Solopos, SOLO --"Hari gini masih percaya hantu?" Pernahkah Anda mendengar seseorang mengajukan pertanyaan seperti itu?
Pada era modern, ketika sains dan teknologi makin penting dalam kehidupan, memercayai hal-hal mistis seperti hantu, kuntilanak, genderuwo, dan pocong sering dianggap sebagai tanda ketinggalan zaman.
Promosi Beri Kontribusi Nyata, BRI Peduli Adakan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Benarkah kepercayaan pada hal gaib mencerminkan ketertinggalan kita? Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang yang dikenal maju dan perkembangan ilmu pengetahuannya tinggi, warganya masih banyak yang menyukai hal-hal mistis.
Di Amerika Serikat, Hollywood terus memproduksi film horor seperti The Conjuring, The Nun, dan Annabelle. Kesuksesan film-film ini, yang sering kali melahirkan sekuel karena jumlah penonton yang sangat banyak, menunjukkan bahwa ketertarikan pada tema mistis bukanlah hal yang aneh, bahkan di negara yang sangat maju.
Jepang juga tidak kalah. Industri film horor negeri ini sering menduduki puncak box office. Kondisi menunjukkan bahwa ketertarikan pada hal-hal mistis tidak eksklusif untuk negara yang dianggap terbelakang.
Ketertarikan terhadap hal-hal mistis tidak serta-merta mencerminkan kemunduran atau kekolotan. Kritik yang mengatakan bahwa ketertarikan pada film horor dan hal gaib menghambat kemajuan sering kali tidak mempertimbangkan konteks lebih luas.
Jadi, kalau ada yang bilang bangsa Indonesia tidak maju karena masih percaya hal-hal gaib, saya pikir tidaklah pas. Keliru. Masalah kita ada pada ketidakmampuan berpikir logis.
Kalau kata tidak mampu diangap terlalu merendahkan, bisa juga karena ketidakmauan kita berpikir logis. Memercayai hal gaib bukan berarti tidak logis. Tidak semua hal-hal yang bisa dipecahkan oleh logika disebut tidak logis.
Percaya hal mistis, lebih tepatnya gaib, logis-logis saja. Logika kita saja yang belum bisa menemukan alasan saintifik untuk membuktikan hal-hal gaib. Tidak terlihat, tidak berwujud, tidak bisa disentuh, bukan berarti tidak ada.
Dalam perspektif saya, contoh berpikir tak logis itu adalah kalau kita tahu korupsi itu merupakan akar dari segala persoalan di negara ini, tapi kita masih suka nyogok saat bikin surat izin mengemudi (SIM), menyogok saat mengurus administrasi kependudukan, dan hanya memilih calon pemimpin yang ngasih duit.
Ngacunglah yang masih begitu! Yang bikin heran adalah praktik lancung ini dilakukan oleh banyak orang, oleh sebagian besar dari kita, tanpa merasa berdosa.
Entah karena kebiasaan atau telah membudaya. Ironisnya, pada saat yang sama kita mengharapkan negara ini bebas dari korupsi. Di mana logikanya?
Seorang rekan tiba-tiba mengeluh karena merasa dirinya tak lagi aman. Ia mengaku jadi incaran aparat penegak hukum karena melaksanakan proyek pemerintah.
Ia terpaksa memasukkan meng-input data yang tak benar soal anggaran proyek karena pejabat pemerintah pemilik proyek yang menghendaki dan menyuruh dirinya memasukkan data itu.
Setelah meneken surat kontrak, ia harus menyerahkan cashback yang nilainya tak wajar, padahal proyek belum dikerjakan, duit pun belum dibayarkan. Kalau tidak mau, jangan harap dipilih jadi pemenang lelang.
Duh, susahnya hidup di negara ini. Logika tak sehat melahirkan mental yang sakit. Revolusi mental yang sempat digaung-gaungkan sehingga memberi harapan belakangan terbukti hanya manis di ucapan.
Tanpa ada kejadian luar biasa, rasanya Indonesia akan terus seperti ini adanya. Apakah perlu ada putus generasi untuk bisa memulai semuanya dari awal?
Membentuk atau menciptakan yang baru sepertinya lebih mudah ketimbang memperbaiki mental yang sudah rusak. Logika dan mental yang tak sehat ini membuat cerita negara kita selalu ditulis dalam genre horor, sesekali komedi.
Ini membuat takut, deg-degan, dan terkadang tertawa satire sendiri. Kalau saja cerita horor negara ini bisa mendatangkan banyak uang seperti film KKN di Desa Penari dan Agak Laen, mungkin utang kita tak sebanyak sekarang.
Jika kita punya banyak uang, Ibu Kota Nusantara (IKN) bisa dibangun lebih cepat daripada sekarang. Apa perlu cerita horor negeri ini dibuatkan film dengan judul IKN di Desa Penari yang Agak Laen? Siapa tahu bisa benar-benar meledak. Boom…!
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 Agustus 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)