by Brand Content - Espos.id Kolom - Kamis, 18 Juli 2024 - 15:40 WIB
Aktivitas netizen barbar mampu menembus berbagai lapisan masyarakat tanpa mengenal perbedaan bahasa, waktu, dan tempat. Namun, apakah ini sebuah prestasi? Apakah memberikan dampak positif atau negatif? Jawaban atas pertanyaan ini yang perlu dikaji kembali.
Perlu indikator yang jelas untuk bisa memberi label keberadaan sebuah komunitas. Ditinjau dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan, komunitas merupakan kumpulan orang yang hidup dan saling berinteraksi dalam daerah tertentu.
Selain itu, komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang punya arti kesamaan. Maka, definisi komunitas adalah sebuah kesamaan yang melekat pada sekelompok orang sebagai bentuk identitasnya (Nurhidayah, 2022).
Selain itu, komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang punya arti kesamaan. Maka, definisi komunitas adalah sebuah kesamaan yang melekat pada sekelompok orang sebagai bentuk identitasnya (Nurhidayah, 2022).
Dengan penjelasan itu, sudah jelas indikator dari sebuah komunitas adalah kesamaan identitas dan bentuk interaksinya. Baik buruknya sebuah komunitas akan ditentukan pada ciri khas yang muncul dan dampaknya bagi masyarakat melalui interaksi sosial. Sungguh bersyukur Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) telah merespons perkembangan komunitas ini dengan Kurikulum Merdeka.
Pada Kurikulum Merdeka dikenal istilah Komunitas Belajar. Buku Petunjuk Awal Membangun Komunitas Belajar dalam Sekolah, mendefinisikannya sebagai sekelompok Pendidik, Tenaga Kependidikan dan warga sekolah yang berkolaborasi untuk peningkatan kualitas belajar siswa (Kemendikbudristek, 2022). Tujuan komunitas belajar adalah membangun budaya belajar bersama yang bekelanjutan.
Kondisi ini terjadi di sekolah-sekolah pinggiran dalam jumlah yang banyak. Di sisi lain, komunitas belajar di sekolah belum digunakan untuk mengatasi masalah lokal yang terjadi pada daerah tertentu. Situasi ini kembali dibuktikan dengan mudahnya siswa ataupun guru justru menjadi netizen bar-bar hingga merusak citra luhur dunia pendidikan. Kehadiran dan dampak komunitas belajar di sekolah dipertanyakan.
Alasannya, komunitas belajar di sekolah dianggap sebagai beban administratif saja. Padahal melalui komunitas belajar inilah terjadi kolaborasi antar warga sekolah (guru, siswa, tenaga kependidikan) bahkan orang tua wali. Komunitas belajar yang berjalan baik akan mewujudkan ciri khas pada anggota komunitas tersebut. Jika anggotanya adalah netizen bar-bar maka bisa kita simpulkan bagaimana proses yang ada di dalamnya.
Untuk membangun komunitas belajar di sekolah yang memberi dampak positif, perlu dilakukan beberapa cara, seperti:
Tujuan akhir dari hadirnya komunitas belajar di sekolah adalah: pertama, mewujudkan well-being individual. Kondisi seseorang dikatakan well-being individual saat memiliki kualitas hidup yang sesuai dengan kesehatan kondisi fisik dan psikis.
Dengan demikian, seseorang akan mampu menjalani hidupnya dengan tenang, punya peluang mengembangkan kreativitas serta produktif. Kedua, mengarahkan seseorang berproses dari micro-personal menjadi macro-sosial. Komunitas belajar diharapkan mampu membawa seseorang yang penuh dengan pemikiran egois tentang dirinya berubah memiliki perspektif yang luas (Rugeri et al, 2020).
Jika semua hal ini terjadi pada komunitas belajar di sekolah, maka Indonesia tidak perlu memiliki netizen barbar. Selain itu di akhir rangkaian tulisan ini, barulah kita bisa memberi penilaian layakkah kita mengganggap sebuah prestasi bagi netizen (komunitas internet) barbar? Sudahkah netizen barbar memiliki ciri komunitas yang sesuai dengan teori komunitas?
Artikel ini ditulis oleh: Gamaliel, Dosen FKIP UKSW Salatiga