Esposin, SUKOHARJO — Namaku Tyas. Aku punya pengalaman tak mengenakan soal intoleransi. Saat itu aku baru saja lulus sekolah dasar dan menginjakkan kaki di bangku Kelas VII SMP Negeri 19 Solo.
Banyak sekali orang-orang baru yang kutemui di sekolah itu, terutama di Kelas VII D, kelas ku. Hari pertama masuk sekolah sudah banyak teman-teman yang aku ajak berkenalan. Tetapi, ada satu anak perempuan yang duduk di bangku paling depan menarik perhatianku. Sebut saja dia Fia, anak perempuan berambut keriting mengembang yang ternyata mempunyai banyak kutu. Satu kata yang terpikirkan saat berkenalan dengan Fia, jorok!
Promosi Lestarikan Warisan Nusantara, BRI Dukung Event Jelajah Kuliner Indonesia 2024
Semakin berjalannya waktu, aku menyadari bahwa semua teman di kelas tidak mau berteman dengannya. Hanya satu orang yang mau menemaninya yaitu teman sebangkunya. Kami sesekali mengajaknya mengobrol dan bercanda. Karena berambut kribo, teman laki-laki di kelas kami memberi sebutan Fia “rambut brokoli”.
Ada juga yang memanggilnya dengan sebutan “bo-kribo”. Kami terbiasa memanggil nama teman-teman dengan sebutan-sebutan aneh seperti itu. Ada yang dipanggil Harjo, Surip, bahkan Kebo pun juga ada. Kami merasa itu hal yang wajar terjadi di sekolah dan menganggapnya candaan saja.
Saat dipanggil dengan sebutan itu biasanya Fia akan marah dan mengatai balik orang yang memanggilnya. Akhirnya itu menjadi kebiasaan kami di kelas untuk menggoda dan menjahili Fia.
Ia jarang sekali mengajak teman-teman yang lain mengobrol. Biasanya kami yang akan membuka obrolan terlebih dahulu dengan menanyakan sesuatu kepadanya. Saat itu temanku mencoba bertanya kepada Fia tentang alamat rumahnya. Fia menjawab kalau dia memiliki rumah di sebuah kompleks perumahan di desa Gentan, Sukoharjo. Tetapi entah mengapa teman-teman di kelasku tidak percaya dan mencoba membuktikan ucapan Fia.
Banyak yang menyebutnya pembohong karena ternyata rumahnya tidak berada di kompleks perumahan itu. Aku tidak tahu pasti bagaimana kebenarannya. Pada saat itu aku tidak ikut-ikutan untuk membuntuti dan mengulik tentang kebohongannya. Lagipula aku memang tidak ingin mencari tahu lebih banyak mengenai dia.
Ada satu kebohongan yang Fia katakan mengenai ibunya. Dia tidak mengakui bahwa wanita tua yang selama ini mengantarnya ke sekolah itu adalah ibunya kandungnya. Entah bagaimana kabar itu bisa ramai diperbincangkan di sekolah. Bahkan guru-guru pun ikut membicarakannya.
Saat itu ada seorang guru olahraga yang justru mem-bully Fia karena perilaku aneh dan kebiasaan berbohongnya itu. Sejujurnya aku merasa kasihan pada Aliefia. Dia dipermalukan di depan teman-teman dan kakak kelas yang juga sedang berolahraga bersama siswa kelas kami. Tetapi, waktu itu aku hanya diam dan membiarkan anak-anak lain menertawainya.
Aku tidak berani membelanya atau bahkan sekedar menyuruh temanku untuk tidak menertawainya lagi. Ia menangis dan berlari pergi menjauh dari lapangan. Aliefia semakin menutup diri dari lingkungan di sekitarnya.
Ia tidak pernah lagi menceritakan apa pun kepada kami. Yang kami tahu saat itu hanyalah dia suka K-Pop. Dulu memang K-Pop belum terlalu terkenal seperti sekarang, sehingga banyak teman laki-laki yang mem-bully Fia hanya karena dia suka memuja-muja boyband dari Korea Selatan itu.
Anak Aneh
Menurut kami Fia adalah anak yang aneh. Dia sering berbicara sendiri, berbohong, dan kadang juga tiba-tiba menangis entah apa penyebabnya. Mungkin satu sekolah menganggap kalau ia memang anak yang bermasalah secara mental.Saat kelas VIII kami tidak berada di satu kelas yang sama lagi. Meskipun satu sekolah, aku jarang bertemu dengannya. Mungkin karena sekolah kami yang cukup luas dan bangunannya berjauhan satu sama lain. Aku tidak tahu apakah dia juga di-bully di kelasnya yang baru. Tetapi dia mempunyai teman baru di kelasnya, mungkin ia sudah lebih bisa bergaul dengan teman-teman di sekitarnya.
Naik ke kelas IX, kami berada di satu kelas kembali sama seperti saat kelas VII dulu. Bedanya tidak ada lagi yang mem-bully Fia, kami hanya berbicara seperlunya. Tetapi, sampai lulus pun aku belum mengucapkan kata maaf kepada Fia. Bahkan sampai sekarang ini aku tidak tahu bagaimana kehidupannya.
Aku tidak berani mengakui kesalahan dan meminta maaf kepadanya. Aku bertanya-tanya, apakah dia dulu sangat membenciku sama seperti dia membenci teman-teman yang lain?
Satu penyesalan terbesarku yakni mengapa dulu aku selalu melihat kekurangan Fia saja. Padahal ia tidak memiliki kesalahan apa pun kepadaku. Dengan teganya aku malah ikut andil menyakitinya dengan perkataanku sendiri.
Tidak ada yang salah dengan rambut keritingnya, bahkan kecintaannya pada K-Pop juga bukan suatu kesalahan. Aku merasa bahwa diriku dulu terlalu kekanak-kanakan dengan ikut melakukan bullying tanpa memikirkan dampaknya pada korban. Bisa jadi saat itu Fia banyak berbohong karena takut di-bully oleh kami jika mengatakan yang sebenarnya. Secara tidak langsung aku juga ikut mendorong dia untuk mengatakan semua kebohongan itu.
Aku tidak tahu apakah kelak ia akan membaca tulisan ini atau tidak. Tetapi, aku ingin meminta maaf atas segala kesalahanku dan kesalahan teman-teman yang lain dulu. Maafkan aku karena saat itu tidak berani membelamu di depan guru olahraga. Padahal aku tahu betul apa yang dilakukannya salah.
Setiap orang terlahir dengan anugerahnya masing-masing yang diberikan Tuhan. Lalu mengapa manusia dengan lancangnya menghina anugerah dari Yang Kuasa itu sendiri? Aku sungguh sangat menyesal dengan apa yang telah aku perbuat dulu. Aku yakin sebenarnya ia adalah teman yang sangat baik, hanya kami yang tidak bisa memahami apa yang disebut menghargai orang lain. Fia maafkan aku.
(Tulisan merupakan karya peserta program pelatihan jurnalisme warga pemuda lintas iman Solopos Institute)