Esposin, SOLO – Imam al-Ghazali menyebut man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Sebuah tindakan yang memenuhi syarat formal untuk suatu tujuan tertentu. Syair ini langsung muncul di benak saya usai menyaksikan film dokumenter I Am: Celine Dion (2024).
Film ini mengisahkan Celine Dion, penyanyi asal Kanada, melawan penyakit stiff person syndrome. Celine Dion mengidap stiff person syndrome—penyakit orang kaku—kali pertama pada Desember 2023.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Penyakit ini bisa menyebabkan otot kaku pada batang tubuh, lengan, dan kaki. Walhasil, dia terpaksa menunda sisa rencana pertunjukkan di Kanada. Sejak saat itu, dia mulai berobat agar sembuh dari penyakit dan karenanya jadi tahu.
Ada yang tidak dia kenali di balik penyakit tersebut, yaitu dokter belum bisa menyembuhkan stiff person syndrome karena belum ada obatnya sampai sekarang. Perawatan medis, untuk saat ini, sebatas meringankan gejala.
Jika tidak segera ditangani, sang penyanyi tentu akan menerima kematian secara mendadak. Realitas dokter atau rumah sakit belum punya obat untuk penyakit ini sudah menjadi rahasia umum.
Di dunia kedokteran tidak dibutuhkan obat atau keterampilan penyembuhan, terutama jenis penyakit langka, yang dibutuhkan adalah cinta diri sendiri.
Dalam konteks kasus Celine Dion ini, mudah untuk melihat ke-tahu-an dan kepatuhan yang dilakukan. Dalam banyak konteks lain, ke-tahu-an dokter hanya bisa dirasakan, tetapi kurang atau tanpa bisa dibuktikan secara materiil karena manipulasi canggih dalam otak kita.
Dalam konteks politik, konspirasi dan keberlangsungan hidup manusia lebih tak terasa lagi. Misalnya kasus anak muda depresi dan ingin mengakhiri hidup setiap tahun yang menimbulkan keresahan para orang tua.
Orang tua merespons dengan cepat karena takut anaknya juga mengalami ganguan psikologis yang sama. Walhasil, publik kerap mendatangi “orang pintar” untuk penyembuhan penyakit, bahkan mereka berkonsultasi kepada psikiater terdekat.
Contoh lainnya adalah kritik sebagian akademikus terhadap Menteri Kesehatan tentang impor dokter spesialis. Klaim bahwa pemerintah telah menjalankan dialog dengan dokter spesialis dari luar negeri dikritik karena dialog memang dilakukan, tetapi tidak menyertakan akademikus-akademikus kritis.
Bener sudah berdialog, (meminjam kalimat Alissa Wahid) tetapi ora pener terkait siapa yang dilibatkan. Manipulasi di dunia bukan hal yang baru, sebagaimana dirumuskan Plato bahwa kenikmatan menumbuhkan sikap menghalalkan segala cara.
Keinginan mendapat nikmat terkadang memicu ambisi yang berlebihan, bahkan seseorang menghilangkan akal agar mereka menghidupi hasrat di dalam hatinya.
Dalam buku Filsafat Kebahagiaan (2023), Fahruddin Faiz menuliskan bahwa aktor pemicu kenikmatan adalah eros. Eros ini menawarkan kebutuhan biologis manusia, seperti makan dan kawin—untuk tidak menyebut seks.
Penawaran cukup lezat ini berpeluang mengubah keyakinan, sikap, dan perilaku manusia. Semua hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pemaksaan atau tekanan mental, tetapi pada dasarnya melanggar nilai-nilai dasar manusia demi kepuasaan pribadi dan kelompoknya.
Malangnya bagi anak muda, manipulasi seperti ini sulit untuk dibuktikan secara materiil di hadapan hukum. Film I Am: Celine Dion menyintesis berbagai indikasi pelanggaran dalam ilmu kedokteran dan menyimpulkan ada penyiapan manipulasi besar-besaran, tetapi Celine Dion menganggap sindrom orang kaku diciptakan untuk dilawan, bukan direnungkan.
Paling jauh, kita hanya bisa puas menghukuminya dengan istilah pelanggaran etik. Salah satu contoh epik di Indonesia adalah pada kasus penangkapan Pegi atas kematian Vina.
Ini juga tampak dalam lanskap global. Dalam dua dasawarsa terakhir diwarnai dengan kecemasan kalangan anak muda menyaksikan oknum-oknum memanipulasi mereka demi meraih rupiah.
Uang menjadi alat untuk memarginalisasi kaidah dasar manusia, yaitu hidup rukun dan saling membantu. Berbagai kejadian justru bermunculan mengancam kerukunan hidup atau hak individu.
Manipulasi uang menyebabkan chaos (kehancuran) ketika susah dikenali. Demikianlah, karena kecanggihan manipulasi sehingga secara formal tampak kenal, maka pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak dapat dihakimi.
Kondisi yang sebenarnya dikenali akan menang melawan ke-tahu-an yang hakiki. Di antara sekian ancaman terhadap manusia, manipulasi media menjadi ancaman paling berat untuk dihadapi karena sifat kenal tanpa tahu ini.
Lalu, bagaimana kita akan mengatasi, untuk menghindari manipulasi media (meminjam tulisan Butet Kartaredjasa) menjadi biasa, padahal tidak biasa?
Pada saat-saat seperti ini kita hanya bisa berharap kepada akademikus yang kritis (yang jumlahnya semakin menyusut), Celine Dion, dan terutama kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tuhan akan mudah dikenali jika manusia mengetahui. Sebaliknya manusia tidak mengenal Tuhan jika mereka tidak mengenal dirinya sendiri.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 Agustus 2024. Penulis adalah mahasiswa Universitas Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur)