Esposin, SOLO – Literasi pangan adalah kecakapan mengidentifikasi bahan makanan, mengolah, menyajikan, serta memanfaatkan pengetahuan tentang bahan makanan dan minuman bagi kehidupan. Literasi pangan sehat perlu disampaikan secara serius kepada anak-anak di sekolah dan di rumah.
Pendidik di sekolah dan orang tua di rumah wajib melatih dan mendidik anak-anak tentang pentingnya makanan dan dampaknya terhadap kehidupan. Banyak ahli nutrisi mengatakan kesehatan jasmani, kecerdasan otak, dan aspek emosional anak sangat dipengaruhi makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari.
Promosi BRI Dampingi Petani Jeruk Semboro di Jember Terapkan Pertanian Berkelanjutan
Pendidikan pangan yang dimaksudkan di sini mungkin tidak membantu meningkatkan produktivitas pangan, tetapi membantu mengurangi limbah makanan. Pendidikan pangan membantu generasi berikutnya belajar menghormati dan menghargai makanan, menghilangkan limbah, dan berkontribusi terhadap masalah pangan global.
Masalah besar yang mengemuka adalah kurangnya literasi pangan saat anak-anak selalu berpikiran makan di rumah dan sekolah. Di rumah dan lingkungan kampung, anak-anak mengetahui warung atau toko yang menjual makanan.
Di jalan-jalan kampung atau desa banyak pedagang makanan dan minuman keliling yang sangat menggoda. Kekhawatiran kita adalah mereka hanya memahami nilai dan guna uang serta jumlah makanan yang bisa dibeli.
Banyk hal yang seharusnya dipelajari. Di rumah, pengajaran masalah pangan mungkin terbatas. Akibatnya, anak-anak hanya mengerti enak, lezat, dan ketagihan makanan dan minuman kegemaran.
Di sekolah, masalah makin bertambah. Anak-anak yang memiliki uang saku berambisi ingin membeli beberapa jajanan. Mereka jarang berpikir serius tentang pangan yang sehat. Yang terjadi adalah jajan demi kenikmatan dan kebersamaan.
Akibat-akibat dirasakan belakangan. Sekolah ternyata bukan hanya tempat belajar. Di dalam dan luar sekolah, keberadaan pedagang atau penjual makanan ikut andil dalam pengabaian atau keseriusan literasi pangan.
Kita sebenarnya dapat belajar dari banyak sumber mengenai literasi pangan untuk dibahas atau disampaikan kepada anak-anak. Surono Danu, ketika menerima penghargaan Svarna Bhumi Award 2023, mengatakan apabila manusia Indonesia menyisakan satu butir nasi dalam satu piring sama artinya manusia Indonesia menyisakan satu butir beras.
Satu gram beras terdiri 50 butir. Satu kilogram beras terdisi 50.000 butir. Apabila penduduk Indonesia menyisakan satu butir beras, itu sama saja dalam sekali makan empat ton beras dibuang. Kemudian, apabila dua kali makan, maka delapan ton yang dibuang.
Jika dihitung satu bulan berarti 240 ton terbuang. Secara tersirat Surono Danu ingin menyimpulkan bahwa di Indonesia begitu banyak makanan yang terbuang. Kenyataan yang disampaikan Surono Danu menjadi penting untuk direnungkan.
Makan di sekolah erat kaitannya dengan bekal makanan dari rumah, program katering sekolah, dan jajanan di kantin. Jika kita cermati, sekolah-sekolah swasta di Kota Solo banyak yang menawarkan makanan lewat jasa katering yang bekerja sama dengan sekolah.
Tawaran tersebut telah memikat hati sebagian ibu untuk mengikuti program katering harian untuk anak ketimbang menyiapkan bekal makanan buatan sendiri dari rumah. Para ibu beralasan kekurangan waktu untuk menyiapkan bekal.
Itulah yang menyebabkan para ibu mengikutsertakan anak dalam program katering. Masalah yang biasa muncul ketika anak makan yaitu penghormatan terhadap makanan. Kita melihat banyak anak yang kini menghindari sayuran dalam menu makanan.
Anak-anak lebih memilih mi instan ketimbang sayur yang berkuah. Biasanya anak-anak akan menyisihkan makanan yang tidak mereka gemari. Anak-anak belum sadar bahwa tubuh memerlukan nutrisi yang terkandung dalam sayuran. Selain itu, literasi pangan anak-anak memang masih minim.
Guru dan orang tua perlu menyadarkan anak-anak untuk menghormati dan menghargai makanan. Kita harus selalu mengingatkan bahwa ternyata banyak orang yang berperan pada seporsi makanan.
Kita bisa meyebut jerih payah petani padi, pekerja penggilingan padi, pedagang beras, pedagang sayur, petani gandum, pengolah gandum menjadi tepung terigu, petani garam, pembuat wajan dan sotil, petani kedelai, petani seledri, dan lain-lain untuk seporsi makanan kita.
Nah, di sinilah peran literasi pangan. Literasi pangan yang berpusat pada anak hendaknya mendorong anak-anak umenjelajahi dunia dengan memahami dan menghormati makanan, proses yang terlibat, nutrisi, dan budaya.
Pendidikan pangan di Jepang diajarkan dengan menggunakan konsep pola makan, keamanan pangan, tata krama makan, dan budaya pola makan. Siswa perlu merancang resep, menyiapkan sarapan untuk keluarga mereka, dan belajar tentang bahan-bahan tidak sehat dalam junk food melalui eksperimen kimia.
Kita harus percaya bahwa pendidikan pangan adalah pendidikan kehidupan. Dengan demikian, literasi pangan akan sampai puncaknya, yaitu menghargai lingkungan sebagai sumber makanan dan menumbuhkan rasa syukur atas karunia Tuhan berupa alam tempat hidup manusia.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Juli 2024. Penulis adalah guru SD Al Islam 2 Jamsaren, Kota Solo)