Di salah satu episode drama Korea Selatan berjudul Hospital Playlist (Shin Won-ho, 2020), ditampilkan beberapa dokter residensi atau koas tengah bergosip tentang dokter spesialis pediatri.
Dokter yang digisipkan ini tidak hanya sederhana dalam hal karakter, tapi juga berdedikasi dalam pekerjaan. Saking sederhananya, sampai-sampai empat teman terdekat sejak kuliah pun tidak ada yang tahu bahwa dokter spesialis pediatri itu adalah anak pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja.
Promosi 2,6 juta Pelaku UMKM Dapatkan Akses Pembiayaan KUR BRI di Sepanjang 2024
Segala bentuk kualitas diri yang membuat takjub ini disimpulkan teman sejawatnya dengan “tidak materialistis”. Saya masih begitu ingat ekspresi salah seorang dokter koas, antara kagum sekaligus agak kesal bahwa di dunia yang keras ini ada orang yang begitu sempurna.
Frasa ”tidak materialistis” memang tepat meski agak berlebihan! Bagaimana mungkin seseorang dengan personalitas yang sederhana, profesi berkualitas, sekaligus finansial mapan, masih sempat berpikir menjadi materialistis?
Kemapanan tersembunyi, samar-samar, dan misterius adalah syarat kesederhanaan menjadi lebih wah dan justru menonjol. Orang-orang sering menyebut low profile untuk orang yang punya banyak keunggulan, tapi tidak ingin menjadi pusat perhatian sekalipun kesederhanaan dalam bentuk apa pun justru gampang memantik sorotan.
Di drama, cerita fiksi, atau folklor, betapa sering kesederhanaan dijadikan tolok ukur keunggulan karakter. Betapa sering orang kaya ditampilkan menyamar menjadi orang biasa (dan orang biasa sering digambarkan tidak kaya) demi bisa berbaur dengan kehidupan normal atau mengejar cinta sejati.
Raja atau putri kerajaan yang sederhana dan tidak sombong akan selalu mendapat karma baik alih-alih penguasa congkak atau putri yang bermewah-mewah. Nasib tragis selalu menanti penguasa congkak dan putri yang bermewah-mewah pada akhir hayat.
Kisah semacam ini masih terus dilahirkan kembali sebagai teladan, mempertebal keyakinan bahwa di dunia nyata kita hari ini sederhana itu memang langka dan khusus adanya.
Maka, kita begitu marah. Kemarahan bersifat nasional dan masif ketika anak sekaligus menantu orang penting di Indonesia yang konon katanya sederhana, tapi kini sedang dipertanyakan kembali kesederhanaannya, melalui media sosial pamer naik jet pribadi ke Amerika Serikat, flexing roti seharga Rp400.000, dan berbelanja stroller puluhan juta di tengah situasi bangsa yang awut-awutan.
Dalam hitungan jam saja, dua orang sanggup menghabiskan bejibun uang untuk sesuatu yang primer; makan, bertransportasi, dan membeli kebutuhan bayi. Benar-benar tindakan mencederai kebanyakan rakyat Indonesia yang, bahkan, untuk memenuhi kebutuhan paling primer sekalipun masih berdarah-darah.
Ingat salah satu poster yang diusung para pengunjuk rasa dalam aksi mengawal putusan Mahkamah Konstitusi pada Agustus 2024, ”Mba Er … rotimu yang 400 ribu itu gaji guru honorer sebulan!!!”
Sikap, Gaya, Status
Publik juga langsung membandingkan si menantu dengan ratu terakhir Prancis, Marie Antoinette, yang diganjar hukuman penggal kepala karena kejahatan kemewahannya.
Sebaliknya, kita juga merasakan sukacita dan damai berskala nasional ketika Paus Fransiskus datang di Indonesia dalam rangka perjalanan apostolik ke kawasan Asia Tenggara.
Bukan hanya karena peran sebagai pemimpin agama yang besar, namun di balik kebesaran itulah justru kesederhanaan yang terlihat; perjalanan menggunakan pesawat komersial alih-alih jet pribadi, berkendara mobil yang lebih sederhana daripada mobil pengawalan, dan duduk di samping sopir.
Paus Fransiskus mengenakan jam tangan yang diperkirakan merek Casio dan sepatu hitam alih-alih sepatu merah khas kepausan. Ini baru tentang kebendaan, belum soal bersikap.
Lagi-lagi, hal-hal biasa menjadi begitu menakjubkan karena kesederhaan semakin tidak biasa di sekitar kita. Tentu ini bukanlah bentuk kesederhanaan musiman, apalagi berpura-pura seperti yang biasanya diterapkan para calon pejabat dalam program kampanye—berpura-pura mengenakan pakaian biasa, mengunjungi permukiman kumuh, atau meninjau lokasi bencana.
Kepura-puraan ini akan segera ketahuan. Mereka mengira berpura-pura sederhana itu mudah, sama halnya dengan berpura-pura mewah. Kepura-puraan akan segera ketahuan karena sekadar jadi gaya atau bukan kenyataan hidup—jika ukuran kesederhanaan cenderung dilihat dari materiel.
Film Orang Kaya Baru (Ody Harahap, 2019) dengan agak humoris menggambarkan hal di atas. Sebuah keluarga yang terbiasa hidup pas-pasan, tiba-tiba mendapat warisan kekayaan tidak terduga setelah sang bapak meninggal.
Warisan diberikan bertahap dan untuk mencairkan warisan tahap berikutnya mereka harus menghabiskan warisan pada tahap sebelumnya. Tentu saja keluarga itu segera bertingkah menjadi orang kaya baru; membeli mobil, pindah ke rumah gedongan, menyewa jasa asisten rumah tangga, dan mengisi rumah dengan segala barang.
Intinya membeli-memiliki memewahan apa pun yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan hanya untuk memperoleh setiap tahapan warisan. Mereka dulu bahagia dengan kenyataan hidup, sekarang berpura-pura kaya meski kacau dan tidak bahagia.
Salah satu hal sederhana yang hilang dan menjadi amat mewah adalah makan bersama di meja makan. Jika kemewahan bukanlah ukuran, tentu kekayaan tidak akan mengubah laku sehari-hari berkeluarga.
Tidak peduli apakah seseorang itu kaya atau miskin, sederhana adalah bagian dari sikap hidup. Sekarang orang-orang cenderung menilai bahwa ukuran nilai seseorang bersesuaian dengan materiel, seperti kejadian dialami oleh mantan presenter Adrian Maulana.
Ia sering berbagi keasyikan naik transportasi umum untuk mobilitas sehari-hari di media sosial. Ternyata ada saja warganet yang judes dan mengejek dia sebagai “artis kere”. Ejekan dibalas Adrian Maulana dengan santai, “Kaya itu status. Sederhana itu sikap hidup.”
Untuk sikap yang membentuk kualitas, hanya diri sendirilah penentu ukurannya. Kemewahan tidak bisa benar-benar disebut kejahatan, seperti pembunuhan atau perampokan.
Ia berada di level berbeda sekalipun untuk kasus tertentu, kemewahan berujung pada kejahatan lainnya, misalnya korupsi atau penipuan.
Kita mungkin hanya bisa menyebut orang-orang yang tega pamer kemewahan dengan sebutan catat moral atau tidak beretika dan cenderung mengandalkan sanksi sosial untuk mendorong pertobatan.
Jika pertobatan berkesadaran itu gagal, minimal biarkan rasa malu atau perasaan bersalah yang bekerja.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 September 2024. Penulis adalah esais dan penekun sastra anak)