Esposin, SOLO – Pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada akhir 2024 kurang dari tiga bulan lagi, tepatnya pada 27 November mendatang. Di tengah dinamika maupun drama selama proses pilkada sejauh ini, ada satu hal yang menyita perhatian saya.
Banyak pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah memakai simbol-simbol wong cilik saat mereka mendaftar di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di wilayah masing-masing sebagi kontestan dalam pemilihan pemimpin daerah tersebut.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Beragam cara serta perwujudan wong cilik diusung pada saat pendaftaran tersebut, entah itu sesuai kehendak pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah maupun dengan alasan permintaan rakyat.
Moda transportasi becak, andong, gerobak sapi, bemo, atau apalah alat transportasi tradisional yang terdapat di suatu daerah dimanfaatkan para pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah saat mendaftar di KPU.
Mereka bersuara nyaring dengan menyatakan itu (alat transportasi tradisional) adalah simbol wong cilik yang butuh perhatian. Saat mencari dukungan, para calon pemimpin daerah itu sengaja ngleset (duduk selonjor) di lantai tanah serta mengonsumsi makanan warga yang mungkin bertolak belakang dengan setelan lidah mereka.
Semua itu hanya demi menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari wong cilik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, wong cilik diartikan sebagai rakyat jelata. Sedangkan rakyat jelata itu sendiri dimaknai sebagai rakyat biasa (bukan bangsawan, bukan hartawan) atau orang kebanyakan.
Di dunia pewayangan, khususnya wayang kulit, wong cilik digambarkan dalam wujud Punakawan yaitu Semar beserta tiga anak laki-lakinya, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dalam kehidupan masyarakat Jawa, Punakawan ini dimaknai sebagai wong cilik yang selalu tanggap terhadap situasi dan kondisi negara mereka.
Saat negara sedang kesulitan mereka tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu tanah tumpah darah mereka. Pada saat negara makmur, mereka tak pernah menuntut apa pun sebagai imbal balik atas jasa-jasa yang telah diberikan.
Mereka itu nrima ing pandum. Penerimaan secara penuh terhadap kejadian masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Punakawan selalu berpadu dengan Pandawa. Hubungan Punakawan dan Pandawa sebagai atasan mereka adalah sebuah jalinan komunikasi yang serasi.
Punakawan sebagai wong cilik biasa dan diperkenankan memberikan masukan-masukan sebagai energi positif Pandawa dalam mengelola tata pemerintahan. Pandawa selalu menyerap aspirasi Punakawan, nasihat baik akan diterima meski status mereka adalah wong cilik, bukan wakil rakyat yang duduk di kursi parlemen.
Di Indonesia, wong cilik selalu menjadi pembahasan utama dalam setiap pilkada. Mereka ini objek yang selalu dimunculkan saat dibutuhkan. Banyak wong cilik yang tak mengetahui bahwa mereka menjadi rebutan para calon pemimpin dalam persaingan di pilkada.
Wong cilik terlalu sibuk dengan kesulitan mereka. Petani kecil sibuk mencari pupuk yang susah didapat. Pedagang kecil juga repot menjajakan dagangan di tengah harga kebutuhan yang tak menentu.
Para buruh diselimuti rasa waswas karena sewaktu-waktu bisa saja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Hubungan pemimpin dengan wong cilik setidaknya bisa mencontoh kisah kedekatan Pandawa dengan Punakawan dalam alur cerita pewayangan.
Menjadi pemimpin bagi wong cilik tak harus menjadi wong cilik itu sendiri karena tidak semua orang tahan menjalani peran wong cilik. Setidaknya, jadilah pemimpin yang mengerti, memahami, dan memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi wong cilik.
Jangan sampai wong cilik hanya dijadikan simbol atau sekadar slogan yang selalu menggema di setiap pilkada. Bagi sebagian calon pemimpin dalam kontestasi pilkada, bisa saja hanya perasaan senang yang dia alami sebagai pemberhentian terakhir dari dukungan wong cilik.
Dalam kenyataannya setelah memenangi kontestasi pilkada dan menjabat sebagai kepala daerah, mereka lupa atau sengaja lupa atas semua janji yang diobral kepada wong cilik.
Keberadaan wong cilik sudah semestinya menggugah kesadaran para calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tentang amanah dan kepercayaan yang harus dijaga, dirawat, dan akhirnya dipertanggungjawabkan. Selamat berkontestasi, para calon kepala daerah...
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 10 September 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)