Baru-baru ini, sebuah pernyataan Gibran Rakabuming Raka, yang segera dilantik menjadi wakil presiden, menggugah dan membuka diskusi luas di masyarakat. Dalam pernyataan tersebut, Gibran mengaku tidak suka membaca buku, bahkan menyebut keluarganya tidak memiliki budaya membaca buku.
Bagi sebagian orang mungkin itu sekadar candaan, namun sebenarnya pernyataan ini menyentuh persoalan serius yang sedang dihadapi bangsa ini, tentang rendahnya minat membaca di kalangan masyarakat Indonesia.
Promosi 2,6 juta Pelaku UMKM Dapatkan Akses Pembiayaan KUR BRI di Sepanjang 2024
Budaya membaca di Indonesia masih menjadi tantangan besar, terutama ketika melihat data UNESCO yang menunjukkan Indonesia berada di peringkat bawah dalam urusan literasi. Hanya sedikit orang yang gemar membaca dan lebih sedikit lagi yang melakukan secara konsisten.
Minimnya budaya membaca di rumah dan lingkungan keluarga menunjukkan betapa krusial peran pendidikan dalam membentuk kebiasaan ini. Di sisi lain, Indonesia memiliki tokoh-tokoh besar yang tidak lepas dari kegemaran membaca dan membudayakan membaca buku.
K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Presiden Keempat Republik Indonesia, dikenal sangat gemar membaca buku. Sejak kecil ia tertarik pada berbagai jenis buku. Ketika menimba ilmu di Jogja, Gus Dur sering menghabiskan waktu di pusat-pusat buku yang memperluas wawasan dan membentuk pemikiran inklusif dan penuh kebijaksanaan.
Bacharuddin Jusuf Habibie adalah ilmuwan dan presiden yang juga dikenal karena kecintaan pada buku dan budaya membaca. Sejak kecil ia fasih membaca buku berbahasa Belanda dan memiliki minat luas terhadap berbagai genre buku, termasuk ensiklopedi dan fiksi ilmiah.
Kebiasaan membaca ini berkontribusi pada inovasi yang dilakukan dalam bidang teknologi dan kedirgantaraan. R.A. Kartini sebagai pejuang hak-hak perempuan sangat mencintai buku dan budaya membaca. Ia menghabiskan waktu luang dengan membaca buku-buku yang dikirimkan oleh saudaranya.
Kecintaan pada literatur membantu membangun pemikiran yang progresif dan menjadi inspirasi bagi banyak perempuan di Indonesia. Tokoh-tokoh ini menunjukkan budaya membaca buka sekadar hobi, tetapi merupakan fondasi penting membentuk pemikiran dan karakter seseorang.
Melalui kecintaan terhadap buku, mereka tidak hanya mencapai kesuksesan pribadi, tetapi juga memberikan kontribusi besar bagi bangsa Indonesia.
Peran Keluarga
Budaya membaca bukanlah sesuatu yang tumbuh secara instan, melainkan hasil kebiasaan yang dipupuk sejak kecil. Di banyak negara maju, keluarga memiliki peran penting memperkenalkan buku kepada anak-anak.
Membaca bersama orang tua di rumah sering kali menjadi momen berharga yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga mempererat hubungan emosional. Jika keluarga tidak memprioritaskan aktivitas membaca, anak-anak akan sulit mengembangkan minat membaca yang kuat.
Pernyataan bahwa "tidak ada budaya membaca" dalam sebuah keluarga mencerminkan kenyataan yang dialami banyak keluarga di Indonesia. Banyak orang tua lebih fokus pada teknologi digital atau aktivitas lainnya dibandingkan mendorong anak-anak membaca buku. Akibatnya, minat membaca anak-anak menjadi rendah.
Keluarga adalah lingkungan pertama tempat anak-anak berinteraksi dan belajar. Menurut penelitian, hanya 25,5% anak di Indonesia yang memiliki setidaknya tiga buku cerita di rumah, sementara 56,6% orang tua tidak pernah membacakan buku kepada anak mereka.
Hal ini menunjukkan banyak keluarga belum optimal mendukung budaya membaca. Ketika keluarga belum mampu menanamkan budaya membaca, tanggung jawab besar jatuh kepada institusi pendidikan, terutama guru-guru di sekolah dasar.
Banyak guru melakukan upaya luar biasa untuk menumbuhkan minat membaca siswa. Program-program literasi di sekolah, seperti "15 menit membaca" setiap pagi atau pembacaan buku bersama, menjadi langkah awal yang baik.
Tantangan yang dihadapi guru tidaklah mudah. Di beberapa daerah, akses terhadap buku berkualitas sangat minim. Perpustakaan sekolah sering kali kekurangan buku yang menarik dan sesuai dengan minat siswa.
Gempuran teknologi juga menjadi tantangan tersendiri. Anak-anak kini lebih tertarik dengan gadget dan permainan digital daripada membaca buku. Meskipun demikian, guru-guru tetap kreatif mencari cara untuk mengatasi masalah ini.
Beberapa guru menggunakan metode pembelajaran yang menggabungkan teknologi dengan literasi, misalnya melalui buku digital atau aplikasi membaca interaktif. Ada juga yang berusaha menghidupkan minat siswa dengan membaca cerita yang relevan dan menarik perhatian mereka.
Upaya itu tidak bisa dilakukan sendirian oleh guru. Perlu dukungan keluarga dan masyarakat menghidupkan budaya membaca. Keluarga perlu melihat membaca sebagai aktivitas penting yang bisa memperkaya wawasan anak-anak, bukan sekadar tugas sekolah.
Membaca bukan hanya untuk mendapatkan nilai, tetapi untuk membuka jendela dunia. Pemerintah dan masyarakat perlu memberikan dukungan lebih besar. Peningkatan akses terhadap bahan bacaan berkualitas, dalam bentuk buku cetak maupun digital, sangat penting.
Program-program literasi harus diperluas, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di rumah-rumah dan lingkungan masyarakat. Pernyataan Gibran tentang ketidaksukaan membaca buku mungkin terdengar sederhana, tetapi itu menggambarkan masalah mendasar di masyarakat kita.
Budaya membaca belum sepenuhnya mendarah daging di banyak keluarga. Hal ini berdampak langsung pada kualitas pendidikan generasi mendatang. Untungnya, guru-guru di sekolah dasar terus berjuang menanamkan kebiasaan membaca di tengah aneka tantangan.
Usaha mereka tidak akan maksimal tanpa dukungan penuh keluarga dan pemerintah. Budaya membaca adalah investasi jangka panjang. Dengan membiasakan membaca buku sejak dini, mendorong anak-anak jatuh cinta pada literasi, kita membentuk generasi yang lebih cerdas, kritis, dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Mari memulai dari rumah, mulai dari hal-hal kecil, dan menjadikan membaca buku sebagai kebiasaan harian yang menyenangkan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 September 2024. Penulis adalah mahasiswa Doktoral Pendidikan Dasar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)