Sebanyak 70 sastrawan Indonesia yang setia berkarya selama 40 tahun dan 50 tahun menerima penghargaan tersebut. Ini pemberian penghargaan dengan kategori usia sepuh yang kali pertama. Sebelumnya ada penghargaan serupa, tapi untuk kategori 25 tahun berkarya.
Bagi sastrawan dari kalangan sastra Indonesia, anugerah atau penghargaan berskala nasional barangkali hal yang biasa. Suatu kelaziman. Para sastrawan Indonesia, seperti Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Putu Wijaya, W.S. Rendra, dan lain-lain pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah pada era masing-masing.
Di kalangan sastrawan Jawa yang namanya penghargaan laksana embun di tengah kemarau kering. Serasa air segar dari sebatok kelapa muda menyiram kerongkongan yang lama didera dahaga. Penghargaan, anugerah, hadiah, atau sebutan lain merupakan lambang pengakuan dari suatu lembaga (apalagi lembaga pemerintah yang sah) tetaplah merupakan suatu kebanggaan.
Tujuh sastrawan Jawa memperoleh penghargaan, yaitu Suryadi W.S. (Klaten), J.F.X. Hoery (Bojonegoro), Ismoe Rianto (Madiun), Soeharmono Kasiyun (Surabaya), dan saya (Sragen) untuk kategori telah berkarya tanpa henti selama 50 tahun. Sedangkan untuk yang telah berkarya 40 tahun terdapat Triman Laksana (Magelang) dan Sunarko Budiman (Tulungagung).
Tujuh orang itu berada di antara 70 sastrawan Indonesia terpilih, antara lain, I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, D. Zawawi Imron, Ahmad Tohari, dan lain-lain. Mereka diundang untuk menerima pembekalan yang dilaksanakan pada Senin—Rabu, 24—26 Juni 2024, di Hotel Sultan, Jl. Jenderal Gatot Subroto, Jakarta.
Terpilih dalam seleksi penerima penghargaan itu tentu membuat hati senang,meskipun respons dan ekspresi bisa berbeda-beda. Saya teringat pidato W.S. Rendra sewaktu menerima penghargaan dari Akademi Jakarta pada 22 Agustus 1975.
Ia mengucapkan terima kasih dan menyampaikan kisah perjuangan dan pergulatan selama merintis karier di bidang sastra di Indonesia. Pengalaman pahit saat pementasan drama dilarang di berbagai kota. Waktu itu, kesenian selalu disangkutpautkan dan berkelindan dengan politik.
Rendra juga menuturkan yang pernah terjadi di Prancis, kesenian harus memenuhi tuntutan bentuk politik monarki absolut, bercorak neo-klasik sesuai kebutuhan politis Raja Louis. Kalimat penutup yang indah dan menggetarkan dari pidato itu adalah,”Sekarang saya ambil hadiah dari Akademi Jakarta. Terima kasih. Saya akan kembali ke angin.”
Berbeda dengan saat Ernest Hemingway menerima hadiah Nobel Sastra 1954 untuk novel The Old Man and the Sea. Dia mengatakan akan lebih membahagiakan jika hadiah itu dianugerahkan kepada pengarang nan cantik Isak Dinesen. Isak Dinesen itu nama pena Karen Blixen, pengarang asal Denmark yang menulis dalam bahasa Denmark dan Inggris.
Dari situ tampak bahwa di sebagian besar negara Barat karya sastra sangat dihargai. Terlepas dari persoalan-persoalan politik, bahkan objektivitas dalam penilaian sastra pun merupakan domain kalangan sastra sendiri.
Ingat pengalaman yang menimpa Albert Camus (1913-1960). Penulis novel The Stranger (1942), The Plague (1947), dan pemenang hadiah Nobel Sastra 1957 itu pernah diprotes oleh Akademi Stockholm. Menurut penilaian Camus, yang sepantasnya mendapat nobel sastra adalah Andre Malraux.
Kesetiaan Berkarya Bagi pengarang sastra Jawa untuk meraih predikat sastrawan tidaklah mudah. Butuh waktu puluhan tahun untuk terus berkarya tanpa henti. Dengan ketelatenan dan kesabaran luar biasa. J.F.X. Hoery, 79, dan Suharmono Kasiyun, 71, yang mendapat penghargaan kategori 50 tahun, menuturkan sejak remaja hingga setua ini masih terus berkarya.
Mereka menulis crita cekak (cerita pendek) yang sering disebut cerkak, geguritan (puisi), novel, dan artikel sastra. Bukan sesuatu yang mudah sebuah karya sastra bisa dimuat di media berbahasa Jawa pada 1970-1980-an.
Arswendo Atmowiloto dan Suripan Sadi Hutomo yang kampiun saja bisa dipelonco habis oleh seorang redaktur majalah Panjebar Semangat bernama W. Santosa. Apabila karya dipermak habis-habisan saja masih beruntung.
Kebanyakan tulisan ditolak dan masih diimbuhi kata-kata yang menyodok ulu hati pada rubrik Wangsulan Redaksi yang termuat di majalah tersebut. Otomatis dibaca banyak orang. Itulah perjuangan panjang menjadi seorang yang mendapat predikat sastrawan.
Samuel Beckett harus “bersimpuh” terlebih dahulu di kaki James Joyce di Irlandia untuk mendapatkan pengakuan sebagai sastrawan Irlandia. Semula dia merasa putus asa karena yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba.
Setelah mengalahkan keputusasaan, kebosanan, kesedihan, kemarahan akhirnya penulis drama Waiting for Godot itu tak hanya terkenal di Irlandia, tapi juga dikenal di dunia Barat, bahkan di seluruh dunia, walaupun dia tetap butuh seorang mentor.
James Joyce itulah sang mentor yang mendukung agar karya-karya Beckett diterbitkan (lihat: Deidre Bair, Samuel Beckett: A Biography, 1980). Jean-Paul Sartre barangkali batal menjadi sastrawan dunia alias mutung andaikan karya drama tahun 1943 bejudul Les Mouches (Lalat-lalat) tak jadi dipentaskan.
Dia mengaku apabila novel pertamanya, La Nausee (Rasa Mual), tak diterbitkan dirinya tak terlalu kecewa, tapi tidak untuk naskah drama itu. Ia memang kadung cinta setengah mati pada dunia drama (Jean-Paul Sartre: Sartre on Theatre, 1976).
Alhasil, tanpa kesetiaan dan kerelaan berdarah-darah, tak bakal ada sastrawan Jawa kondang seperti Suparto Brata, Esmiet, Tamsir A.S., Tiwiek S.A., Iesmaniasita. Djajus Pete, Sri Setya Rahayu, Poer Adhie Prawoto dalam sejarah sastra Jawa.
Mereka yang saya sebut itu sudah tidur dalam keabadian namun karya-karya mereka masih bisa dibaca hingga sekarang. Banyak orang mencoba menulis karya sastra dalam bahasa Jawa. Ada satu dua yang dimuat oleh media, tapi yang betah dan tidak mutungan hingga akhir hayat memang tidak banyak.
Kesetiaan itu, menurut versi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus ditunjukkan secara nyata dengan bukti karya pertama, kemudian dari tahun ke tahun selanjutnya (dengan jeda yang terukur) hingga karya tahun ini.
Sungguh persyaratan yang detail dan rumit, yang tak semua pengarang sanggup membuktikan, meskipun benar telah mengarang 40 tahu atau 50 tahun. Sepantasnyalah mereka yang lolos seleksi menerima penghargaan.
Kiranya juga tak perlu dibilang jemawa apabila, sebagaimana Rendra, mereka—termasuk saya—juga mengatakan,”Sekarang saya ambil hadiahnya. Dan saya akan kembali berkarya.”
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Juli2024. Penulis adalah sastrawan, esais, dan pengasuh Majalah Sastra Jawa Kinasih)