Esposin, SOLO – Dinamika politik Indonesia bergejolak selepas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengebut revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pimilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Itu dilakukan DPR sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat pencalonan dalam pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Aksi massa, terutama kalangan mahasiswa, terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia merespons tindakan DPR dan putusan MK. Para demonstran menolak revisi UU Pilkada yang merayah subtansi demokrasi dan menuntut penerapan putusan MK dalam pilkada serentak 2024.
Tentu ini wajar karena hingga saat ini bangsa Indonesia masih percaya pada demokrasi sebagai sistem pemerintahan ketimbang oligarki atau tirani yang cenderung sewenang-wenang atau menindas.
Para pendiri bangsa ini sepakat dengan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Demokrasi dianggap sebagai jalan terbaik di antara jalan-jalan lain.
Kendati demikian, sejarah membuktikan praktik demokrasi di negara kita masih mengandung kelemahan-kelemahan. Di samping menimbulkan biaya politik yang tinggi, demokrasi ternyata juga melahirkan elite politik berwajah narsis.
Tindak-tanduk orang-orang yang lahir dari rahim partai politik sering kali mencerminkan sifat melebih-lebihkan, menonjolkan, dan memuja diri mereka sendiri.
Orang-orang partai tampil di hadapan publik, terutama melalui media massa, bak pahlawan yang bersemangat memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat.
Akibat sifat narsistik ini, berbagai tindakan, keputusan, dan strategi politik dibentuk oleh sifat popularitas yang menggiring ke arah “pandangkalan politik”.
Tokoh atau kader partai politik menggantungkan hidup pada citra permukaan. Hal-hal yang bersifat subtansial (ide, gagasan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya) dilibas oleh sesuatu yang bersifat sensasional (iklan politik, gambar, foto, baliho, dan sejenisnya).
Manifestasi narsisme politik juga bisa diteropong lewat berkoarnya pemimpin-pemimpin partai politik menyuarakan ide, gagasan, dan pemikiran yang seakan-akan berpihak kepada rakyat.
Mereka seolah-olah memperjuangkan secara tulus aspirasi masyarakat, padahal kalau diamati secara saksama, tersimpul maksud dan tujuan yang tidak lain adalah menaikkan citra partai politik dan meraih dukungan rakyat.
Di sinilah ketulusan dan keikhlasan orang-orang partai politik dalam memperjuangkan rakyat betul-betul diuji. Di sini pulalah kita menyaksikan kekuatan ”mantra narsistik” yang digunakan politikus untuk membangun citra baik partai tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya.
Beberapa citra itu tidak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra sering kali terputus dari realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri inilah yang menggiring ke jurang ”narsisisme politik” (political narcissism).
Lupa atau pura-pura lupa melaksanakan janji-janji manis politik saat kampanye adalah bentuk tindakan politik narsistik sekaligus perusakan terhadap demokrasi.
Penuh Kedangkalan
Christopher Lach dalam The Culture of Narcissism (1979) melihat keberadaan narsisme ini sangat berbahaya. Ini disebabkan narsisme lebih banyak merayakan budaya permukaan dibandingkan budaya kedalaman.Rasionalitas yang dibangun adalah rasionalitas wajah, popularitas semu, dan penampilan sesaat. Narsisme politik mengingkari budaya kedalaman (substansi) politik.
Akibatnya, demokrasi subtansial (kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, dan seterusnya) yang seharusnya diwujudkan oleh partai politik beserta para kader sulit tercapai.
Tak mengherankan banyak di sudut kota dan pelosok desa terpampang foto dan gambar-gambar calon-calon pejabat negara, calon pejabat daerah, baik di tingkat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Mereka berlomba meraih simpati masyarakat dengan cara membangun politik narsis. Kesadaran masyarakat terkadang terperosok ke dalam kesadaran palsu, yaitu distorsi pada tingkat kesadaran karena distorsi realitas.
Pada titik inilah pendidikan politik luhur yang mestinya diterima rakyat tidak tercapai. Sekali lagi, narsisme politik, yang memiliki kecenderungan pemujaan diri secara berlebihan, tidak akan membawa pada tatanan politik yang luhur.
Politik narsis hanya akan menciptakan pemimpin berlagak dekat dengan petani, pembela wong cilik, akrab dengan pedagang pasar, karib dengan pemuka agama, penjaga kesatuan bangsa, pemberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan perilaku ”seolah-olah” lainnya.
Semua itu hanya ilusi, palsu, dan bohong belaka. Tindakan-tindakan populis mereka hanya menjadi alat untuk meraih simpati rakyat yang ujung-ujungnya hanya memburu uang dan kekuasaan.
Di panggung politik, pemimpin mencitrakan diri dengan sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna, dan seideal mungkin. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan kesadaran publik.
Penggiringan opini publik dilakukan secerdik mungkin, terutama lewat media massa. Akibat lanjutan dari narsisme politik adalah ”keseketikaan politik” yang hanya merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tidak menghargai proses politik berkualitas dan bermakna.
Ragam citra politik, misalnya jujur, cerdas, bersih, religius, nasionalis, atau nasionalis-religius adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, ide, pengorbanan, dan prestasi politik.
Mentalitas ”menerabas” telah mendorong tokoh politik menjadi miskin prestasi dan mengambil jalan pintas dengan memanipulasi citra instan. Inilah dampak negatif ketika partai politik dan politikus mengedepankan narsisme politik.
Kader partai politik mengeluarkan aneka trik, bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik yang bertujuan meyakinkan rakyat bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran.
Sesungguhnya citra-citra itu tidak lebih dari wajah penuh make up dan topeng politik yang menutupi wajah asli yang penuh kepalsuan, kebohongan, dan kepura-puraan.
Buktinya, banyak kader partai politik akhir-akhir ini, baik dari partai beraroma keagamaan maupun nasionalis, terlibat aksi perampokan uang rakyat (baca: korupsi).
Nyatanya, kita belum pernah melihat nilai-nilai religius dan nasionalis diwujudkan dalam tataran praktis oleh orang-orang partai politik tersebut.
Akhirnya kita perlu merenungkan yang dikatakan filsuf Inggris, Bertrand Russel, bahwa demokrasi adalah proses ketika orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Apakah kita juga menyalahkan pemimpin yang dulu kita pilih?
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 31 Agustus 2024. Penulis adalah dosen Ekonomi Syariah di Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan, Jawa Timur)