Esai karya Ari Susilowati berjudul Anatomi Literasi yang terbit di Solopos edisi 19 September 2024 adalah impresi penting bagi keniscayaan membangun budaya membaca buku apabila bangsa ini ingin menjadi bangsa besar.
Ia memberikan landasan ilmiah dari sudut pandang biologi tentang urgensi membangun budaya membaca buku. Penelitian Ari yang berstatus mahasiswa Program Doktor Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada dengan fokus memori, anatomi, dan pembelajaran menunjukkan individu yang sering membaca buku sepanjang hidup cenderung memiliki fungsi kognitif yang lebih baik dan risiko penurunan kognitif yang lebih rendah seiring bertambahnya usia.
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Ketika kita membaca buku berisi cerita tentang karakter dan pengalaman seseorang, otak sering menyimulasikan pengalaman tersebut seolah-olah kita sendiri yang menjalani. Fenomena ini disebabkan mirror neuron, sel otak khusus yang aktif saat melakukan suatu tindakan dan saat mengamati orang lain melakukan tindakan yang sama.
Membaca dapat membangkitkan empati, resonansi emosional, dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap sudut pandang orang lain. Membenamkan diri dalam aktivitas membaca buku dapat memberikan efek menenangkan pada otak serta mengurangi tingkat stres dan kecemasan.
Selama tiga hari pada pekan lalu saya menyelesaikan pembacaan secara detail buku Seni dan Kondisi Post-Human karya Bambang Sugiharto dan kawan-kawan terbitan Kanisius cetakan I tahun 2024.
Setelah membaca buku itu dan esai Ari, saya meyakini budaya membaca buku adalah penyeimbang paling efektif terhadap dampak buruk teknolog digital yang juga menawarkan aneka kemudahan.
Dalam konteks komunikasi dan persebaran informasi, kemudahan-kemudahan yang ditawarkan teknologi digital mendorong banyak orang meninggalkan kedalaman makna. Makin banyak orang yang merasa cukup dengan segala permukaan.
Tahu serbasedikit, tapi banyak hal, menjadi gejala umum. Memaknai secara mendalam, memahami secara komprehensif, dianggap ketinggalan informasi karena menisayakan hanya tahu sedikit hal.
Memaknai secara mendalam dan komprehensif tentu meniscayakan waktu yang tak cuma sekejap. Kini kehidupan manusia makin dikuasai dan dikendalikan teknologi digital yang merupakan perpaduan infotek, nanotek, dan biotek.
Teknologi (digital) bukan semata-mata entitas atau barang di luar tubuh manusia. Teknologi nano, rekayasa genetika, dan kecerdasan tiruan atau artificial intelligence, aneka aplikasi, implan, dan lain sebagainya makin menjadi bagian intrinsik tubuh manusia.
Kesadaran, perilaku, dan tubuh manusia ”dibajak” teknologi melalui mahadata atau bigdata dan algoritma. Ketergantungan manusia pada teknologi—yang memang lebih pintar, objektif, dapat diandalkan—makin kuat.
Dalam kondisi demikian, dalam pemaknaan saya, makin penting mengembangkan kesadaran dan kecerdasan eksistensial manusiawi yang khas. Kecerdasan ini—yang bisa dibangun dengan sangat baik lewat budaya membaca buku—telah melahirkan tendensi post-digital.
Ini adalah tendensi mempertahankan kemanusiaan yang berhadap-hadapan dengan teknologi digital. Kecerdasan eksistensial manusia mengandung beberapa hal yang khas manusia, yaitu konteks makna yang selalu ambigu, motivasi yang sering kali tak tertebak, imajinasi yang tanpa batas, kekayaan pengalaman pribadi yang unik, selera yang spesifik, dan ikatan empatis-etis antarindividu.
Menurut Bambang Sugiharto dan kawan-kawan dalam buku Seni dan Kondisi Post-Human, kala berhadap-hadapan dengan teknologi digital ada beberapa aspek kecerdasan eksistensial yang dibutuhkan.
Pertama, kemampuan memaknai informasi yang datang bergelombang tiada henti. Kemampuan ini terutama tentang mana yang penting, mana yang tidak penting. Kedua, kemampuan merakit beraneka macam informasi menjadi visi hidup pribadi.
Ketiga, kemampuan melihat lebih jauh daripada data, lebih jauh daripada sekadar keahlian teknis, lebih jauh daripada berbagai idealitas kehidupan yang ditawarkan di pasar, dan lebih jauh daripada realitas.
Ini adalah kemampuan beyond data, beyond expertise, beyond the ideal, dan beyond the given. Itu semua tak lain perkara pengembangan jiwa, pemahaman melalui pengalaman, refleksi kritis, dan kreativitas khas manusia.
Inilah penyeimbang dari realitas ruang virtual dan teknologi digital yang makin dominan dalam kinerja dan kiprah manusia. Dunia manusia makin dikelola oleh algoritma bigdata dengan kecerdasan tiruan sedemikian rupa sehingga posisi manusia seolah-olah tersisihkan.
Kondisi demikian meniscayakan kita memikirkan kembali posisi dan peran teknologi digital. Tanpa kesadaran demikian, tanpa kecerdasan eksistensial, kondisi manusia yang seolah-olah tersisihkan bisa benar-benar tersisihkan. Apabila ini yang terjadi, kemanusiaan tentu hilang. Bisa secara pelan-pelan, bisa pula secara lekas.
Makna yang selalu ambigu, motivasi yang sering kali tak tertebak, imajinasi yang tanpa batas, kekayaan pengalaman pribadi yang unik, selera yang spesifik, dan ikatan empatis-etis antarindividu jelas tak dimiliki kecerdasan tiruan. Semua itu hanya dimiliki oleh manusia yang tak kehilangan kemanusiaan.
Kecerdasan eksistensial demikian yang menjadi fondasi negara-bangsa ini. Sejarah mencatat para founding parents negara-bangsa ini adalah orang-orang yang berbudaya membaca buku sangat kuat. Mereka memiliki kecerdasan eksistensial yang autentik pada masing-masing individu.
Presiden dan wakil presiden pertama negeri ini, Bung Karno dan Bung Hatta, adalah pembaca buku yang tekun sekaligus penulis yang artikulatif. Kawan-kawan mereka, yang sejalan secara politik maupun sebagai lawan politik, adalah para pembaca buku dan penulis pula.
Siapa Sutan Sjahrir dan Tan Malaka, yang bersama Bung Karno dan Bung Hatta dikenal sebagai empat serangkai, bisa dikenali hingga masa kini karena riwayat dan gerak langkah mereka yang terdokumentasikan dalam buku-buku. Buku-buku tentang pemikiran mereka yang mereka tulis sendiri atau ditulis orang lain.
Tentu saja Sutan Sjahrir dan Tan Malaka juga pembaca buku yang tekun. Kecerdasan eksistensial mereka yang autentik dan sering menghasilkan diskusi, perdebatan, dan diskursus di antara mereka itulah yang menjadi batu fondasi pembangun negara-bangsa ini.
Karakter pemimpin di tingkat apa pun yang berbudaya membaca dan tidak berbudaya membaca tentu berbeda. Kekuatan kecerdasan eksistensial mereka dengan mudah bisa diketahui perbedaannya. Ungkapan ”ya ndak tahu kok tanya saya” adalah karakter pemimpin dengan kecerdasan eksistensial yang tak berbasis budaya membaca.
Sebentar lagi kita punya presiden yang lahir dan tumbuh di keluarga dengan budaya membaca buku sangat kuat: Prabowo Subianto. Dia juga pembaca buku yang tekun. Apakah kecerdasan eksistensialnya akan memberi warna tersendiri yang membawa negara-bangsa ini menuju kemajuan? Kita lihat saja.
Wakil presiden yang segera dilantik, Gibran Rakabuming Raka, ketika diwawancarai Najwa Shihab yang terdokumentasi dalam sebuah video lama menyatakan tidak suka membaca buku, apalagi buku-buku ”berat”. Publik tahu dia lebih suka mengumpulkan mainan.
Menurut saya, ini tak begitu penting dibahas dalam konteks esai ini. Toh, jabatannya dalam sistem kekuasan di negeri ini tidak penting. Rasanya jauh lebih penting memikirkan banyak jurnalis atau wartawan di negeri ini yang tak suka membaca buku. Ini persoalan serius, sangat serius.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 September 2024. Penulis adalah jurnalis Solopos Media Group)