Esposin, SOLO – Pada 8 Desember 2023, sidang paripurna Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) menggambarkan momen penting dalam kalendar ilmiah Indonesia. Bertempat di Wisma Kerkhoven, Observatorium Bosscha, beberapa ilmuwan muda berkumpul membahas sejumlah agenda dan program kerja.
Prof. Jatna Supratna, sebagai narasumber kunci, menyoroti pentingnya kemandirian ilmuwan dan strategi pendanaan yang lebih kuat untuk memajukan riset dan kolaborasi.
Promosi Melalui Pemberdayaan, BRI Angkat Potensi Klaster Buah Kelengkeng di Tuban
Dalam perspektifnya, kemandirian ilmuwan bukan hanya soal pengetahuan teknis, tetapi juga kemampuan berkomunikasi dan merangkul kerja sama lintas disiplin. Ia menekankan perlunya ilmuwan menjadi advokat efektif.
Ilmuwan harus meyakinkan pemangku kepentingan tentang dampak positif riset mereka terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, masyarakat, dan pendidikan di Indonesia. Keterampilan menerjemahkan sains menjadi kebijakan menjadi kunci dalam menyuarakan relevansi riset ilmiah dalam konteks nyata.
Pada hari kedua, Kongres Ilmuwan Muda Indonesia Ke-2 di Design Centre Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung menjadi panggung bagi pemikiran mendalam Prof. Daniel Murdiyarso, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Dalam presentasi tentang Climate Crisis: Vulnerability of Food and Health Systems, Daniel memerinci dampak krisis iklim terhadap sektor pertanian dan energi. Transformative research di bidang pangan, energi, dan lingkungan dianggap krusial untuk mencapai target nol emisi pada 2060.
Kesadaran tentang perubahan iklim juga menggugah tindakan terkait deforestrasi di Indonesia, yang menduduki peringkat ketujuh dunia dalam emisi CO2. Perluasan program energi baru dan terbarukan (EBT) dengan teknologi ramah lingkungan menjadi fokus untuk menurunkan dampak negatif tersebut.
Perubahan iklim juga dapat dilihat dari perspektif kebudayaan dan seni tradisi. Kongres menyoroti upaya masyarakat lokal mempertahankan lingkungan dan seni tradisi mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari eksistensi diri dan daya hidup.
Sebagai contoh, banyak desa di pedalaman Jawa memiliki tradisi menyelenggarakan upacara tahunan di sekitar sendang (mata air). Upacara ini—biasa disebut bersih desa—tidak hanya merayakan keberlanjutan (menjaga) sumber air, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual antara manusia dan alam.
Tekanan dari industri dan ekonomi menyebabkan lahan sekitar sendang tersebut digusur untuk proyek pengembangan. Ini mengakibatkan sendang kehilangan kekhususan ritual dan masyarakat dihadapkan pada masalah kekeringan serius.
Studi kasus ini mencerminkan kompleksitas tantangan yang dihadapi masyarakat dalam menjaga kesakralan alam mereka di tengah arus modernisasi yang tak terelakkan.
Ironisnya, praktik-praktik ini semakin terancam oleh dorongan kapitalisme yang memandang kebudayaan dan tradisi menjaga lingkungan sebagai hambatan bagi kepentingan ekonomi.
Harus diakui bahwa kapitalisme dan oligarki sering kali menjadi ancaman serius terhadap upaya melestarikan alam dalam perspektif kebudayaan. Ketika kepentingan ekonomi menonjol, sering kali hutan ditebang dan sumber air dikorbankan.
Di samping itu, ritual-ritual tradisional dianggap klenik atau usang oleh pihak yang berorientasi pada keuntungan materi. Ini menyebabkan tergerusnya nilai sakralitas yang melekat pada sumber daya alam dan merugikan keseimbangan ekologi.
Dalam menghadapi persoalan ini, ilmuwan perlu melibatkan diri tidak hanya berupaya menerapkan temuan mereka di tengah masyarakat, tetapi juga memahami kerangka pikir masyarakat sebagai subjek aktif.
Dengan cara ini, ilmuwan dapat memastikan bahwa riset mereka tidak hanya bermanfaat secara teknis, tetapi juga memperkuat hubungan antara manusia, alam, dan spiritualitas.
Kompleks
Ilmuwan tidak hanya bertanggung jawab mengembangkan temuan ilmiah secara teknis, tetapi juga perlu memahami secara mendalam pola pikir dan nilai-nilai masyarakat lokal.Harus diakui bahwa setiap komunitas memiliki kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang dapat memberikan wawasan berharga terkait dengan kelestarian lingkungan.
Sebagai upaya memastikan temuan keilmuan dapat diaplikasikan dengan efektif, ilmuwan perlu berperan sebagai fasilitator penghubung antara ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Mereka harus mampu menjembatani divisi antara dunia ilmiah dan realitas sehari-hari masyarakat (sering kali bertabur keyakinan yang transendental). Ini mendorong keterlibatan aktif dan dialog yang berkelanjutan antara ilmuwan dan komunitas lokal. Ironisnya, terdapat kendala dalam mencapai hal tersebut.
Kendala utama adalah kurangnya waktu dan sumber daya. Dalam lingkungan riset yang dipacu oleh tenggat waktu dan tekanan publikasi, upaya membangun hubungan kuat dengan masyarakat sering terabaikan.
Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengakui pentingnya keterlibatan ilmuwan dengan masyarakat sebagai bagian integral dari proses penelitian. Selain itu, perlu insentif dan apresiasi lebih lanjut bagi ilmuwan yang berhasil menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat lokal.
Ini dapat mencakup penilaian kinerja serta mempertimbangkan kontribusi mereka dalam memberikan solusi relevan dan berkelanjutan untuk masalah lingkungan yang dihadapi komunitas lokal. Dengan cara ini, ilmuwan akan merasa didorong untuk lebih berkomitmen terhadap dialog dan keterlibatan aktif dengan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan kompleks ini perlu pendekatan yang bersifat inklusif dan partisipatif. Ilmuwan harus bersedia mendengarkan dan belajar dari masyarakat lokal serta mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam penelitian mereka.
Poin terakhir itu sangat penting. Ini tidak hanya memastikan relevansi temuan ilmiah, tetapi juga menghormati keberagaman pengetahuan dan budaya di Indonesia. Seiring dengan keterlibatan ilmuwan dalam menghadapi tantangan pelestarian lingkungan dan alam, perubahan iklim menjadi salah satu aspek kritis yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Perubahan iklim tidak hanya memengaruhi ekosistem global, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat lokal, khususnya dalam konteks hilangnya hutan dan mata air. Masyarakat lokal, terutama yang tinggal di sekitar hutan dan sumber air, sering menjadi pihak yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
Mereka mengalami perubahan pola curah hujan, suhu, dan musim yang dapat mengancam keberlanjutan sumber daya alam yang mereka andalkan. Hubungan antara perubahan iklim, masyarakat lokal, hutan, dan sumber air menjadi sangat kompleks.
Ilmuwan, sebagai mediator antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal, dapat membantu menyusun strategi adaptasi dan mitigasi yang mempertimbangkan kebutuhan serta nilai-nilai masyarakat setempat.
Keterlibatan aktif ilmuwan dalam memahami dinamika ekologi, budaya, dan sosial masyarakat lokal menjadi kunci untuk mengembangkan solusi berkelanjutan dan lebih penting lagi: berkebudayaan (ramah secara budaya).
Urgensi peran ilmuwan dalam konteks ini tidak hanya terletak pada pemahaman teknis mengenai perubahan iklim, tetapi juga pada kemampuan mereka memfasilitasi kolaborasi dan dialog antara berbagai pihak.
Melalui kerja sama yang erat dengan masyarakat lokal, ilmuwan dapat membantu menciptakan solusi yang tidak hanya efektif secara ilmiah (apalagi kepentingan publikasi semata), tetapi juga terintegrasi dengan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, ilmuwan dapat berperan sebagai agen perubahan yang mendukung kesejahteraan masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan iklim yang semakin nyata. Oleh karena itu, mengakui peran masyarakat sebagai subjek dalam penelitian ilmiah menjadi pondasi penting untuk menciptakan dampak positif dalam menghadapi kompleksitas tantangan lingkungan di Indonesia.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 Desember 2023. Penulis adalah etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) 2023)