kolom
Langganan

Anak Berhadapan dengan Hukum, Salah Siapa?

by Ika Yuniati  - Espos.id Kolom  -  Senin, 30 September 2024 - 17:42 WIB

ESPOS.ID - Ika Yuniati

Perjalanan panjang menjadi seorang reporter daerah, yakni di Kabupaten Sragen, beberapa tahun silam, akhirnya mempertemukan saya dengan isu yang sebelumnya selalu saya hindari. Seorang remaja sekolah menengah pertama (SMP) berinisial X, 16, harus berhadapan dengan hukum—selanjutnya disebut dengan anak berhadapan dengan hukum (ABH)—setelah menganiaya rekan sekolahnya hingga tewas.

Sidang terakhir yang digelar tertutup saat itu sungguh dramatis. Saya beberapa kali merasa emosional merasakan situasi dalam ruangan persidangan. Ibu muda dengan hijab besar memeluk erat X dan histeris sebelum mendengarkan putusan hakim.

Advertisement

Ia berulang kali melontarkan kalimat pembelaan bahwa sang anak tak bersalah. Tak hanya merasa sedih atas hal yang terjadi pada anaknya, ia juga merasa bersalah karena sebelumnya sibuk bekerja menjadi buruh di luar kota hingga tak bisa mengawasi anaknya.

Di sisi berbeda, juga seorang ibu, beberapa kali tak sadarkan diri. Ia teringat mendiang anaknya yang menjadi korban kekerasan oleh X hingga meninggal dunia. Sesekali sang ibu histeris mengingat anak bungsunya meninggal dunia di sekolah yang seharusnya jadi ruang belajar yang aman. Tak sepatah kata dia ucapkan kecuali ingin pelaku dihukum seberat-beratnya karena menghilangkan nyawa buah hatinya.

Advertisement

Di sisi berbeda, juga seorang ibu, beberapa kali tak sadarkan diri. Ia teringat mendiang anaknya yang menjadi korban kekerasan oleh X hingga meninggal dunia. Sesekali sang ibu histeris mengingat anak bungsunya meninggal dunia di sekolah yang seharusnya jadi ruang belajar yang aman. Tak sepatah kata dia ucapkan kecuali ingin pelaku dihukum seberat-beratnya karena menghilangkan nyawa buah hatinya.

Dengan emosi yang masih teraduk-aduk, saya ke luar ruangan. Butuh waktu lama untuk ikut menenangkan diri, apalagi menuliskannya dalam bentuk berita. Akal sehat saya belum benar-benar bisa menerima ketika sejumlah anak konglomerat hidup nyaman bergelimang kemewahan dan berbagai kemudahan.

Sementara, mereka si kaum papa harus berjuang sendiri karena orang tua terpaksa bekerja jauh di luar kota. Dalam kondisi yang tak stabil, ia terpapar hal negatif yang berujung kejahatan hingga merugikan dirinya dan orang lain.

Advertisement

Iya, kalian tidak salah. Remaja yang masih SMP dan SMA itu bersekongkol memperkosa dan membunuh murid SMP lain. Sejumlah warganet ramai-ramai menghujat para ABH tersebut. Beberapa bahkan mengedit foto-foto mereka menjadi meme menyeramkan karena saking geramnya. Ada juga yang menyebarkan data pribadi mereka (doxing) mulai dari biodata hingga data sekolah. Bahkan, foto-foto korban ikut disebar di medsos.

Saya turut merasa geram sekaligus simpatik sedalam-dalamnya. Jelas ini bukan sepenuhnya salah mereka. Meskipun kejahatan seksual berupa pemerkosaan pada remaja hingga pembunuhan berencana tentu layak dikecam dan dihapuskan dari muka bumi, apalagi di tengah maraknya kasus femisida akhir-akhir ini.

Pembunuhan berbasis gender marak dan terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan beberapa waktu terakhir femisida selalu memakan korban anak-anak atau perempuan remaja dengan pelaku anak-anak atau laki-laki remaja.

Advertisement

Kasus di Palembang disebabkan karena pelaku kecanduan melihat video porno sehingga muncul keinginan memperkosa korban. Masalah utama, yakni minimnya pengawasan terhadap anak-anak menggunakan gawai dan akses terhadap situs porno tanpa batas semestinya menjadi tanggung jawab manusia dewasa, termasuk pejabat pemerintah.

Peningkatan ABH

Permasalahan tersebut selaras dengan data yang disampaikan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia beberapa waktu lalu. Kasus anak yang berkonflik dengan hukum, menurut data tersebut, menunjukkan tren peningkatan pada periode 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, tercatat hampir 2.000 anak berkonflik dengan hukum.

Advertisement

Sebanyak 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan masih menjalani proses peradilan, sementara 526 anak sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Kasusnya beragam, mulai dari kejahatan seksual, pembunuhan, penganiayaan, hingga pencurian.

Belum lagi ditambah meningkatnya aduan terkait pelanggaran hak dan perlindungan anak selama periode 2023. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan pada 3.883 terdapat aduan terkait pelanggaran hak dan perlindungan anak selama periode 2023. Sebanyak 2.662 aduan diterima secara langsung dan sisanya melalui surat hingga media sosial.

Dilansir Antaranews.com, tiga aduan tertinggi yakni soal anak sebagai korban pemenuhan hak atas identitas, anak sebagai korban pemenuhan hak atas perlindungan kehidupan pribadi, dan anak sebagai korban pemenuhan hak berekspresi serta mengeluarkan pendapat dan eksploitasi anak selama masa kampanye Pemilu 2024. Dari angka tersebut, sebanyak 1.569 kasus menempati posisi aduan tertinggi yang terdiri atas pengasuhan bermasalah, akses pelarangan bertemu, dan hak atas nafkah.

Tingginya pengasuhan bermasalah secara tak langsung berdampak pada kondisi anak-anak hingga membuat mereka berpeluang melakukan tindak kriminal. Korelasi keduanya pernah disampaikan psikolog anak yang menyampaikan pentingnya kehadiran orang tua dan pola asuh yang tepat. Hal ini salah satunya harus dipersiapkan sejak awal ketika mereka memutuskan akan menikah dan memiliki buah hati.

Dalam konteks yang lebih luas, peran tersebut bisa terpenuhi dengan baik jika kesejahteraan merata sehingga orang tua bisa menjalankan peran mereka tanpa khawatir soal permasalahan ekonomi dan lainnya. Karena itu, tugas melindungi anak-anak agar tak menjadi korban hingga pelaku kejahatan adalah tanggung jawab bersama, orang tua, dan negara.

Apalagi, Indonesia juga telah meratifikasi konvensi hak anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 36 Tahun 1990 yang tertanggal 25 Agustus 1990. Konvensi ini mulai berlaku di Indonesia pada 5 Oktober 1990.

KHA menuliskan perjanjian yang menjamin hak anak di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya. Di antaranya hak atas kehidupan, perlindungan, tumbuh kembang, dan partisipasi. Sekali lagi, saya ingin mengingatkan kembali jika ingin mengurangi kasus-kasus kriminal pada anak, mari kembali pada KHA.

Negara punya tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak anak. Bukan hanya soal makan siang bergizi gratis yang menelan anggaran hingga triliunan rupiah, tetapi hak hidup lainnya yang juga penting dan mendesak.

Advertisement
Adib Muttaqin Asfar - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif