan listrik berbasis baterai di Indonesia pada tahun 2024 mencapai 2.300 unit.
Angka penjualan ini meningkat sebanyak 683%, di mana brand yang banyak diminati adalah Wuling, Hyundai, Morris dan sebagainya. Data dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan data kendaraan listrik di Indonesia, yaitu sebanyak 85.913 unit kendaraan listrik roda dua dan 21.720 unit kendaraan listrik roda empat. Data ini menunjukkan tren peningkatan jumlah kendaraan listrik di Indonesia.
Mobilitas kendaraan listrik telah memainkan peran penting dan menjadi solusi berkendara yang memberikan kontribusi terhadap transisi energi ramah lingkungan. Menurut Badan Energi Internasional, sektor transportasi menghasilkan lebih dari sepertiga emisi gas rumah kaca (GRK) dunia yang perlu ditindaklanjuti secara serius.
Kendaraan listrik memberikan penawaran berupa kendaraan ramah lingkungan, tarif perawatan yang lebih ekonomis, dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah. Jenis kendaraan listrik terbagi menjadi dua, yaitu kendaraan listrik yang hanya menggunakan daya baterai (battery electric vehicle/BEV) dan kendaraan listrik yang menggunakan daya listrik dan bahan bakar hybrid electric vehicle (HEV).
Kendaraan listrik terbukti menjadi alternatif perubahan transportasi dengan kategori mobilitas berkelanjutan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil sebagai penggeraknya. Hal ini menjadi solusi dari permasalahan transportasi yang menjadi sektor utama penghasil gas rumah kaca. Percepatan transisi mobilitas kendaraan listrik yang berkelanjutan merupakan hal yang sesuai dengan tantangan besar saat ini.
Adopsi kendaraan listrik yang sejalan dengan sustainable development goals (SDGs) serta peraturan pemerintah yang mendukungnya ternyata memiliki banyak kendala dalam mempertahankan eksistensinya. Kesadaran masyarakat menggunakan kendaraan listrik sebagai alternatif kendaraan yang ramah lingkungan merupakan kunci utama yang perlu disadari dan dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, pembelian kendaraan listrik tidak hanya sebatas fear of missing out (FOMO) atau ketakutan kehilangan momen.
Dilansir dari CNN, Honda Prospect Motor mengungkap hasil survei internal bahwa motivasi konsumen membeli mobil listrik karena takut ketinggalan tren atau FOMO. Begitu pula dengan keadaan di lapangan, banyak pegawai dari berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan yang diberi hak pakai kendaraan listrik.
Faktanya, mereka hanya menggunakannya pada awal saja dan membiarkan kendaraan listrik tersebut mangkrak di wilayah kantor. Kemudian mereka kembali beralih menggunakan kendaran konvensional karena berbagai alasan, seperti waktu yang lama untuk mengecas dan cara menggunakan fasilitas charging yang belum familier.
Survei McKinsey & Co mengungkapkan sebanyak 29% pemilik kendaraan di seluruh dunia kemungkinan akan kembali ke mobil berbahan bakar bensin. Hal itu terpengaruh oleh lambatnya peluncuran program infrastruktur kendaraan listrik. Dengan adanya berbagai tantangan tersebut, peran dari berbagai pihak sangat dibutuhkan, mulai dari distributor kendaraan listrik, pemerintah, dan masyarakat.
Dari forum akademisi, Grup Riset Rekayasa Industri dan Tekno Ekonomi (GR-RITE) Universitas Sebelas Maret (UNS) telah menginisiasi berbagai penelitian dan berkolaborasi dengan para stakeholder untuk menghasilkan berbagai luaran guna menjawab tantangan dan persoalan terkait adopsi kendaraan listrik.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di antaranya terkait pengembangan teknologi baterai dan standardisasi, siklus inkubasi, perencanaan fasilitas charging, distribusi dan pemasaran kendaraan listrik. Selanjutnya, pemerintah perlu berkolaborasi dengan produsen dan regulator untuk memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran kepada masyarakat tentang kebermanfaatan penggunaan kendaraan listrik untuk lingkungan.
Informasi lain yang dapat disosialisasikan berupa manfaat memakai kendaraan listrik, antara lain subsidi pembelian dan pajak, biaya perawatan yang lebih ekonomis daripada kendaraan konvensional. Sementara itu, di lingkungan instansi pemerintah, perlu diterapkan kebijakan bagi pegawai yang memperoleh fasilitas kendaraan listrik, agar dapat menggunakannya secara optimal.
Hal ini supaya konsistensi penggunaan kendaraan listrik dapat dimulai dari pihak pemerintah. Sehingga harapannya dapat menjadi panutan bagi masyarakat untuk tergerak memakai kendaraan listrik. Dengan demikian, konsistensi masyarakat dalam menggunakan kendaraan listrik terus terjaga dan semakin meluas. Bukankah konsistensi penggunaan kendaraan listrik merupakan ujung tombak dari program SDGs menuju NZE.
Artikel ini ditulis oleh Maya Revanola Zainida S.Pd., M.T. Dosen Universitas Islam Kediri Alumnus Program Studi Magister Teknik Industri, Universitas Sebelas Maret (UNS)