Esposin, SOLO – Seberapa penting humor dalam kehidupan kita? Samuel Langhorne Clemens, sastrawan Amerika Serikat yang lebih dikenal sebagai Mark Twain, mengatakan humor is mankind’s greatest blessing. Humor merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia.
Mengamati sepak terjang manusia modern kini, tak luput juga di Indonesia, semakin tampak betapa hari-hari dipadati dengan kesibukan untuk merebut sesuatu, memenuhi hasrat, apa pun jenisnya. Terutama dalam pemenuhan materi.
Promosi Melalui Pemberdayaan, BRI Angkat Potensi Klaster Buah Kelengkeng di Tuban
Muncul banyak pesan guyonan di media sosial: selamat beraktivitas, jangan lupa bahagia. Lama-kelamaan saya melihat kehidupan kita makin kehilangan rasa humor yang dulu bisa dipresentasikan dalam bentuk majalah-majalah humor semacam Astaga, Stop, Humor, Senang, yang sudah lama amblas ditelan zaman.
Media cetak yang dulu rajin memuat tulisan-tulisan bernada humor karya penulis-penulis kocak, seperti Mahbub Djunaedi, Sucipto Wirosardjono, Seodjoko, dan terjemahan kolumnis humor kelas dunia seperti Art Buchwald, Alan Corey, Russell Baker, kini sudah tak ditemui lagi.
Selain para penulis humor sekelas Mahbub dan kawan-kawannya itu sudah pada mangkat dan tak ada generasi penerusnya, medianya sendiri sepertinya tak lagi memberikan ruang yang cukup.
Juga tak ada lagi ketoprak humor dan panggung Srimulat di televisi. Televisi kita sekarang dijejali dengan aneka tayangan yang berbasis dan bermuara pada aspek ekonomi yang menyesakkan otak dan hati. Seakan-akan hendak menjadikan semua pemirsa sebagai ”binatang ekonomi”.
Humor, karenanya, kini menjadi fenomena lama yang tersisihkan, padahal jika ditilik dari fitrahnya, humor dan tawa adalah gawan bayi yang membuat manusia mencapai usia panjang. Dalam humor terkandung energi dan emosi yang positif.
Hans Selye, dalam The Stress of Life, mengemukakan bahwa emosi yang positif memiliki daya yang kuat untuk menangkal dan menyembuhkan penyakit. Rumah sakit di Indonesia patut meniru rumah sakit di Amerika Serikat yang menyediakan ruang-ruang khusus untuk membahagiakan para pasien dengan cara menghadirkan banyak lelucon.
Bahwa humor telah menjadi metode terapi yang ampuh sudah banyak dibuktikan dengan berbagai penelitian di berbagai perguruan tinggi di dunia. Nebraska University, misalnya, melaporkan bahwa humor dan tawa bisa menghilangkan stres, menyingkirkan nafsu amarah, bahkan menyatukan keluarga yang tengah berantem.
Maryland University menyebut rasa humor mampu mencegah penyakit jantung yang pada gilirannya akan memperpanjang usia. Peneliti di South Carolina menemukan bukti bahwa sering menonton lawakan dan sering tertawa membuat hormon endorfin naik 27%, hormon pertumbuhan naik hingga 87%, sehingga membuat tubuh tampak sehat dan awet muda (Hans Tandra, 2009).
Dalam buku Laugh for No Reason, Dr. Madari Kataria menegaskan manusia perlu humor yang membuat tertawa setiap hari. Itulah kenapa anak kecil tampak sehat karena setiap hari tidak kurang dari 300 kali tertawa.
Tidak usahlah tertawa sampai terbahak-bahak, tersenyum saja, kata pepatah China, bisa menambah umur hingga 10 tahun. Itu memang kiasan saja sebab jika terlalu banyak senyum, apalagi sendirian, justru itu menampakkan jiwa yang tidak sehat.
Yang jelas, jika wajah senantiasa tampak muram, bersungut-sungut, selain tak enak dipandang juga tak ada yang sudi mendekat serta menjauhkan teman. Ingat lagu ciptaan Ki Nartosabdo: Prengat-prengut adik, mikir apa. Timbang susah adik ya gembira. Yen gembira, adik, panjang yuswa. Ayo ngguyu…
Memanjangkan Usia
Bermuram wajah, buat apa. Daripada susah marilah bergembira. Karena dengan bergembira akan memanjangkan usia. Ayolah kita tertawa… Lagu Ayo Ngguyu ciptaan Ki Nartosabdo itu menunjukkan bahwa sudah lama masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal yang berlaku universal di bidang kesehatan.Banyak sumber tawa. Salah satunya dan paling populer serta gampang dilakukan oleh banyak orang adalah joke. Kualitas joke ditentukan kadar intelektualitas pembuatnya. Pintar-pintarnya mencari sisi humor yang menggelitik (what makes humor tick).
Ingat, humor harus diciptakan, dia tidak turun dari awang-awang bersama bidadari Nawangwulan yang selendangnya dicuri Jaka Tarub. Humor does not exist in a vacuum. Demikian kata Amy Carrel, penulis A Study of Humor (2008).
Almarhum Gus Dur bolehlah disebut raja joke Indonesia. Ia mampu membuat banyak presiden negara lain terpingkal-pingkal. Video Gus Dur berisi jokes masih sering diputar ulang dan masih saja mengundang gelak tawa.
Arthur Schopenhauer, filsuf Jerman, menyebut hal-hal yang membuat tertawa itu sebagai ludicrous, yakni ketidaknyambungan antara persepsi dan kenyataan. Pendapat yang sejalan dengan pemikiran Kostler, wartawan Hungaria-Inggris kelahiran Budapest.
Penulis buku The Act of Creation yang tersohor dengan teori bisociation itu memandang teks humor layaknya koin yang memiliki dua muka. Satu sisi berasosiasi pada satu kenyataan, sedangkan sisi satunya lagi pada kenyataan yang lain.
Yang satu bersandar pada logika yang lurus, satunya lagi menyimpang. Ada ambiguitas yang ditimbulkan oleh kedua sisi itu (the word strikes is ambiguous as it can belong to both scripts). Kita boleh kehilangan panggung tontonan yang menyuguhkan humor, tapi dengan jokes yang terlontarkan saat wedanganbisa mengundang gelak tawa yang menjadi hiburan bersama.
Itu merupakan upaya paling murah yang bisa kita lakukan. Kita boleh kehilangan great comedian semacam Bob Hope dan tak bisa lagi membaca karya-karya lucu terbaru dari Oscar Wilde, George Bernard Shaw, Aristophanes, Anton Chekov, Moliere, tapi kita tetap tak boleh kehilangan humor dan yang lucu-lucu.
Penyair Robert Frost mengatakan dunia ini akan terasa kering jika kehilangan tawa, karena itu tertawalah. Dalam salah satu sajak, Solitude, Ella Wheeler Wilcox penyair dari Amerika itu menulis: Tertawalah, maka dunia akan ikut tertawa bersamamu. Menangislah, maka kamu akan meangis sendirian.
Nah! Ayo ngguyu! Ngguyu maneh! Mari tertawa dan menyanyi bareng Eyang Putri Waldjinah.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Januari 2024. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, sastrawan, dan budayawan)