Esposin, SOLO — Kontribusi keilmuan akademikus di kampus selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Fondasi keilmuan yang kuat disertai argumentasi yang logis dan faktual akan menghasilkan produk yang jauh lebih mampu mereduksi berbagai ketimpangan dan masalah di masyarakat.
Pada 27 Juli 2024, empat guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta dikukuhkan. Mereka dihadapkan secara langsung kepada para akademikus dan masyarakat luas. Mereka menyampaikan orasi ilmiah secara terbuka.
Promosi Beri Kontribusi Nyata, BRI Peduli Adakan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Abdul Kholiq Hasan sebagai guru besar bidang ilmu fafsir menyampaikan orasi Tafsir Rabbana Min Kalami Rabbina, Tafsir Tematik Ayat-ayat Doa: Pelaku, Makna, dan Refleksi Kehidupan.
Fauzi Muharom sebagai guru besar bidang ilmu pendidikan Islam menyampaikan orasi Pendidikan Islam di Tengah Era Artificial Intelligence dan Gen-Z: Kontribusi Paradigma Teo-Antroposentris sebagai Fondasi Pendidikan Karakter.
Imam Mujahid sebagai guru besar bidang ilmu bimbingan dan konseling Islam menyamapikan orasi Menavigasi Tantangan Kesehatan Mental di Era Disrupsi Teknologi: Perspektif Bimbingan Konseling Profetik.
Rahmawan Arifin sebagai guru besar bidang ilmu ekonomi syariat menyampaikan orasi berjudul Industri Halal dalam Perspektif Sains Keperilakuan: Dari Religionomics ke Trancendenomics.
Tema yang diangkat para guru besar itu bersinggungan langsung dengan kondisi yang dihadapi oleh dunia, akademikus, dan masyarakat sekitar kampus. Dalam aspek ketahanan sosial, empat tema tersebut membantu mengatasi secara nyata dan langsung hal-hal yang sifatnya fundamental maupun dalam ranah praktis.
Imam Mujahid dan Abdul Kholiq memberikan sumbangan pemikiran tentang refleksi kehidupan melalui panduan kalam Ilahi dan menavigasi kesehatan mental pada era disrupi digital. Dua orasi ilmiah ini mengeksplorasi secara mendalam kalam Ilahi dan berbagai metode ulama sebagai poros memandu kehidupan manusia.
Kondisi mental dan spiritual manusia semakin hari semakin rapuh akibat berbagai ledakan informasi dan masyarakat butuh penanganan yang maksimal dan terpercaya. Dua orasi ilmiah lainnya mengeksplorasi pendidikan karakter.
Pendidikan karakter di Indonesia masih gonjang-ganjing dalam pengelolaan maupun implementasi. Perilaku konsumen seharusnya diarahkan pada fondasi transendenomics, sebuah konsep yang tujuan akhirnya bukan hanya materi, namun juga nilai etis, spiritualitas, kesejahteraan, keberlanjutan, dan lain-lain.
Temuan-temuan itu pada dasarnya menguatkan program besar UIN Raden Mas Said Surakarta, yaitu “glokalisasi”. Unsur-unsur lokal juga menjadi bagian yang harus dikaji, diungkap, dan terus dikembangkan, selain unsur global.
Tantangan nyata yang tidak kalah penting dan harus mendapat sentuhan adalah persoalan sains dan teknologi, climate change, dan lain-lain. Dalam bidang sains dan teknologi tampaknya UIN Raden Mas Said Surakarta bersiap bertarung habis-habisan, yaitu dengan membangun laboratorium saintek, sains dan teknologi.
Medan ini pada akhirnya dihadapi oleh UIN Raden Mas Surakarta. Perjalanan kampus yang didominasi oleh program studi sosial-humaniora beranjak mengepakkan sayap ke ilmu-ilmu saintek.
Tantangan yang tidak mudah, terlebih pertemuan antara sains dan agama dalam skala global masih “samar” atau belum ada teori yang jelas untuk memadukan keduanya. Ian G. Barbour membagi dampak empat teori, yaitu konflik, independen, dialog, dan integrasi.
UIN pada umumnya menggunakan teori integrasi, meski dalam tataran fundamental dan praktis masih sering didiskusikan, termasuk dalam beberapa tahun terakhir di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2021).
Buku karya Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla secara khusus membahas isu sains dan agama dengan judul Sains Religius, Agama Saintifik. Bagaimanakah UIN Raden Mas Surakarta akan berbicara mengenai saintek? Paradigma apakah yang menjadi fondasi dan hendak diimplementasikan?
Pertanyaan-pertanyaan itu mesti dijawab secara tuntas sebagaimana yang terjadi pada UIN di seluruh Indonesia. Dalam berbagai kompleksitas setidaknya para akademikus junior dan masyarakat berharap dengan sangat kepada para guru besar.
Pertama, guru besar memiliki kebebasan akademis yang jauh lebih mutlak dibandingkan yang lain. Kebebasan yang independen seperti itu seharusnya mendorong para guru besar lebih banyak speak-up, bukan hanya di jurnal international, lokal, maupun di media-media yang menjadi makanan publik sehari-hari.
Hal itu yang menjadikan pengabdian kepada masyarakat lebih bermakna. Konsekuensinya mereka akan terikat dengan keilmuan, etika, dan norma yang mereka bicarakan. Masyarakat luas akan mendapatkan informasi dan pengetahuan yang lebih menyehatkan.
Hal ini akan mengurai berbagai informasi dan pengetahuan yang secara masif berhamburan di tengah masyarakat tanpa penelaahan yang matang. Ada pepatah rusaknya kondisi dan ilmu akibat yang berbicara adalah orang-orang yang tidak mengetahui ilmu dan adab.
Kedua, ajaklah para akademikus junior maupun masyarakat berkolaborasi menyongsong ide-ide besar. Dengan begitu, lingkungan yang terbentuk akan jauh lebih memiliki energi yang positif. Tanpa kerja sama dengan berbagai pihak, sangat mustahil produk-produk yang berkualitas akan hadir di tengah-tengah masyarakat.
Tulisan-tulisan, jurnal-jurnal, yang seharusnya muncul dan terbit, namun karena tidak ada kolaborasi untuk menyongsong dan merealisasikan ide maka akan mengambat laju produksi pengetahuan.
Setidaknya dua hal itu mengukuhkan budaya akademis dan laju produksi pengetahuan, bahkan produk inovasi secara dinamis. Tidak ada kasak-kusuk lagi di belakang mengenai profesor abal-abal karena senantiasa hadir di platform-platform digital, namun juga bersinggungan langsung dengan junior maupun masyarakat sekitar membuat karya.
Inilah kepakaran yang ditunggu-tunggu oleh khalayak luas. Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta Toto Suharto menyebut jangan menjadi guru besar seperti daun dan ranting yang mudah tergoyang dan patah oleh injakan maupun embusan angin.
Para guru besar harus kukuh dan memberikan asupan ilmu pengetahuan kepada orang-orang di sekelilingnya agar energi positif menyebar ke segala penjuru. Kolaborasi menjadi hal yang tidak bisa dihindari dan menjadi tempat berbagi energi positif serta menghasilkan produk yang positif.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 19 Agustus 2024. Penulis adalah pengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah UIN Raden Mas Said Surakarta)