Esposin, SOLO – Tentu kita sepakat pendidikan adalah salah satu hak dasar yang seharusnya didapatkan warga negara. Idealnya warga negara mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya dengan kualitas yang sebaik-baiknya beserta akses yang semudah-mudahnya.
Dengan begitu, kualitas warga negara semakin membaik sehingga dapat menunjang kemajuan negara. Bertolak belakang dengan kondisi ideal tersebut, fenomena belakangan seperti naiknya biaya kuliah seolah-olah memberi gambaran bahwa akses pendidikan begitu timpang.
Promosi Layanan Wealth Management BRI Raih Penghargaan Best Private Bank for HNWIs
Hanya mereka yang memiliki uang banyak akan mendapatkan. Mereka yang tidak beruntung dalam hal keuangan hanya tinggal mentap harapan dan angan-angan. Sering saya membaca dan mendengar pendapat yang menyatakan masih ada jalan keluar, yakni melalui beasiswa.
Tinggal sepintar-pintarnya saja seseorang untuk mencari dan menempuh jalan tersebut. Banyak motivasi dengan narasi besar biaya bukanlah hambatan untuk mengenyam pendidikan.
Memang benar saat ini beasiswa menjadi solusi paling nyata bagi mereka yang kesulitan biaya pendidikan. Walakin, ditinjau ulang dari perspektif lain secara lebih dalam beasiswa sebenarnya bukanlah solusi sepenuhnya untuk masalah ketimpangan akses pendidikan.
Beasiswa tetap menyisakan problem. Hal ini terutama bagi kelas medioker atau kelas menengah yang selama ini luput dari perhatian. Kelas menengah yang saya maksud di sini tidak hanya perihal ekonomi, tetapi juga prestasi.
Secara umum beasiswa dapat digolongkan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah beasiswa untuk mereka yang miskin. Golongan kedua adalah beasiswa untuk mereka yang berprestasi.
Mekanisme beasiswa serupa itu, baik dari pemerintah maupun swasta, tentu menuntut syarat dan kesiapan tertentu pada individu. Dengan kata lain, beasiswa menjadi arena praksis sosial yang mengerucut pada gelanggang persaingan antarindividu.
Berdasarkan teori praksis sosial Pierre Bourdieu (1930-2002), individu akan punya peluang besar berhasil dalam praksis sosial apabila memiliki habitus, arena, dan kapital yang saling berkelindan.
Habitus dapat dipahami sebagai pandangan hidup yang dihayati individu. Arena merupakan gelanggang praksis sosial. Kapital merupakan kesiapan atau modal pada individu. Kapital terdiri atas modal ekonomi (misalnya uang), modal sosial (misalnya relasi), modal budaya (misalnya status, etiket, prestasi), dan modal simbolis (misalnya merek mobil, merek pakaian).
Beasiswa sebagai arena praksis sosial mensyaratkan habitus dan kapital. Boleh saja setiap individu memiliki habitus yang sama berupa pandangan bahwa pendidikan menjadi jalan untuk meningkatkan kualitas hidup, namun dalam arena beasiswa syarat-syarat kapital lebih menjadi penentu.
Sekalipun beasiswa tersebut untuk mereka yang miskin tetap ada syarat kapital berupa modal budaya yang tiada lain adalah status kemiskinan itu sendiri. Beasiswa untuk mereka yang berprestasi sudah jelas bahwa syarat kapital berupa modal budaya pula, yakni prestasi.
Selain itu, sering terdapat syarat kapital lain, misalkan kecakapan berbahasa Inggris, keaktifan berorganisasi, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut terlihat perbedaan antara kelas atas, bawah, dan menengah.
Kelas atas tidak terlalu bermasalah dengan akses pendidikan sebab memiliki kapital berupa modal ekonomi yang kuat. Kelas bawah bermasalah, tetapi dengan statusnya mereka layak mendapat sokongan dari pemerintah.
Kelas menengahlah yang justru paling bermasalah. Mereka yang dalam hal perekonomian maupun prestasi pas-pasan cenderung tidak memiliki syarat kapital yang memadai untuk bersaing dalam arena beasiswa.
Mereka dikelilingi dilema sebab tidak bisa digolongkan miskin untuk menerima beasiswa bagi mereka yang miskin, tidak pula bisa digolongkan berprestasi untuk menerima beasiswa bagi mereka yang berprestasi.
Beberapa kasus yang saya jumpai pada kenalan saya, golongan kelas menengah ini memiliki kesadaran akan kelas. Mereka sadar bahwa tidak tergolong miskin sehingga dalam dirinya muncul rasa sungkan harus menempuh jalan beasiswa untuk mereka yang miskin.
Mereka beranggapan itu berarti merampas hak orang lain di luar sana yang lebih membutuhkan. Pada akhirnya mereka berhadapan dengan dua pilihan. Optimistis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan kemungkinan risiko berat dalam pembiayaan atau realistis dengan langsung menempuh jalan bekerja.
Mereka yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dari luar memang tampak baik-baik saja dalam hal pembiayaan pendidikan, namun sering di antara mereka terpaksa berutang ke sana kemari untuk membiayai pendidikan.
Hal itu dijalani lantaran harapan bahwa pendidikan dapat menjadi jalan untuk meningkatkan kualitas hidup kelak baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Tinjauan mengenai beasiswa yang telah saya jabarkan bukan berarti menganggap beasiswa sebagai sesuatu yang tidak berguna.
Saya tetap mengapresiasi upaya pemerintah maupun swasta memperbanyak beasiswa. Bagaimana pun beasiswa bermanfaat sebagai bantuan bagi mereka kelas bawah dan sebagai penghargaan bagi mereka yang berprestasi.
Di samping upaya pengadaan beasiswa untuk memperluas akses pendidikan, pemerintah maupun swasta hendaknya tidak melepaskan perhatian terhadap kelas menengah. Tata kelola pendidikan perlu dibenahi agar mereka yang pas-pasan dan biasa-biasa saja juga mendapat kemudahan akses pendidikan yang tinggi dan berkualitas.
Hemat saya, sebagaimana tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yang di antaranya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, penyelenggaraan pendidikan harus diupayakan terus-menerus agar dapat dijangkau semua kalangan semudah-mudahnya.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 27 Agustus 2024. Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muria, Kudus, Jawa Tengah)