Esposin, SOLO – Beberapa waktu yang lalu, saya berbelanja produk kebutuhan sehari-hari di sebuah toko ritel. Saat mencari produk yang saya butuhkan, saya tertarik dengan promosi sebuah produk yang berbunyi kira-kira ”beli tiga, bayar Rp100.000.”
Produk ini harga normalnya adalah Rp50.000, sehingga jika membeli tiga buah dengan harga normal adalah Rp150.000. Ketika saya tanyakan informasi lebih lanjut kepada pramuniaga, harga tersebut hanya berlaku untuk member.
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Berhubung saya belum menjadi member, pramuniaga menyarankan saya mengunduh aplikasi dan mendaftar secara online melalui handphone. Terpikat dengan produk tersebut, saya kemudian mengunduh dan mendaftar dengan memasukkan data pribadi sebagai syarat.
Bisa jadi situasi dan perilaku saya juga dilakukan oleh orang lain secara sadar maupun tidak sadar. Saya secara sadar mendaftar dan menyerahkan identitas untuk direkam pada sistem database konsumen mereka.
Pada saat yang sama, sebenarnya saya sedang menyerahkan kepercayaan kepada perusahaan untuk tidak disalahgunakan. Dari sisi perusahaan, aktivitas ini lazim digunakan sebagai bagian manajemen hubungan pelanggan, yaitu pengumpulan dan pengelolaan data konsumen.
Saya juga secara sadar memahami bahwa identitas saya pada proses tersebut ternyata dihargai sebesar Rp50.000 dengan tawaran manfaat berkelanjutan pada masa yang akan datang. Pertanyaannya adalah apa jaminan saya (dan orang-orang lain yang mengalami hal sama) tidak hanya menjadi objek aktivitas pemasaran?
Pemasaran seharusnya merupakan proses transaksi menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat, bukan hanya satu pihak. Terkadang pelanggan dipandang sebagai objek aktivitas pemasaran sehingga terkesan dimanfaatkan hanya untuk membeli produk yang ditawarkan.
Dengan basis data yang dimiliki, sangat memungkinkan perusahaan mengirimkan pesan langsung kepada orang yang pernah membeli produk. Pada situasi saya tadi, beberapa jam setelah proses pendaftaran, saya menerima SMS spam dari nomor tidak dikenal.
Isi SMS tersebut “tawaran penukaran poin pulsa” yang tidak nyambung sama sekali dengan produk yang saya beli. Meskipun kedua fakta tersebut benar terjadi, belum tentu berkaitan satu sama lain. Dalam statistik dua hal yang memiliki pola yang sama bisa saja berhubungan (signifikan), namun tidak dapat dijelaskan.
Contoh klasik adalah data jumlah produksi madu dan data jumlah kematian karena tenggelam dapat saja secara statistik signifikan, namun tidak dapat dijelaskan maknanya. Sebagai konsumen, tentu mengharapkan perlindungan dari penyalahgunaan data pribadi.
Hal pertama yang ingin saya sampaikan adalah tentang persetujuan dari konsumen. Harapan ini tentu saya sampaikan kepada para pemasar yang melaksanakan aktivitas manajemen hubungan pelanggan. Pemasar harus memahami bahwa apa pun aktivitas yang akan melibatkan konsumen (seperti pengiriman informasi, promosi, penawaran diskon, dan lain-lain) harus berdasarkan persetujuan mereka.
Pemasar yang baik tentu akan meminta persetujuan dari konsumen terkait aktivitas pemasaran pada masa yang akan datang. Persetujuan tersebut harus didasarkan rasa nyaman sehingga mereka tidak menganggap sebagai objek semata.
Pemasar juga harus menyediakan ”opsi pintu keluar”, yakni konsumen dapat berhenti menerima aktivitas tersebut kapan pun mereka mau. Hal kedua, meskipun klise, terkait dengan regulasi perlindungan data pribadi. Harapan ini saya sampaikan kepada pemerintah sebagai regulator.
Saat ini perlindungan data pribadi diatur Undang-undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Sebagai orang yang awam dengan hukum, sepanjang yang saya pahami, sepertinya semua hal yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi telah tercakup pada undang-undang tersebut.
Apa yang menjadi jaminan bahwa data pribadi konsumen benar-benar dilindungi? Faktanya adalah hampir semua orang pernah mendapatkan pesan atau telepon dari orang tidak dikenal, bagian dari aktivitas pemasaran atau yang lebih buruk adalah bagian dari tindak kejahatan.
Kembali pada esensi pemasaran, aktivitas penting yang harus dilakukan adalah menjalin hubungan saling menguntungkan antarsemua pihak. Sebagai konsumen, saya tentu ingin ”harga dari penukaran identitas” tersebut tidak hanya dinilai dengan satuan rupiah, tapi juga dengan rasa nyaman.
Pemasar harus mengingat bahwa terdapat usaha yang lebih ketika seorang konsumen bersedia ”menukarkan identitas” dengan ”manfaat yang ditawarkan”. Terkadang mereka diminta mengunduh aplikasi, mengisi formulir, maupun melakukan validasi data.
Untuk semua usaha tersebut, para pemasar harus selalu berupaya menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh konsumen. Sebagaimana tujuan pemasaran adalah hubungan baik jangka panjang, bukan hanya mengejar keuntungan jangka pendek.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Agustus 2024. Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya dan alumnus Program Doktor Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada)